"Unjust laws exist: shall we be content to obey them, or shall we endeavor to amend them, and obey them until we have succeeded, or shall we transgress them at once?" - Henry David Thoreau
Hari-hari ini ramai sekali.
Akun media sosial orang-orang yang kita kenal mulai memasang pernyataan-pernyataan berlatar biru dengan tagline Darurat Indonesia, juga tagar #KawalPutusanMK, #TolakPilkadaAsal2an, dan lainnya. Tidak sedikit yang pernah apatis kini bersuara. Banyak aktivis, lembaga, dan rekan-rekan lainnya yang gelisah menyuarakan opini tentang apa yang sedang terjadi dengan konsitusi negara. Pun kecemasan tentang gerak Indonesia ke depannya apabila para penguasa yang diberi mandat oleh rakyat terus memainkan aturan demi kepentingan sendiri.
Demonstrasi mulai terjadi di berbagai kota, dengan massa yang membludak lalu diiringi tindakan-tindakan represif aparat. Media massa meliput dan merangkum apa saja yang terjadi.[1]
Image on Kompas.com
RESPONS ORANG KRISTEN: MARAH, DIAM, PATUH
Tak sedikit dari kita ambil bagian, entah ikut demo, mendukung lewat sumbangan materi, logistik, juga doa dan suara di media sosial. Ada yang mengupayakan advokasi hukum dengan fokus strategis pada regulasi. Ada yang ambil bagian lebih aktif menggerakkan massa atau mengedukasi satu sama lain soal bagaimana bangsa ini dijalankan hari-hari ini dan kekhawatiran ke depan.
Kekhawatiran ini hadir dari kekecewaan dan kemarahan yang berakumulasi dalam beberapa waktu terakhir. Kelas menengah yang awalnya apatis mulai merasakan dampak salah urus negara ini. PHK massal meningkat, mencari kerja semakin sulit, pajak bagi kelas menengah terus meningkat tapi pajak bagi orang kaya terus digerus, harga barang melambung, daya beli turun, penegakan hukum tumpul ke atas tajam ke bawah, korupsi merajalela, nepotisme digalakkan, diskriminasi usia kerja berlaku, maupun begitu timpangnya proporsi keseriusan pembahasan regulasi yang esensial bagi publik dibandingkan dengan regulasi yang hanya menguntungkan penguasa.
Tidak sedikit dari orang Kristen yang ambil bagian dalam menyuarakan keresahan-keresahan ini, tidak sedikit pula yang memilih untuk diam karena berbagai pertimbangan. Namun, tidak sedikit pula yang malah mengambil posisi bahwa Indonesia sedang baik-baik saja. Bahwa pemerintah kini mengerjakan bagiannya dengan baik. Bahwa orang Kristen harus berdoa memohon berkat dan mendukung pemerintahan sekarang yang sudah begitu dipandang berjasa bagi kemajuan dan Pembangunan Indonesia.
Mulai bertebaran ayat Alkitab sebagai justifikasi bahwa orang Kristen seharusnya tunduk dan patuh, apalagi melihat pemerintah telah begitu baik. Roma 13, 1 Petrus 2:13-17, Titus 3:1-2. Menurut mereka, tugas kita adalah tunduk, taat, patuh, dan berdoa bagi “perdamaian dan stabilitas nasional”.
Namun, apakah ayat-ayat itu memang menyerukan orang Kristen untuk tunduk, taat, dan patuh sepenuh-penuhnya?
ROMA 13: AYAT-AYAT ANDALAN
Bagian Alkitab yang sering dipakai untuk mendorong kepatuhan sebagai warga negara adalah Roma 13:1-7, yang diberi judul “Kepatuhan kepada Pemerintah” oleh Lembaga Alkitab Indonesia. Kuncinya ada di ayat 1-2 yang berkata bahwa “tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya.”
Entah sudah berapa kali saya mendengar ayat-ayat ini didaraskan di gereja ketika doa syafaat atau khotbah ketika sampai pada tema bangsa dan negara. Aplikasi ayat-ayat ini cenderung seragam: patuhlah kepada pemerintah, terlebih pemerintah kini yang Pancasilais, jadilah warga negara yang baik, dukunglah pembangunan bangsa, doakan berkat bagi jajaran pemerintah.
Masalahnya, bagaimana bila pemerintah menjadi lalim, mencari kepentingan sendiri, gagal mengurus negara, berusaha memegang erat kekuasaannya, mengorbankan rakyat, dan mengkhianati konstitusi?
Bagaimana jika kepatuhan tiada kompromi malah melahirkan penyembahan berhala, ketika Yesus tidak lagi dijadikan Tuhan dan Raja? Bagaimana jika pernyataan seperti “gereja jangan ikut-ikutan urusi politik” mengiringi ayat-ayat seperti Roma 13:1-7 untuk menggebuk orang-orang Kristen yang menemukan bahwa panggilannya adalah untuk menyuarakan penindasan dan ketidakadilan karena pemerintah yang katanya harus dipatuhi?
Bagaimana jika pembacaan kita terhadap Alkitab malah menumpulkan panggilan mengikut Kristus?
Image on Fraser Institute
MEMBACA ROMA 13:1-2 DENGAN KONTEKS
Craig Greenfield, seorang Kristen Injili, misionaris di Kamboja, dan banyak terlibat dalam aktivisme sosial, berargumen bahwa Roma 13 telah dipakai untuk mempertahankan status quo sejak kaisar Konstantinus menjadikan kekristenan sebagai agama imperium, yang malah menunjukan diskoneksi antara tindakan Rasul Paulus, sang penulis surat Roma, dan cara kebanyakan dari kita menafsir kata-katanya.[2]
Penting mengingat bahwa Rasul Paulus hidup sebagai orang Kristen dan bersurat dengan orang-orang Kristen lainnya dalam konteks penjajahan imperium Romawi yang mempersekusi kekristenan. Berkali-kali Paulus mengalami penderitaan, dikejar aparat, dan kabur dari berbagai upaya menjeratnya dalam hukuman bahkan percobaan pembunuhan. Upaya pekabaran Injil terus berlangsung bahkan saat dia menjadii buronan.
Bagaimana mungkin Paulus bisa mengutarakan kata-kata seperti “tunduklah pada pemerintah” dan “tidak ada pemerintahan yang tidak dari Allah”?
Dalam pemahaman Greenfield, kata Yunani yang dipakai di Roma 13 ayat 1 untuk kata “tunduk”/”submit”, yaitu hupo-tasso berarti “arrange stuff respectfully in an orderly manner underneath”, menata segala sesuatu secara rapi dan teratur. Penerima surat Roma diminta untuk menjaga keteraturan sosial. Kata Yunani yang sama ditemukan pada Efesus 5:22 yang berbicara ketundukan dalam rumah tangga, merefleksikan kepedulian Allah terhadap keteraturan dan penghormatan.
Kuncinya, Paulus memahami konsep pemerintahan yang membutuhkan pemimpin-pemimpin untuk mengelola shalom, damai sejahtera yang sungguh.
Namun, ada satu kata Yunani lagi yang dipakai berkali-kali di Perjanjjian Baru, huppo-kouo, berarti “obey”, “patuh”, untuk taat, mengikuti perintah, atau melakukan arahan otoritas sebagai bawahannya.
Kata “patuh” bukanlah kata yang dipilih Rasul Paulus. Dia dapat memilih menggunakan kata itu, tapi tidak.
Bagaimana jika Rasul Paulus, dalam perjalanannya mengikuti Kristus di tengah opresi imperium, mengamini bahwa tunduk tidak berarti patuh?
TUNDUK TANPA HARUS PATUH
Ya, untuk tunduk dan untuk patuh adalah dua postur yang berbeda. Paulus, para rasul, dan gereja mula-mula pun mengamininya. Mereka berkali-kali tidak patuh kepada hukum sah yang berlawanan dengan panggilan mengikuti Kristus. Namun, mereka tetap tunduk kepada otoritas dengan menerima konsekuensi legal atas tindakan-tindakan mereka yang berlawanan dengan kemauan pemerintah, termasuk eksekusi. Mereka meneladani Kristus yang tunduk pada hukuman salib karena tuduhan makar terhadap pemerintah oleh imperium Romawi dan tuduhan bidat oleh pemuka agama Yahudi.
Jemaat gereja mula-mula begitu aneh. Menggunakan kalimat Joas Adiprasetya, sejak semula gereja memang senantiasa hidup berelasi sekaligus beroposisi dengan dunia, bersahabat sekaligus berkonfrontasi dengan dunia.[3] Beliau merujuk pada sebuah teks apologetika pada abad ke-2, Surat kepada Diognetus, yang menyampaikan demikian,
“Mereka hidup di negara-negara mereka masing-masing, namun hanya sebagai penduduk asing; mereka mengambil bagian ke dalam segala sesuatu sebagaimana layaknya warga negara, dan mereka menanggung segala hal sebagai orang-orang asing. Setiap wilayah asing merupakan tanah air bagi mereka, setiap tanah airi menjadi wilayah asing. Mereka menikah seperti setiap orang lainnya dan memiliki anak-anak, namun mereka tidak mempertontonkannya setelah mereka lahir. Mereka berbagi makanan mereka namun bukan pasangan seksual mereka. Mereka dijumpai sebagai orang-orang yang menubuh namun tidak hidup berdasarkan daging. Mereka hidup di bumi namun mengambil bagian ke dalam kehidupan surgawi. Mereka taat pada hukum-hukum yang sudah dibuat, dan dengan kehidupan mereka sendiri mereka melampaui hukum-hukum. Mereka mengasihi setiap orang dan dianiaya oleh semua orang. Mereka tidak dipahami dan mereka dikutuk. Mereka dihukum mati dan dibuat hidup. Mereka dibuat miskin dan membuat orang lain kaya. Mereka berkekurangan dalam segala hal dan berkelimpahan dalam segala sesuatu. Mereka dihina dan mereka ditinggikan di dalam keterhinaan mereka. Mereka difitnah dan mereka dibebaskan. Mereka dicaci-maki dan mereka memberkati, dianiaya dan mereka melimpahi kehormatan. Mereka melakukan kebaikan dan dihukum sebagai yang jahat; ketika mereka dihukum mereka bersukacita sebagai orang-orang yang telah dihidupkan. Mereka diserang oleh orang-orang Yahudi sebagai orang-orang asing dan dianiaya oleh orang-orang Yunani. Orang-orang yang membenci mereka tidak dapat menjelaskan alasan dari kebencian mereka.”[4]
Orang Kristen harus menjalani hidup sedemikian tunduk, tapi sedemikian anehnya di mata “penguasa-penguasa di udara” sehingga mereka yang membenci sesungguhnya “tak menemukan kesalahan padanya”, seperti Pilatus yang heran dengan Yesus.
Seorang sejarawan Kristen, Alan Kreider, dalam bukunya, “The Patient Ferment of the Early Church: The Improbable Rise of Christianity in the Roman Empire”, berargumen bahwa cara hidup yang tunduk tapi tidak patuh serta merawat kesabaran untuk setia hidup demikianlah yang menjadi kesaksian sejati, sehingga di tengah persekusi, justru kekristenan bertumbuh pesat di imperium Romawi.[5]
Benar, persebaran pesat kekristenan mula-mula bukanlah karena debat agama, program penginjilan sistematis, ataupun retorika yang mengalahkan ideologi lainnya, melainkan karena kesaksian jemaat mula-mula sebagai kitab terbuka, yang taat dengan cara yang aneh, tunduk tapi tidak patuh, melawan status quo tanpa kekerasan, peka terhadap sesamanya, dan merajakan Kristus sebagai satu-satunya Raja Semesta yang menghadirkan Kerajaan Allah di bumi seperti di surga.
Apakah itu juga yang kita hidupi dalam hari-hari ini, ataukah kita justru patuh buta kepada pemerintah seperti tentara bawahan kepada tuannya, atau seperti bangsa Israel yang dibebaskan dari Mesir kepada berhala patung lembu emas?
Image on Rmol.id
UNTUK TIDAK PATUH SECARA SIPIL: SEBUAH ALTERNATIF
Etika hidup mengikuti Kristus tidak sama dengan legalitas hukum yang berlaku. Ingat bahwa perbudakan, genosida, perang, diskriminasi ras, apartheid, dan penindasan lainnya pernah legal secara hukum di suatu masa dan bahkan tetap legal kini di berbagai tempat. Begitu pula manuver-manuver politikus yang ingin mengakali hukum tapi jauh dari etika yang tunduk pada kebenaran yang dari Allah saja.
Panggilan kita adalah mengikut Kristus dan terus memohon tuntunan Roh Kudus. Bahkan bila itu berarti dituduh makar, mengancam stabilitas nasional, mengganggu “ketertiban”, tidak sesuai “prosedur”, atau “tidak solutif”.
Lagi pula, Kristus yang kita sembah adalah Kristus yang melawan konvensi agama Yahudi, mengancam stabilitas dan tatanan imperium Romawi, tertuduh makar, dan pembela orang-orang yang disingkirkan, dilupakan, dan dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan mereka.
Maka ketika melihat ketidakadilan, perusakan lingkungan, diskriminasi, pelanggaran hukum terhadap yang tak berpunya, represi suara dalam berdemokrasi, dan kegagalan lainnya oleh otoritas dalam merawat kehidupan bangsa dan negara, berdoalah dan bacalah Alkitab.
Dengarkan suara Roh Kudus.
Lihat dan cari tahulah konteks sekitarmu, kapasitasmu, panggilanmu,
Belajarlah, edukasi diri dan sesamamu dengan pemahaman yang sehat, pedulilah terhadap suara-suara yang selama ini dianggap tidak penting.
Pada waktu dan tempatNya, berupayalah menjadi jawaban doa. Jawaban doa itu bisa dengan ikut demonstrasi, mengawal legislasi yang berpihak terhadap rakyat secara umum, advokasi mereka yang dihalang-halangi mendapat haknya, menyumbang materi bagi yang membutuhkan, menyediakan waktu untuk kerja-kerja sosial, menyuplai perkembangan informasi yang benar, membaca lebih dalam, mendengarkan lebih sungguh, dan terus berdoa lagi dan lagi.
Karena ada waktunya ketika ketidakpatuhan sipil justru merupakan panggilan Tuhan.
“Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!”
(Wiji Thukul, 1986)
Referensi:
[1] https://www.kompas.com/tren/read/2024/08/22/090000765/ada-aksi-demo-dan-peringatan-darurat-indonesia-apa-yang-sebenarnya-terjadi-?page=all
[2] https://www.craiggreenfield.com/blog/romans13
[3] Joas Adiprasetya, Berteologi dalam Iman: Dasar-dasar Teologi Sistematiika Konstruktif (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2023), 280
[4] R.B. Radford, trans., The Epistle to Diognetus, Early Church Classics (London, Society for Promoting Christian Knowledge, 1908), 63-65
[5] Alan Kreider, The Patient Ferment of the Early Church: The Improbable Rise of Christianity in the Roman Empire (Grand Rapids, Baker Akademic, 2016)
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: