Orang takut akan Allah menerima untuk hendak menjadi saleh, tetapi sadar bahwa mereka juga akan jatuh. Itu karena orang yang takut akan Allah adalah orang yang menyadari Allah memerintah dunia, berdaulat dan berusaha menunjukkan hormat kepada-Nya di dalam hidupnya.
Jangan jadi saleh – jangan jadi bijak – jangan jadi fasik
Apa maksudnya? Kalau jangan jadi fasik tentu kita setuju, tetapi jangan jadi saleh dan bijak? Bukankah itu adalah pilihan yang terbaik? Yuk, kita lihat kesaksian seorang yang sudah makan “asam-garam” bersama Tuhan dari Kitab Pengkhotbah 7:15-17:
Dalam hidupku yang sia-sia aku telah melihat segala hal ini: ada orang saleh yang binasa dalam kesalehannya, ada orang fasik yang hidup lama dalam kejahatannya. Janganlah terlalu saleh, janganlah perilakumu terlalu berhikmat; mengapa engkau akan membinasakan dirimu sendiri? Janganlah terlalu fasik, janganlah bodoh! Mengapa engkau mau mati sebelum waktumu?
Kira-kira apa yang kita bisa pelajari dari ayat di atas? Mari kita mulai dari memahami pesan kitab Pengkhotbah bahwa hidup ini membingungkan dan sia-sia karena apa pun keadaan, kemampuan, dan hasrat setiap orang, mereka juga akan mendapatkan kekosongan, kehilangan, maupun penderitaan. Hal yang sama juga berlaku bagi orang saleh. Mereka bahkan binasa di dalam keadaan sebagai seorang saleh (15). Mereka yang saleh pun menderita malahan orang fasik tetap hidup. Ini dilanjutkan di ayat 16 yang memberikan sebuah ajakan untuk jangan terlalu saleh ataupun berhikmat karena itu membinasakan diri.
Apakah memang kesalehan atau hikmat bisa membinasakan diri?
Kata "membinasakan" yang dipakai di dalam bahasa Ibrani adalah tishomem dari shamem. Arti kata ini bisa berarti membinasakan, atau destroy, tetapi kemunculannya tidak selalu memiliki arti tersebut. Lebih lanjut, kata ini berbentuk hitpoel yang bersifat reflektif, yaitu tindakan yang objeknya adalah pelaku tindakan, sehingga diterjemahkan “membinasakan diri.” Namun, di beberapa kesempatan, bentuknya seperti memiliki arti emosi berupa perasaannya yang terganggu (Dan 8:27). Singkatnya, aku menafsirkannya sebagai emosi–perasaan terganggu. Di zaman sekarang, kita bisa ibaratkan dengan insecure, anxiety, galau, atau "kena mental".
Kok, ini bisa terjadi? Well, ketika seseorang selalu berusaha menjadi “saleh”, “berhikmat”, dang “pure”, maka tentu akan ada anxiety, insecure. Kita ambil contoh, ketika nongkrong dengan orang lain, kita jadi takut ternoda oleh orang lain, insecure terjadi. Ketika kita nonton, kita menjadi sangat takut dengan tontonan kita. Ketika kita lupa berdoa sekali, kita merasa ketakutan. Kita pun menjadi kurang menikmati berkat Tuhan. Di sisi lain, Pengkhotbah juga memerintahkan orang-orang agar tidak menjadi terlalu fasik/wicked agar mereka tidak mati sebelum waktunya. Kita bisa membayangkan kesaksian Pengkhotbah dari film-film. Kita tahu orang-orang yang hidup sebagai kriminal, penjahat itu tidak tenang, karena ada musuh-musuh yang siap membunuh mereka. Jadi, jangan juga menjadi terlalu fasik dan pelaku kejahatan. Lantas bagaimana?
Kita lihat ayat 18 yang menyatakan bahwa kita lebih baik tidak melepas keduanya, karena orang yang takut akan Allah menghindari keduanya. Maksudnya? Ini berkaitan dengan jati diri manusia di bumi yang sudah berdosa di ayat 19-29. Jati diri manusia ialah fasik–yaitu memiliki hati yang penuh dengan kecenderungan untuk jahat, suka mengutuk, susah untuk menjadi bijak, dan seterusnya. Ini realitas. Maka, Pengkhotbah menasihatkan kita jangan menolak kenyataan ini, kita sebagai manusia akan jatuh, akan ada kelemahan, kita tidak akan selalu saleh di dunia ini. Itulah pemaknaan yang kita ambil dari “tidak melepas keduanya.”
Eits, tidak berhenti di situ, yang utama ialah “orang yang takut akan Allah menghindari keduanya.” Keduanya itu adalah risiko dari menjadi terlalu saleh dan terlalu fasik. Orang takut akan Allah menerima untuk hendak menjadi saleh, tetapi sadar bahwa mereka juga akan jatuh. Itu karena orang yang takut akan Allah adalah orang yang menyadari Allah memerintah dunia, berdaulat dan berusaha menunjukkan hormat kepada-Nya di dalam hidupnya. Sikap ini menjadi pendorong dalam hidup dalam kesalehan maupun jatuh dalam kefasikan.
Jadi, hal yang baik ialah menjadi takut akan Allah. Di dalam rasa takut akan Allah (bisa baca lagi di Amsal 1:7 -ed.), kita bisa mensyukuri apa yang terjadi dan di dalam kehidupan yang memiliki masa ketika kita saleh dan jatuh, serta kita bisa belajar mencari hikmat dari keduanya untuk berusaha memberikan penghormatan kepada Allah. Oleh karena itu, ada pesanku bagi kita semua. Pertama, kita tentu harus saleh tetapi tetaplah menerima kenyataan bahwa kita bisa saja berdosa. Jangan sampai kita tenggelam dalam rasa bersalah karena kembali jatuh dalam dosa, lalu kita terjebak pada pola pikir bahwa kita tidak akan bisa berubah menjadi seperti yang Tuhan mau. Justru di dalam kegagalan kita, Tuhan yang beranugerah masih memberikan kesempatan agar kita dapat bangkit bersama-Nya dan menikmati berkat-Nya. Lagipula, kesalehan dan hikmat itu alat, bukan tujuan; tujuan utamanya kita adalah menghormati dan mencintai Dia. Kedua, jangan pula kita berlama-lama memelihara kefasikan dan kejahatan, karena itu akan berdampak buruk bagi kita. Tuhan itu adil, Ignite People. Ketiga, mari kita belajar dan terus berproses baik di dalam kesalehan maupun ketika kita jatuh, untuk semakin mengasihi, dan menghormati-Nya serta membawa anugerah-Nya kepada orang lain. Sebuah kemenjadian, yaitu proses terus-menerus yang kita alami bersama Tuhan agar kita makin serupa dengan Kristus yang telah memperdamaikan kita.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: