"Destructive" Progressive Christianity

Going Deeper, God's Words, 09 April 2024
Galatia 1:8 Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.

Respons terhadap Progresive Christianity


Istilah progresive Christianity terdengar belakangan ini. Hal tersebut tidak lain dikarenakan seorang pastoronline yang mengatakan bahwa semua orang akan diselamatkan. Dalam menyampaikan argumennya, ia kerap kali menggunakan istilah Kekristenan Progresif. 


Image on Pixabay on Pexels

Dalam salah satu web dari Kekristenan Progresif yang ada di Amerika, mereka mengaku bahwa kekristenan bukanlah satu-satunya kebenaran.[1] Kurang lebih, hal ini juga yang diakui oleh orang-orang yang menyebut diri mereka Kristen progresif. Sebenarnya pandangan ini bukanlah pandangan yang baru; pandangan seperti ini biasa disebut juga sebagai universalisme atau pluralisme.

Secara pribadi, saya melihat pandangan progresif ini merupakan sebuah reduksi besar terhadap Injil dan Alkitab, dan hal ini sangat berbahaya! Di bawah ini saya akan memberikan beberapa alasan mengapa progresive Christianity merupakan reduksi besar dari kekristenan.


1. “Merendahkan” Otoritas Alkitab

Salah satu hal dasar yang sangat fatal di dalam pemahaman progresif adalah kegagalan dalam memahami otoritas Alkitab. Pandangan progresif melihat Alkitab bukan sebagai Firman Allah, namun sebagai dokumen sejarah kuno yang dapat menjadi penuntun kehidupan.[2] Hal ini bertentangan dengan iman Kristen yang orthodox. Kekristenan percaya bahwa Allah adalah Allah yang benar (Rm. 3:4) dan Alkitab adalah firman Allah yang diilhami oleh Allah (2 Tim. 3:16), dengan begitu maka kekristenan yang orthodox melihat Alkitab sebagai firman Allah itu sendiri.

Bila Alkitab tidak dilihat sebagai firman Allah yang berotoritas, maka orang Kristen akan kehilangan standar, landasan, dan arah dalam hidup mereka. Itulah yang menjadi masalah besar di dalam kekristenan progresif. Ketika orang yang menyebut diri “Kristen” ini menolak firman Allah, sesungguhnya mereka sedang menjadikan diri mereka sendiri sebagai Tuhan dan standar kebenaran, dan bila standar kebenaran itu menjadi subjektif, maka tidak ada lagi baik dan jahat.


2. Asal “Comot” Alkitab

Asal comot Alkitab ini merupakan sebuah tindakan mengutip Alkitab, namun mencabut pemahaman tersebut dari konteks aslinya. Dalam memami Alkitab, kita harus memperhatikan konteks dari ayat tersebut! Dengan kata lain, menafsirkan ayat di luar konteksnya berarti mencabut ayat tersebut dari grand narative Alkitab yang merupakan sebuah satu-kesatuan yang utuh. Seluruh Alkitab merupakan firman Allah, bukan sebagian (2 Tim.3:16).

Dasar dari Kristen progresif adalah perintah Tuhan Yesus untuk mengasihi Allah dan sesama, namun pandangan progresif ini mereduksi lagi perintahnya menjadi “kasih” saja. Mereka mencabut pemahaman kasih yang ada di dalam Alkitab, yang sesuai dengan apa yang Allah maksud, dan memasukkan pemahaman mereka sendiri ke dalam kata “kasih”. Tidak heran bila orang-orang yang mengaku diri “Kristen” ini membenarkan tindakan berdosa dengan dasar “kasih”, sebab mereka telah meredifinisi kata “kasih” dengan kemauan mereka sendiri. 


3. Menempatkan Kristus di Posisi yang Lebih Rendah

Bagi orang Kristen yang sejati, Kristus adalah keutamaan (Kol. 1:15-23). Yesus Kristus adalah Firman, yang adalah Allah itu sendiri, yang menjadi manusia (Yoh. 1:1-18), Ia adalah Tuhan dan Juruselamat (Yoh. 20:28, Titus 2:13, 2 Pet. 1:1), dan Ia juga adalah sosok Mesias (Mat. 16:13-28). Namun, justru hal ini yang tidak dilihat oleh orang-orang “Kristen” progresif. Bila kita selami lebih dalam akar pikiran dari Kekristenan progresif ini, mereka tidak melihat Yesus Kristus sebagai Tuhan dan satu-satunya Juruselamat (sebab dalam banyak hal pula mereka menentang ajaran Yesus Kristus). Mereka melihat Tuhan Yesus hanya sebagai sosok guru moral yang pernah hidup di masa lampau dan mereka berusaha menjadikannya sebagai contoh cara hidup. Seolah-olah Tuhan Yesus sudah mengatur sebuah track dan mereka hanya tinggal mengikutinya tanpa mengenal sosok Yesus itu sendiri.


4. Moralisme sebagai Finish Line

Michael Kruger (dalam web resmi RTS) mengatakan bahwa pencapaian Kristen terbesar bagi seorang Kristen progresif adalah menjadi orang baik. Hal ini berbeda dengan apa yang diyakini oleh kekristenan yang orthodox. Kekristenan orthodox percaya bahwa tujuan utama dari seorang Kristen adalah untuk memuliakan Allah. Hal ini juga ditegaskan di pengakuan-pengakuan yang ada di sepanjang sejarah kekristenan, seperti Westminster Shorter Catechism.[3] Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, yang hilang dari diri manusia adalah kemuliaan Allah (Rm. 3:23), dan ketika manusia ditebus dari dosa, hal tersebut memulihkan kemuliaan Allah dalam diri manusia sebagaimana manusia diciptakan sesuai gambar dan rupa Allah (Kej. 1-2, Mzm. 8:3–5, 1 Kor. 11:7). 

Dengan pemahaman bahwa kebaikan adalah hal ultimat yang harus dikejar, maka orang-orang progresif menjadikan moralisme sebagai pencapaian terbesar mereka. Mungkin sebagian dari saudara akan bertanya, “Bukankah orang Kristen harus memiliki moral yang baik?”. Jawabannya adalah Ya, Tentu. 

Lantas apa yang membedakan? Kekristenan yang orthodox berfokus kepada keselamatan dan kemuliaan Allah, sehingga perbuatan baik atau moral yang baik bukan menjadi hal yang dikejar, melainkan hal yang keluar dari diri orang Kristen yang telah menjadi manusia baru. Seorang Kristen yang sudah diselamatkan seharusnya menjadikan perbuatan baik itu sebagai output dari keselamatan di dalam Kristus yang telah diterima, dan kebaikan yang keluar adalah kebaikan dengan standar Allah, bukan manusia.


Sebenarnya, masih banyak argumen saya dalam artikel ini. Namun, sekali lagi saya ingin menekankan bahwa kekristenan dan Tuhan yang benar adalah apa yang diajarkan oleh Alkitab, dan bukan apa yang manusia definisikan sendiri. Sebagaimana Agustinus dari Hippo pernah berkata 


If you believe what you like in the Gospel, and reject what you don't like, it is not the Gospel you believe, but yourself.”


Image on ODB

Akhir kata saya dari artikel ini, Allah dan kekristenan tidak didefinisikan oleh kita. Allah tidak menjadi berubah menjadi sesuai dengan apa yang kita percayai, justru kepercayaan kitalah yang harus sesuai dengan apa yang sesungguhnya Allah nyatakan. If the Bible calls it sin, our opinion doesn’t matter!


[1] “What Is Progressive Christianity?,” Bethel UCC, diakses 9 April 2024, https://www.bethelbeaverton.org/progressive-christianity.

[2] Brady, “Traditional Vs Progressive Christianity: Which One Do I Follow?,” Hillside Church of Christ, 14 November 2022, diakses 9 April 2024, https://hillsidechurchofchrist.com/traditional-vs-progressive-christianity/.

[3] Westminster Shorter Catechism, Q1

LATEST POST

 

Apa yang ada di benak Anda ketika sedang berulang tahun? Bahagia di hari yang indah?Sukacita ka...
by Kartika Setyanie | 01 Oct 2024

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, menjaga kesehatan mental menjadi tantangan tersendiri, teru...
by Admin | 27 Sep 2024

Dear Ignite People, Salam dalam kasih karunia Bapa dan Putra dalam persekutuan dengan Roh Kudus...
by Sobat Anonim | 27 Sep 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER