"Trauma is the invisible force that shapes our lives. It shapes the way we live, the way we love and the way we make sense of the world. It is the root of our deepest wounds." - Gabor Maté
DISCLAIMER: Mengandung pembahasan trauma. Bila khawatir ada istilah-istilah yang triggering, ataupun merupakan korban yang masih berjuang dengan trauma, dapat dipertimbangkan tidak membaca artikel ini.
YESUS MATI DAN BANGKIT; BEGITU MUDAHKAH?
Masa-masa tiga hari peringatan Jumat Agung, Sabtu Sunyi, dan Minggu Paskah sudah selesai. Benar, kita telah jatuh dalam dosa dan tidak layak di hadapan-Nya. Kita pantas binasa. Yesus Kristus telah berkurban di kayu salib untuk menebus dosa-dosa kita, menaklukkan kuasa iblis, dan bangkit pada hari ketiga. Kita terbebas dari belenggu dosa dan menerima keselamatan sejati bagi yang percaya! Itu semua harus terpatri di hati kita, dan karenanya kita harus hidup sebagai orang-orang yang telah dibenarkan dan diselamatkan!
Benar begitu, bukan?
Benar, tapi sayangnya, menjalani hidup tidak pernah mudah. Secara umum ini berlaku bagi kita semua, tapi secara khusus bagi yang harus berhadapan dengan efek kejadian-kejadian yang menghancurkan hati, memorakporandakan mental, dan meremukkan semangat.
Image by AN HP on Unsplash
Bagaimana kisah Jumat Agung, Sabtu Sunyi, dan Minggu Paskah berbicara bagi yang menghadapi trauma yang begitu kuat?
Orang-orang itu bisa saja jauh dari kita, tapi bisa juga begitu dekat, bahkan kita sendiri.
Lewat tulisan ini, saya mencoba berefleksi, belajar berdamai dengan trauma, dan berempati dengan yang luka dan kepahitannya sudah demikian dalam sehingga semakin kesulitan mencari makna Jumat Agung sampai Paskah, terutama justru karena ulah orang-orang yang mengaku Kristen taat dan mengikuti pengajaran yang benar.
Kita mulai dari Jumat Agung dan yang mengalami Jumat Agung, lagi dan lagi.
BERHADAPAN DENGAN TRAUMA
Sederhananya, trauma adalah kata Yunani yang berarti luka[1], fisik maupun mental, yang ringan hingga yang fatal. Kali ini pembahasan trauma lebih berfokus pada luka yang bersifat mental, baik yang ringan dan bisa selesai dalam jangka pendek maupun yang berat dan butuh pemulihan jangka panjang.
Gabor Maté, seorang dokter, mengatakan bahwa trauma bukanlah apa yang terjadi pada kita, melainkan apa yang terjadi dalam diri kita karena apa yang terjadi. Trauma adalah luka akibat kejadian-kejadian yang dampaknya membekas.[2]
Terkadang kita mudah melabel pengalaman-pengalaman hidup yang tidak menyenangkan sebagai “traumatis”. Menurut Maté, setiap kejadian yang traumatis pasti menyebabkan stres, tapi tidak setiap kejadian yang menyebabkan stres adalah traumatis. Trauma terjadi ketika kita benar-benar mengalami luka psikologis hingga kita menjadi terbatas dan terhambat. Trauma adalah kekuatan tidak terlihat yang membentuk hidup kita, cara hidup, mengasihi, dan memahami dunia. Trauma adalah akar pergumulan terdalam kita.[3]
Trauma bisa datang dari hal yang tampak sederhana (tapi diremehkan) hingga yang begitu berat (lalu cenderung diabaikan). Pengucilan orang tua, hinaan verbal, sentuhan tidak pantas, pertengkaran yang berlarut-larut, berakhirnya relasi, kehilangan, hingga pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, sampai kejahatan sistemik, perang, dan pembantaian.
Bagi yang harus berhadapan dengan itu semua, terutama yang skalanya begitu berat, trauma bisa begitu berdampak sampai rasanya kematian adalah realitas keseharian.
Dalam refleksi bahwa Jumat Agung adalah peringatan kematian, rasanya tidak terlalu jauh, bukan, bila bagi mereka yang traumanya begitu kuat, hidupnya bagaikan Jumat Agung yang berulang, terlebih yang mengalami retraumatisasi melalui berbagai kejadian triggering[4]?
Kira-kira apa artinya narasi soal penting dan akbarnya Jumat Agung di hadapan yang menggumuli trauma?
Image by Alicia Quan on Unsplash
JUMAT AGUNG YANG BERULANG
Shelly Rambo, teolog yang menggeluti studi trauma, menyebut istilah “after-living” untuk menggambarkan kehidupan yang harus dijalani di tengah “kematian” yang terasa terus berlangsung. Mereka yang berhadapan dengan memori kejadian traumatis berat harus berulang-ulang bangkit lagi di tengah realitas kematian.[5]
Bagi korban kekerasan, pelecehan, pemerkosaan, kematian orang terdekat, hingga korban perang yang menyaksikan pembunuhan tiada akhir, kematian adalah realitas setiap detik, bahkan walaupun kejadiannya sudah selesai dan mereka tampak tegar menjalani hidup. Dampaknya bisa lebih kuat bila penyebab trauma adalah orang-orang yang selama ini dianggap bisa dipercaya, seperti orang tua, kerabat dekat, teman baik, guru, tokoh panutan, hingga komunitas iman.
Terutama bila dilakukan dalam komunitas iman yang dianggap seharusnya menghadirkan rasa aman. Dalam tradisi Kristen, komunitas itu adalah gereja.
GEREJA: SAKSI BURUK (DAN PELAKU)
Bahwa gereja tidak luput dari dosa, rasanya kita sudah tahu. Namun bahwa para pelaku dosa yang paling berdampak traumatis di gereja adalah anggota-anggota jemaat yang menampakkan diri saleh dan menjunjung tinggi kebenaran, rasanya kita enggan mengakui. Kenyataan pahit ini sesungguhnya bergema begitu keras di masa Jumat Agung.
Ada dua dosa yang biasa kita lakukan saat membahas Jumat Agung, yaitu ketika begitu menekankan bahwa kematian Yesus adalah karena kita semua berdosa dan tak layak mendapatkan keselamatan, maupun ketika kita ingin segera move-on dari Jumat Agung untuk menyambut kebangkitan Kristus. Yang pertama menekankan terlalu dahsyat pada kebersalahan dan dosa-dosa kita yang bisa terasa tak terampuni. Yang kedua terlalu menekankan untuk segera menyudahi duka karena toh kita sudah tahu akhirnya, yaitu kebangkitan, keselamatan, dan surga.
Dua ekstrim yang tak jarang muncul dalam pemaknaan masa Jumat Agung hingga Paskah ini melatih kita untuk gagal peka, bahkan abai, terhadap dampak mendalam dari kejahatan berselimut penampilan alim, perilaku santun, dan keinginan menjaga “kesucian”, “kekudusan”, “marwah gereja”, atau apapun yang menghadirkan citra baik.
Kita cepat memaafkan orang-orang terpandang di gereja yang melakukan dosa yang amat problematik (korupsi, kejahatan institusional, kekerasan seksual) lalu “bertobat”. Kita begitu mudah mendakwa dan mengucilkan korban yang berupaya melawan pelaku kejahatan yang sudah sukses mencitrakan dirinya begitu baik (ini sering terjadi dalam kasus kekerasan seksual, ketika korban begitu susah bersuara, bahkan mengalami stigma yang begitu kuat, sampai akhirnya kehilangan iman ataupun trauma dengan gereja). Kita cepat menunjuk dan mengutuk orang-orang yang secara permukaan begitu mudah terlihat sebagai pendosa (rekan-rekan LGBTIQ+, pasangan beda agama, perempuan yang telah bercerai, warga gereja yang bunuh diri, orang dengan HIV/AIDS, dan lainnya). Kita begitu mudah menyegel komunitas kita yang suci dari mereka yang rindu mengenal Tuhan tapi sudah mendapat label “sesat”, “liberal’, dan “progresif”, karena kita enggan memahami maupun mendalami konteks-konteks pemahaman dan pengalaman iman mereka.
Ketika Yesus berkata, “ampunilah, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34), kepada siapakah Yesus berbicara? Siapa yang perlu diampuni? Prajurit-prajurit? Pemuka-pemuka agama Yahudi? Petinggi-petinggi Romawi? Murid-murid yang meninggalkan Dia?[6]
Bagaimana jika yang “tidak tahu apa yang mereka perbuat” itu juga mencakup kita, yang terus menjalani hidup yang menyalibkan Dia di balik topeng “pengajaran benar”, “marwah institusi”, ataupun “menjaga kesucian dan kekudusan”?
Siapa yang lebih perlu bertobat, kita, atau mereka yang mengalami trauma? Siapa yang lebih “tidak tahu apa yang mereka perbuat”?
Image by Natalie Pedigo on Unsplash
“AMPUNILAH, SEBAB MEREKA TIDAK TAHU APA YANG MEREKA PERBUAT”
Tuntutan bagi orang Kristen untuk mengampuni sering menjadi alat untuk menekan mereka yang bergumul dengan trauma dan kepahitan berulang supaya segera mengampuni. Pengampunan Allah tak jarang kita salahgunakan untuk mengendalikan orang lain agar “segera memaafkan”, bahkan untuk menghakimi bahwa mereka berdosa bila tidak segera memaafkan. Kita ingin memaksakan rasa bersalah yang lebih besar ataupun memaksakan Jumat Agung mereka segera selesai.
Pengampunan bukan perkara mudah, terutama bagi yang traumanya sudah menancap. Namun Yesus Kristus, di kayu salib, memohonkan pengampunan agung kepada Bapa. Yesus mewakili semua korban trauma, kekerasan, perang, kejahatan, dan penghakiman tidak adil, untuk berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
Maka bagi yang terus berhadapan dengan Jumat Agung masing-masing dan terus dituntut mengampuni, ingatlah Yesus yang bergumul dengan trauma terdalam dunia. Dia membersamai kita semua dalam perjuangan berpulih.
Bila belum sanggup mengampuni, tidak apa-apa. Yesus telah memohonkan pengampunan sejati lebih dulu. Dalam Yesus yang memohonkan pengampunan sejati bagi segenap manusia yang jatuh dalam dosa itulah pengampunan sejati Bapa dinyatakan. Di kayu salib, kasih dan keadilan ditegakkan. Maka carilah terus keadilan dengan mengingat bahwa Bapa mengampuni mereka yang bersalah jika kita belum mampu mengampuni.
Dalam proses berpulih, percayalah bahwa Yesus yang disalibkan dan bangkit itu selalu bersama kita menghadapi trauma. Dia hadir dalam proses menyakitkan untuk berpulih, mencari keadilan, dan mengampuni. Mungkin akan ada beragam pengalaman dilupakan, disingkirkan, dan dikucilkan sepanjang proses, bahkan oleh orang-orang yang mengaku taat mengikut Kristus. Namun Kristus tidak akan melupakan setiap kita. Dia mengingat dan menyahabati perjuangan kita menghadapi trauma.
Referensi:
[2] https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2023/apr/12/the-trauma-doctor-gabor-mate-on-happiness-hope-and-how-to-heal-our-deepest-wounds
[6] Fleming Rutledge, Three Hours: Sermons for Good Friday (Grand Rapids: Eerdmans, 2019).
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: