Sebagaimana Bapa dalam Kejadian 3:9 bertanya, "Di manakah engkau?" kepada Adam, pertanyaan ini tidak muncul karena ketidaktahuan-Nya, melainkan karena Ia ingin kita datang kepada-Nya.
Bulan Juni kemarin, gereja saya memperingati HUT ke-40. Salah satu rangkaian acaranya adalah drama musikal yang bertajuk 'Kembali', bercerita tentang tokoh utama bernama Helen, si perfeksionis, dan keempat kawannya: Dimas yang tegas, Bimo yang ceria, Vani yang polos, dan Sheryl yang fashionable.
Cerita dimulai dengan kilas balik menuju drama musikal yang diadakan tahun 2009 silam ketika Helen, 15 tahun, menemukan kecintaannya terhadap musikal dan bercita-cita membuat drama musikalnya sendiri. Demi mewujudkan mimpinya, ia melanjutkan pendidikan ke New York, mengambil jurusan performance arts.
Kini, Helen bekerja di bagian marketing di salah satu perusahaan di Jakarta. Suatu hari, Helen bertemu dengan Vani dan Sheryl. Mereka ingin membuat drama musikal untuk perayaan ulang tahun gereja, dan meminta bantuan Helen. Dimas dan Bimo turut membujuk Helen untuk kembali melayani, karena Helen sudah lama tidak pelayanan. Namun, karena pernah ditolak, Helen pun meminta waktu sebelum memberikan jawaban.
Di rumah, Papa dan Mama saling menyampaikan kekhawatiran mereka tentang Helen. Mama khawatir akan Helen yang terlalu sibuk bekerja dan tidak punya waktu untuk dirinya sendiri, pelayanan, apalagi untuk mereka. Papa mengangguk setuju.
Helen yang mendengar percakapan tersebut mulai berpikir, mungkin ini bisa menjadi kesempatan baik untuk menyeimbangkan hidupnya dan memperkaya CV-nya jika nanti ia bekerja di industri musikal. Ia juga membayangkan betapa bangganya orang tuanya nanti jika musikalnya sukses.
Maka diteleponnyalah Sheryl untuk memberi jawaban: Ya!
*
Panitia drama musikal terbentuk, ide-ide pun bermunculan, termasuk mengundang artis terkenal. Helen sangat antusias dengan ide untuk mengundang artis, yang juga adalah kawan lama mereka, Albert; sementara keempat kawannya ragu-ragu. Akhirnya, Helen memutuskan untuk menelepon Albert saat itu juga, yang akhirnya setuju menjadi guest star.
Di rumah, Helen dengan bangga memberitahu Papa dan Mama karena berhasil mengundang Albert, dan mengajak mereka untuk menonton musikalnya. Awalnya, Papa dan Mama menyanggupi, namun setelah Helen pergi, telepon Papa berdering. Ternyata, Papa mendapat tugas ke IKN pada tanggal yang sama dengan hari pertunjukan. Mereka lalu kebingungan bagaimana menyampaikannya pada Helen.
Di rapat selanjutnya, Helen membawa poster dengan wajah Albert tanpa memberitahu panitia lain sebelumnya. Dimas terlihat kecewa, ia merasa tidak dihargai sebagai sutradara, sembari mempertanyakan mengapa Helen mengambil keputusan sendiri. Ini adalah konflik pertama di cerita ini–tokoh Dimas digambarkan benar-benar marah karena keputusan sepihak yang diambil oleh Helen.
Untungnya, ada Bimo, Vani, dan Sheryl yang menengahi pertengkaran tersebut. Akhirnya, poster pun mulai dibagikan di gereja.
Suatu malam, Albert menelepon Helen, mengabari bahwa ia tidak jadi datang sebab ada agenda promosi lagu terbarunya yang harus lebih ia prioritaskan.
Helen yang sangat kecewa mengumpulkan para panitia inti. Semuanya kaget dan kebingungan. Konflik terjadi lagi–Helen yang tetap ingin mengundang artis dan keempat kawannya yang cukup dengan jemaat mereka saja. Rupanya, Helen menginginkan drama musikal ini menjadi sesuatu yang besar, viral, dan terkenal. Ia hanya ingin yang terbaik untuk semuanya.
Selanjutnya, monolog tokoh Sheryl membuat saya tercekat:
"Terbaik buat kita atau terbaik buat lo?
Emang ini pelayanan buat siapa? Buat lo?
Dulu lo yang bilang kalau musikal itu cara lo memuliakan Tuhan, cara lo bersaksi tentang Tuhan!
Cara lo mengubah hidup banyak orang.
Tapi sekarang, jumlah penonton lebih penting, 'kan, buat lo?"
*
Di rumah, Helen mengeluh pada Papa dan Mama soal Albert. Namun, sayangnya, Papa dan Mama lalu menyampaikan kabar bahwa mereka tidak bisa datang ke pertunjukan drama musikalnya nanti.
Di sinilah konflik puncak terjadi. Tokoh Helen "meledak" dan berkata bahwa Papa dan Mama tidak peduli padanya. Bagaimana permintaan-permintaannya tidak pernah dipenuhi, bagaimana dirinya tidak pernah membuat papa-mamanya bangga seperti kakaknya, Mas Argi–yang baik, sopan, pintar, juara olimpiade, jago tenis, piano, ketua remaja, supel, ganteng, lebih dipuji, lebih diperhatikan, lebih disayang, lebih didengarkan...
Tokoh Papa pun tak kalah meledaknya. Ia menggebrak meja dan berkata, "DIAM! Tutup mulutmu! Kami tidak pernah membanding-bandingkan kamu dengan Mas Argi. Sayang kami sama, ke kamu dan Mas Argi."
Tidak mau kalah, Helen menyentak, "Sama gimana? Kita selalu doa untuk Mas Argi, mengirit uang untuk pengobatan Mas Argi, Papa Mama enggak datang ke wisudaku, juga karena Mas Argi di rumah sakit. Semua untuk dia!"
Mama mulai menangis. Dengan tersengal-sengal ia berkata, "Len! Kenapa mikirnya gitu? Mas Argi membutuhkan kita waktu itu! Dia sekarat di ICU!"
Scene ditutup dengan Helen yang pergi ke kamarnya setelah mengatakan bahwa Mas Argilah yang terpenting untuk keluarga ini, bahwa kasih sayang Papa dan Mama hanya untuk Mas Argi, bahkan sekarang setelah Mas Argi telah tiada.
Pada scene Papa dan Helen, saya yakin banyak penonton yang juga banjir air mata karena berbagai sebab. Scene yang dimainkan dengan sangat apik, natur dari scene yang menyentuh hati, atau—jangan-jangan—ada dari antara penonton yang mendambakan scene tersebut terjadi dalam hidupnya. Penulis naskah dalam story Instagram-nya bertanya, "Mengapa harus Papa yang datang ke kamar Helen dan memulai percakapan itu? Mengapa bukan Mama?"
Jawabnya, tokoh Papa adalah penggambaran dari Bapa di Sorga.
Hal itu terlihat dari bagaimana setelah scene pertengkaran mereka, Papalah yang terlebih dahulu mendatangi Helen. Sebagaimana Bapa dalam Kejadian 3:9 bertanya, "Di manakah engkau?" kepada Adam, pertanyaan ini tidak muncul karena ketidaktahuan-Nya, melainkan karena Ia ingin kita datang kepada-Nya. Di sini, Papa mau menanyakan kabar Helen, mendengarkan curhatnya dengan baik. Helen lalu mencurahkan segala pergumulannya kepada Papa, bagaimana ia merasa tidak dimengerti, bagaimana ia merasa gagal, tidak berguna, sendirian, kesepian, dan mengecewakan kedua orang tuanya.
Terlepas dari lonjakan emosi Helen yang ditumpahkan kepadanya, Papa tetap menjawab dengan lembut. Ia mempersilakan Helen untuk bercerita sepuas yang ia mau. Helen lalu menjawab ia tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk menyukseskan drama musikalnya. Ia merasa sudah berusaha semaksimal mungkin, kembali ke pelayanan sesuai permintaan orang tuanya, namun untuk datang di hari pertunjukan saja, mereka tidak bisa.
Papa lalu bertanya pada Helen, untuk siapakah kamu melayani?
Untuk dirimu sendirikah? Atau untuk Tuhan?
Setelahnya, Papa bercerita bahwa ketika Helen lahir, ia bersyukur atas harta berharga yang Tuhan berikan untuk keluarganya. Harta berharga itu adalah Helen. Papa meyakinkan Helen bahwa ia berharga, lebih dari apapun yang ada di dunia ini.
Helen masih menanggapi Papa dengan sinis, berkata bahwa ia hanya berharga di mata papanya jika ia berhasil. Jika ia gagal, papanya akan tetap kecewa.
Sebuah panggilan masuk ke HP Papa. Ia terlihat gamang, apakah akan mengangkat telepon itu atau tidak. Ia tahu, itu adalah panggilan yang berhubungan dengan pekerjaannya. Akhirnya, Papa mengangkat telepon dengan mengatakan bahwa ia tidak dapat hadir di IKN di tanggal yang disepakati, karena katanya... ada acara penting anaknya yang harus ia hadiri.
Helen yang mendengar hal tersebut lalu mengulang kata-kata Papa, apakah benar papanya, sang pejabat yang sangat sibuk itu betul-betul membatalkan urusan pekerjaannya demi menonton pertunjukan drama musikalnya. Papa kemudian kembali menekankan bahwa Helen berharga, dan sebab itu ia ingin hadir untuk anaknya.
Oh, bisakah kita membayangkan betapa bahagianya dianggap berharga oleh Bapa?
Scene penting lainnya di drama musikal ini adalah scene yang melibatkan teman-teman Tuli dan disabilitas Netra. Di scene inilah cerita drama musikal yang dibuat oleh segenap panitia berlangsung. Terdapat monolog dari beberapa orang yang menunjukkan kerapuhan masing-masing: dari yang merasa tidak berbakat, depresi, tidak kunjung menikah, rasa iri pada orang-orang yang dianggap lebih keren, mereka yang berduka dan ditinggalkan, mereka yang kehilangan pekerjaan, mereka yang sudah tua dan sakit-sakitan, dan mereka yang merasa tak berguna dan menyusahkan orang tua.
Di scene ini terlibat pula beberapa dancers yang tampil dengan sangat baik, juga vokal yang diisi oleh teman disabilitas Netra (Alent) dan diisyaratkan oleh teman Tuli (Nancy). Selain mereka, scene ini diisi pula oleh beberapa tokoh yang sebelumnya muncul, anak-anak, dan dua orang teman Tuli lain (Gestary & Rimba). Bersama-sama, mereka menyanyi dan mengisyaratkan lagu tema bulan budaya 2019 GKI Pondok Indah:
Selamat datang, sahabat Allah
Tua muda dengan keunikannya
Tolong yang lemah, dukung sesama
Mari rayakan perbedaan kita
Kita berbeda, kita berharga
Mulia di mata-Nya
Tangan, kaki, mata, telinga, semua disayang-Nya
Kita berbeda, kita berharga
Setelahnya, curtain call pun dimulai dengan memanggil all cast & crew diiringi lagu Menari dalam Hujan, yang menutup pagelaran drama musikal ini dengan sangat ciamik.
Dengan ini, mereka yang hilang, telah kembali.
Ada dua hal yang rasanya baru saya sadari selama berpartisipasi dalam drama musikal ini.
Yang pertama: awalnya saya sangat gembira saat diajak menjadi JBI feeder di acara musikal ini. JBI feeder adalah juru bahasa isyarat yang bertugas membantu teman-teman Tuli di panggung untuk tahu kapan mereka harus berisyarat sesuai tempo vokal maupun lagu. Idealnya, JBI feeder akan berisyarat menghadap teman-teman Tuli, lalu isyarat tersebut akan di-copy dan diolah oleh teman-teman Tuli untuk diisyaratkan kembali.
Namun, dalam perjalanannya, peran itu kemudian bergeser menjadi semacam LO (liaison officer) yang mendampingi teman-teman Tuli dan disabilitas Netra. Kemampuan berbahasa isyarat tentu masih diperlukan, tetapi ada rasa kecewa terhadap diri sendiri sebab barangkali kemampuan berisyarat saya masih belum cukup. Peran itu masih saya pegang, namun alih-alih berisyarat, saya 'hanya' bertugas menjadi juru teks saja.
Seperti Helen, saya pun bertanya pada diri sendiri:
Pelayanan ini untuk siapa?
Untuk saya sendirikah?
Atau untuk Tuhan?
Walaupun alasannya manusiawi, sama seperti Helen, saya hanya ingin ada yang menonton saya di drama musikal ini. Meskipun tidak di atas panggung, meskipun peran yang saya pegang terkesan 'sepele'. Saya sampai mendapatkan pesan personal dari sang penulis naskah dan salah satu produser untuk tidak merasa kecil, sebab jika semua yang 'kecil-kecil' ini tidak ada, bisa jadi semuanya tidak akan berjalan lancar. Di khotbah ibadah Minggu keesokan harinya, saya mendapat pesan yang sama dari pendeta yang melayankan firman: kita penting dan berharga sebagai anak-anak-Nya, terlepas dari apa yang kita punya, apa yang kita bisa lakukan, dan apa yang orang lain katakan tentang kita. Pesan yang familier, sebab pesan tersebut kita dapatkan dari scene Papa dan Helen.
Yang kedua: show pertama di jam empat sore adalah show yang diperuntukkan bagi keluarga para cast & crew dan teman-teman Tuli. Di tengah-tengah euforia yang masih terasa melalui postingan Instagram banyak orang, saya menyaksikan cukup banyak dari pemain dan panitia yang mengajak keluarganya untuk berpartisipasi. Beberapa menyebut bahwa kepanitiaan ini adalah kepanitiaan di mana mereka yang terlibat rata-rata adalah suami-istri, kakak-adik, bapak-ibu-anak, bahkan sampai ipar-iparnya. Sedangkan saya, tidak seorangpun yang datang menonton maupun terlibat sebagai cast & crew adalah keluarga (biologis) saya, dan saya cukup yakin orang-orang yang mengenal saya secara langsung pasti tahu alasannya.
Maka sebab itu, saya sangat berterimakasih atas kehadiran teman-teman yang datang untuk menonton musikal ini, untuk kehadiran sebuket bunga yang cantik dan secarik ucapan yang menghangatkan hati, untuk kakak-kakak JBI senior yang darinya saya selalu dapat belajar, juga untuk teman-teman Tuli dan disabilitas Netra yang terlibat dan saya dampingi dari latihan sampai hari H. Saya sangat bersyukur atas interaksi-interaksi kita yang berharga.
Terima kasih telah menunjukkan kepada saya bahwa keluarga tidak harus selalu berarti mereka yang bertalian darah dengan kita, tetapi juga mereka yang bersedia hadir dalam momen-momen penting maupun biasa dalam hidup kita. Mereka itulah orang-orang yang Allah izinkan ada di dalam hidup kita sebagai keluarga yang satu di dalam Kristus.
Seperti Helen yang dalam perjalanan hidupnya tidak dikelilingi oleh orang-orang yang sempurna, keluarga ini pun bukanlah keluarga yang sempurna. Inilah hal yang juga membuat komunitas dalam gereja menjadi sesuatu yang indah–kita tidak dipersatukan oleh siapa kita, tetapi oleh apa yang telah Tuhan perbuat dan anugerahkan untuk kita.
Cukuplah ketidaksempurnaan itu yang membuat kita terus bergantung kepada Bapa, Sang Maha Sempurna itu. Kiranya Tuhan terus memeluk kita dalam ketidaksempurnaan kita.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: