Pemilu Indonesia: Antara Pemuka Agama dan Pilihan Pemuka Agama

Going Deeper, God's Words, 11 April 2019
Pemimpin yang dipilih oleh Tuhan pun para hamba Tuhan, nyatanya bukanlah sosok yang sempurna.

Fenomena mengaitkan isu agama dengan politik bukanlah hal yang baru. Sejak Pilkada Jakarta 2017 lalu, santernya berita mengharamkan memilih pemimpin yang berbeda keyakinan mulai merebak. Pada Pemilu Presiden 2019 sekarang, cara ini mulai kembali dipakai. Berbeda dengan sebelumnya, isu ini menjadi janggal mengingat kedua pasangan Capres dan Cawapres tahun ini menganut keyakinan yang sama.

Jika kita menelisik sejarah, perpecahan yang dialami Kekristenan—saat terbagi ke dalam denominasi—tampaknya tengah dialami saudara kita, umat Muslim, di tahun politik ini. Paslon nomor 1 memiliki calon wakil presiden yang sebelumnya merupakan ketua Majelis Ulama Indonesia, sementara Paslon nomor 2 maju dalam pencalonan dengan didukung oleh para ulama dan banyak pemuka agama.

Kita yang berbeda keyakinan tentu tak begitu terpengaruh dengan kejadian ini. Namun, mari kita coba berandai-andai: andai dalam Pilpres salah satu paslon merupakan pemimpin umat Kristen dan yang lain adalah didukung oleh para pemimpin umat Kristen, kemudian terjadi perpecahan karena kepentingan politik, siapakah yang akan Anda pilih?

Melalui internalisasi diri maupun dengan empati, mungkin kita mendialogkan fenomena ini dengan sudut pandang ajaran Kristen; apakah seorang pemimpin rohani; atau pilihan para pemimpin rohani; bisa menjadi jaminan memimpin bangsa dan negara dengan baik? Lalu bagaimana kita harus merespons suasana perpecahan pada saudara-saudara kita, umat Muslim?


Photo by Wim van ‘t Einde on Unsplash

Nabi, Hakim atau Raja? Menelisik kepemimpinan di dalam Alkitab.

Literatur Alkitab menjelaskan secara gamblang bahwa sistem pemerintahan bangsa Israel ialah teokrasi dan monarki. Teokrasi merupakan sistem pemerintahan negara, berdasarkan kepercayaan bahwa Tuhan sendiri yang secara langsung memerintah sebuah negara melalui wakil yang Ia pilih. Sistem teokrasi mulai berlaku ketika bangsa Israel keluar dari tanah perbudakan Mesir, dipimpin oleh Musa, nabi yang dipilih dan diutus langsung oleh Allah (Keluaran 3:7-10). Ketika Musa meninggal, Yosua dipilih Allah untuk melanjutkan estafet kepemimpinan dan membawa bangsa Israel masuk tanah Kanaan (Ulangan 31: 1-8). Berlanjut pada masa Hakim-Hakim, Allah sendiri yang memilih langsung Otniel, Ehud, Samgar, Debora, maupun hakim-hakim Israel lainnya, hingga Samuel menjadi imam-sekaligus-hakim yang terakhir.

Keburukan sikap bangsa Israel disertai tuntutan tua-tua Israel di masa tua Samuel, maka dimulailah sistem monarki dengan Saul menjadi raja pertama. Tak berlangsung lama, pemerintahan berganti dengan Daud menjadi raja, dilanjutkan Salomo sampai Kerajaan Israel terpecah menjadi dua. Sejarah dalam Alkitab mencatat sistem monarki tetap berjalan hingga era Perjanjian Baru dengan keluarga Herodes sebagai raja boneka yang mengabdi pada imperium Romawi.

Berdasarkan cerita Alkitab tentang keberjalanan bangsa Israel, kita dapat dengan mudah mengategorikan pemimpin A itu baik dan pemimpin B itu buruk. Namun jika kita cermati kehidupan kenegaraan bangsa Israel, baik pada waktu menerapkan sistem teokrasi maupun sistem monarki, kita akan mendapati bahwa seseorang pemimpin yang dipilih oleh pemimpin agama, maupun pemimpin agama tersebut sendiri yang memimpin pemerintahan, tetap tidak ada seorang pun yang benar-benar sempurna.


Painting by Nicolas Poussin on Wikimedia Commons

Musa—orang pertama yang dipilih Allah untuk memimpin umat Israel—melakukan kesalahan, yakni ketika ia tersulut emosi pada waktu umat Israel bersungut-sungut kehausan (Bilangan 20: 1-11). Secara manusiawi, kita juga bisa melihat Musa sebagai pemimpin yang kejam dan tidak ragu membuat bangsanya saling membunuh saat mereka menyembah anak lembu emas (Keluaran 32:25-29).

Begitu pula Samuel sebagai hakim terakhir, ia mewariskan takhta kepemimpinan kepada anak-anaknya, bukan kepada orang yang dipilih langsung oleh Allah. Padahal anak-anak Samuel merupakan seseorang yang mengejar laba, menerima suap, dan memutarbalikan keadilan (1 Samuel 8:3). Samuel pun juga tegas mencincang Agag, Raja Amalek, dengan sadis. Nabi dan hakim yang dipilih oleh Allah pun nyatanya dapat berbuat kesalahan dan kekejian.

Daud, orang yang menjadi pengganti Saul pun—seseorang yang dipilih oleh Allah sendiri, melalui Samuel—juga bukan orang yang sempurna. Alkitab mencatat Daud sebagai raja yang melakukan pembunuhan dan perzinahan terencana kepada keluarga Batsyeba (2 Samuel 11). Perbuatan buruk juga dilakukan oleh para keturunan Daud, baik raja-raja yang berkuasa di Israel Utara maupun Yehuda. Dari semua contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa pemimpin yang dipilih oleh Tuhan pun para hamba Tuhan, nyatanya bukanlah sosok yang sempurna.


Menyikapi Ketidaksempurnaan Calon Pemimpin Kita

Tidak ada seorang pun yang sempurna, baik itu hamba Tuhan, maupun pilihan orang-orang yang dekat pada-Nya. Hal serupa terjadi pada Pilpres 2019, meskipun kedua Paslon sama-sama terkait dengan jabatan maupun tokoh agama, kesemuanya tetap merupakan orang-orang yang tidak sempurna, yang penuh dengan kecacatan dan kelemahan.

Dari sosok Paslon nomor urut 1, kita bisa lihat ketidaksempurnaannya sebagai petahana yang belum memenuhi janji-janjinya (penyelesaian kasus pelanggaran HAM, pembelian kembali satelit dan sebagainya) juga wakilnya dengan polemik isu pemimpin seagama yang tertulis di awal tulisan. Sedangkan ketidaksempurnaan Paslon nomor urut 2 pun bisa didapati melalui oleh kabar bohong yang beredar dari kubunya (seperti kasus pemukulan, truk dengan surat pemilihan palsu, dan sebagainya).


Photo by Vadislav Babienko on Unsplash

Mari kita lihat apa kata Yesus.

Yesus mengajarkan kita mengenai sikap menghormati pemimpin yang tak sempurna. Dalam Matius 22:21, pernyataan Yesus untuk tetap memberikan apa yang wajib diberikan rakyat kepada Kaisar merupakan sebuah bentuk penghormatan, bukan pemberontakan yang menjelek-jelekkan pemimpin. Tentu kita sebagai rakyat pun juga bisa mengkritisi kedua paslon pemimpin, tetapi Yesus mengajak lebih lagi dengan menjaga sikap hormat yang dapat menghindari timbulnya konflik.

Memang tidak ada pilihan yang sempurna. Namun tetap menjaga kesatuan dengan tetap menghormati pemerintah sesuai dengan perintah Yesus, juga menghormati saudara-saudara Muslim serta pemeluk agama lain, adalah hal yang luar biasa.


Penulis oleh Ari Setiawan

LATEST POST

 

Bila hati terasa berat Tak seorang pun mengerti bebanku Kutanya Yesus Apa yang harus kuperbuat  ...
by Yessica Anggi | 22 Mar 2024

Entah mengapa, tapi ego itu begitu menggoda diri manusia. Ego untuk menguasai, untuk menja...
by Markus Perdata Sembiring | 19 Mar 2024

Keraguan adalah salah satu hal yang sering terjadi di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Keraguan...
by Immanuel Elson | 14 Mar 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER