Ngapain beli barang di pedagang asongan, kalo di IndoApril ada diskon dan higienis?
In colaboration with Olivia Elena Hakim
Gadis Penjual Tisu
Sore itu, beberapa waktu menjelang minggu Adven tiba, saya melangkah turun dari lantai dua coffee shop langganan untuk injeksi kafein putaran kedua. Hari kerja yang melelahkan buat pekerja remote seperti saya.
Coffee shop langganan saya bekerja berlokasi di jantung kuliner Kelapa Gading yang konon bergengsi di mata orang luar Kelapa Gading. Langkah saya terhenti sejenak melihat sejumlah anak kecil, berpakaian sederhana dan tidak beralas kaki, di lantai satu coffeeshop.
Anak-anak itu tidak asing bagi saya - mereka adalah para penjual tisu asongan yang biasa ada di emperan coffee shop dan deretan restoran lainnya di sepanjang Boulevard Raya Kelapa Gading.
Biasanya melihat mereka di luar, kali ini yang tampak berbeda adalah mereka sedang berinteraksi dengan salah seorang barista.
“Ini dusnya ya, Dek,” ujarnya sambil menyerahkan sejumlah dus-dus karton bekas susu, gula, maupun bahan lain di gudang mereka. “Mau ngumpulin dus buat apa? Buat dijual lagi, ya?”
“Nggak om, untuk alas tidur aku.”
Sejenak saya terpekur. Sepertinya sulit untuk kembali merutuki hidup di depan segelas kopi, jika malam hari saya masih tidur di atas kasur, bukan kardus.
Gadis Penjual Korek Api dalam Lorong Waktu
Peristiwa hari itu membekas di benak saya, meninggalkan memori dongeng masa kecil yang sering saya baca: Gadis Penjual Korek Api dari Hans Christian Andersen.
Dongeng "Gadis Penjual Korek Api" karya Hans Christian Andersen berkisah tentang seorang gadis kecil yang miskin. Pada malam Natal yang sangat dingin, ia keluar tanpa sepatu atau mantel untuk menjual korek api. Kedinginan dan tidak berhasil menjual apapun, ia menyalakan korek-korek apinya satu per satu untuk menghangatkan diri. Dalam cahaya korek api, ia melihat visi-visi indah termasuk makanan lezat, pohon Natal, dan akhirnya neneknya yang telah meninggal, yang memberinya kasih sayang dan kehangatan. Pada akhir cerita, gadis kecil itu ditemukan meninggal di sudut jalanan karena kedinginan, tersenyum damai dengan korek-korek api yang sudah terpakai di sampingnya.
Dongeng pada zaman dahulu sering mengangkat romantisme Natal sebagai latar yang magis, namun biasanya dongeng tersebut berakhir bahagia. Sebut saja "A Christmas Carol" dari Charles Dickens, atau "The Polar Express" oleh Chris Van Allsburg. Namun cerita dari Hans Christian Andersenlah yang sangat membekas di hati saya, karena endingnya yang tragis seakan meledek euforia Natal di depan batang hidungnya.
Seiring bertambah dewasa dan hidup makin (dipaksa) realistis, saya pun baru mengamini kalau memang cerita Hans Christian Andersenlah mampu menembus lorong waktu (dongeng ini berumur 178 tahun) dan membuktikan dialah dongeng Natal paling “nyata” dengan dunia kita hari ini.
Perhatikan saja berita-berita yang muncul jelang Natal tahun ini:
Andersen benar, nyawa seorang anak seakan tidak ada harganya di tengah masyarakat yang sibuk mengurusi masalah hidupnya sendiri. Di hari kelahiran Tuhan pun, terjadi genosida bayi oleh Herodes.
Gadis Penjual Korek Api di Natal Pertama GKI Kelapa Cengkir
Sontak, ketika diminta membantu menuliskan drama Natal tahun ini, saya terpikir untuk mementaskan dongeng Gadis Penjual Korek Api versi modern, dengan menggantinya jadi Gadis Penjual Tisu. Sosok yang sehari-hari pun, harus menghadapi sulitnya hidup hingga penolakan demi penolakan dengan sejumlah alasan seperti:
"Ngapain beli tisu di pedagang asongan, kalo di IndoApril ada diskon?"
"Bersih dan higienis nggak tuh tisunya? Ini musim Covid!"
"Membeli tidak mengatasi masalah kemiskinan sistemik Indonesia"
"Lebih baik pakai tisu bambu demi keselamatan lingkungan hidup"
Teori konspirasi: "Jangan gampang iba dan tertipu, karena di grup WA ada pengemis yang ternyata di kampung rumahnya mewah."
Minggu Adven tiba, Draft naskah siap. Semua konsisten seperti dongeng aslinya, hanya saja si gading penjual tisu tentu membuka tisu dagangannya sendiri untuk mengelap air matanya, sebelum ia melihat berbagai makanan enak hingga sosok mendiang sang eyang, lalu akhirnya ditemukan meninggal depan restoran.
Ide yang konsisten dengan cerita aslinya, tapi ditolak mentah-mentah. “Jangan mati dong, karakter utamanya?” demikian komentar yang diberikan oleh teman kami. Hal ini sempat membuat saya bergumul beberapa saat: saya tidak langsung mengganti ending-nya. Menurut saya, ini yang paling realistis, sesuai dengan kondisi masyarakat kita sekarang. Masa' mau dipaksakan happy ending ala Disney? Ogah!
Diskusi demi diskusi terjadi, hingga akhirnya seorang kawan mengajak saya merenung: Apa yang akan terjadi, seandainya Tuhan “lahir” dalam diri si Gadis Penjual Tisu? Tuntaskah semua masalah hidupnya, seperti Cinderella ketika bertemu ibu Peri?
Tidak juga. Tetapi kurang lebih, di tengah sesak hidupnya, mungkin ia dapat bernyanyi:
Child of the King
Lord, I don't have fancy toys
Like other little girls and boys
My clothes are faded and torn
My shoes are scoffed up and all worn
Though the world might think I'm poor
I am rich cause I have You, Lord
Lord, the people stop and stare
Then, pass as though I am not there
Although I am always all alone
I have no friends to call my own.
Though the people pass me by
I am loved cause You're by my side.
Chorus:
And I'm a Child of the King
If I have Him, then I have everything
Though the world may think That I am poor
I am rich cause I have you, Lord
Dan itulah ending yang dipilih untuk dipentaskan. Tuhan memang bukan peri dalam dongeng, yang menyulap derita hidup karakter utama menjadi cerita indah dalam semalam. Namun, lahirnya rasa “cukup” di tengah deraan hidup, dan rasa percaya akan penjagaan Tuhan, ternyata keajaiban yang lebih penting untuk kita hari ini.
Natal Bagi Sang Liyan
Baik gadis penjual korek api, anak-anak yang tewas oleh karena perbuatan orang dewasa, maupun penjual tisu asongan, siapa yang mengenal mereka? Mereka hanyalah “liyan”, atau istilah anak gamers, mereka adalah “NPC” di mata kita.
Namun jika kita menganggap sesama manusia dengan pola pikir pengabaian, mengapa Allah yang “Maha” mau memberikan keselematan bagi semua ciptaan?
Berdasarkan kerinduan untuk sedikit memahami betapa “Maha” pengasihnya Allah bagi manusia, panitia Natal GKI Kelapa Cengkir mencanangkan kegiatan yang mengajak jemaat dan simpatisan untuk berbagi sepatu bagi 130 anak-anak penerima beasiswa yang berada di Banyumas, Wonosobo dan Sokaraja. Siapa mereka? Tidak banyak yang tahu, mungkin hanya beberapa orang dari komisi Kesaksian Pelayanan saja yang memiliki list namanya. Tapi memberikan kasih kepada mereka yang tidak kita kenal secara intim merupakan esensi agar untuk merayakan Natal kepada Sang Liyan.
Ketika sukacita Natal, di mana kita merasakan bahwa Allah mengasihi manusia tanpa pandang bulu, hal ini menggerakkan panitia Natal GKI Kelapa Cengkir untuk berkolaborasi dengan berbagai komisi di gereja. Mulai dari komisi Kesaksian Pelayanan, Komisi Ibadah Musik, Komisi Kaum Muda dan juga jemaat serta simpatisan dapat mengumpulkan sejumlah dana sehingga dapat memberikan sepatu, agar 130 anak-anak yang tidak kita kenal, dapat melangkahkan kaki untuk mendekat dan makin mengenal Tuhan dalam momen sukacita Natal tahun ini.
***
Keajaiban berupa hati dan pola pikir yang berubah, tidaklah kasat mata sehingga kerap dipandang sebelah mata. Namun, bukankah ini keajaiban yang kita dan banyak orang lain perlukan setiap harinya?
Dan jika seorang gadis penjual tisu asongan bisa merasa “cukup” dengan tidur beralasakan kardus pemberian staf restoran, what’s our excuse untuk tidak bersyukur dan tidak berbagi kasih?
Simak selengkapnya di sini.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: