Guardians of Galaxy, ESOTSM, dan Aku yang Belajar Memaafkan

Best Regards, Live Through This, 19 May 2020
Kami adalah sepatu, kami adalah saksi terakhir. Kami adalah sepatu dari para cucu dan sesepuh. Dari Praha, Paris dan Amsterdam, Dan karena kami terbuat dari kain dan kulit, Dan bukan dari darah dan daging, tiap-tiap dari kami terbebas dari api - Moshe Szulstein

Sebagai manusia yang memiliki otak normal, kita memiliki dua kemampuan: mengingat dan melupakan. Melalui ingatan, kita dapat melakukan berbagai hal yang luar biasa. Kita mencipta, menganalisis, bicara dan banyak lagi. Sistem pendidikan selalu menginginkan kita menjadi pengingat yang sangat baik hingga lupa mengajarkan bahwa melupakan adalah kemampuan otak. Lupa dan melupakan sering dianggap sebagai suatu kelemahan sehingga kita tidak dapat “melupakan” dengan baik.

Padahal melupakan adalah sesuatu yang penting untuk kita hidup dari hari ke hari. Terutama dalam konteks relasi antarmanusia.

Di sini kita akan menggali aktivitas memaafkan, dan kita akan dibantu 3 hal: Nazi Jerman, Eternal Sunshine of The Spotless Mind, dan Guardians of Galaxy 2. 


Holocaust, Germany & Banality of Evil

Dari tahun 40an hingga sekarang, Hitler dan Nazi Jerman merupakan template yang mudah. Indiana Jones, Star Wars dan HellBoy, atau film yang lebih bertemakan sejarah seperti Dunkirk, semua terinspirasi atau secara gamblang menggunakan Nazi sebagai antagonis. Pertanyaannya, pernah ga sih kamu bayangkan apa rasanya jadi orang  Jerman dan menonton bangsamu dijadikan template sebagai orang jahat di banyak sekali film?

Tentu Nazi sebagai cetak biru tokoh antagonis film bukan sesuatu yang tidak beralasan. Pernah mendengar holocaust?

Holocaust adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan orang Yahudi serta masyarakat lain yang dibenci Nazi seperti homoseksual, Orang Gipsi, Orang Eropa Timur, secara sistematis. Maksudnya sistematis adalah semua pembunuhan ini diorganisasikan oleh orang-orang Nazi secara sadar untuk memastikan bahwa orang-orang yang menjadi korban holocaust terbunuh secara masif. Mereka dengan sadar menciptakan alat-alat dan sistem yang rapi untuk membunuh manusia lain. Mereka menciptakan ruang gas dan ruang pembakaran untuk manusia secara hidup-hidup, menggunakan tahanan sebagai pekerja paksa, dan lain-lain. Hasilnya sekitar 6 juta Orang Yahudi tewas di Eropa selama Nazi berkuasa hingga 1945.

Ketika beberapa Orang Jerman diadili di Pengadilan Nuremberg sebagai penjahat perang, banyak dari mereka yang membuat psikolog tercengang. Para psikolog yang menganalisis mereka kebingungan karena analisis mereka tidak menunjukkan adanya cacat mental di para penjahat perang. Adolf Eichmann, salah satu orang yang diadili di Nuremberg menjelaskan bahwa mereka bukan orang jahat, mereka merasa benar. Mereka dapat merasa seperti itu karena bagi mereka itulah hukum dan situasi yang berlaku. Lama-kelamaan para veteran prajurit dan pejabat yang terlibat dalam upaya Jerman selama Perang Dunia II mengakui bahwa mereka salah dan meminta maaf.

Apakah orang Jerman malu? Tentu, tapi ternyata pengalaman pahit bangsa Jerman yang pernah dimanipulasi oleh Nazi menjadi batu loncatan untuk mereka untuk maju. Kita bisa menemukan sejumlah tempat yang menjadi monumen peringatan bahwa Jerman pernah melakukan kejahatan kemanusiaan. Bagi mereka, kita tidak boleh lupa akan masa lalu. Kerusakan telah terjadi, bahkan nyawa telah hilang 

Kini Jerman menjadi salah satu negara demokrasi yang (arguably) salah satu pemimpin dari Uni Eropa, bersahabat dengan Prancis, Britania Raya dan Amerika Serikat yang merupakan mantan lawan mereka di medan perang.


Eternal Sunshine of the Spotless Mind

Mempelajari sejarah Jerman tersebut mengingatkan saya pada diri saya sendiri. Beberapa kali mencoba membina hubungan, ada satu orang yang menjadi “alumnus” hati saya yang hingga beberapa saat yang lalu, masih tidak bisa berbaikan dengan saya. Kami memang berpisah secara tidak baik-baik, sambil sama-sama terluka.

Apakah kemudian saya menjadi kenangan baik dalam hatinya? Saya kira tak mungkin karena ia pun tidak menjadi kenangan baik bagi saya. Ia adalah sumber trauma dan alasan tangis di malam hari karena sesuatu yang direncanakan untuk membahagiakan berujung buruk. Tak pelak saya berusaha melupakannya sebagai salah satu cara move on. Melupakannya, saya harap menghentikan harapan saya untuk berbaikan, membuat saya dapat menerima situasi saya sekarang dan tak lagi merasakan sakit hati.

Kedua hal tersebut membuat saya iseng menonton kembali salah satu film favorit saya: Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Film drama karya Michel Gondry dan dibintangi oleh Jim Carrey serta Kate Winslet ini mengisahkan tentang pasangan yang sedang bermasalah dan ingin mencuci otak mereka agar mereka dapat melupakan satu sama lain dengan harapan bahwa mereka akan hidup tanpa luka masa lalu dan menghindari trauma yang mereka sebabkan pada satu sama lain. Ketika prosedur tersebut dilakukan, karakter yang diperankan Jim Carrey berusaha mati-matian untuk membawa kenangan terakhir akan Kate Winslet agar ia tidak kehilangan. Ia menyadari bahwa rasa sakit hati dan semua kenangan yang ia anggap sedih justru merupakan hal berharga. Ia dapat mendapatkan pelajaran serta kepuasan emosional bila ia menyimpan kenangan tersebut.

Film tersebut menanyakan: Karena mengingat itu menyakitkan, apakah melupakan masa lalu adalah cara terbaik untuk hidup? 

...........................................................................................................................

Dilanjutkan di Part 2


LATEST POST

 

Hari ini, 10 November, adalah Hari Pahlawan. Sebagai orang Kristen kita juga diajak untuk meneruskan...
by Christo Antusias Davarto Siahaan | 10 Nov 2024

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER