Frida dan Novena

Best Regards, Fiction, 02 March 2021
Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!" -Yohanes 19:26
Itu hanya sebuah patung. Namun tampaknya Bunda Maria sangat bersedih. Butuh keajaiban untuk dapat melihat air mata membasahi pipi sang patung yang merepresentasikan kehadiran Bunda Maria. Dan butuh keajaiban pula untuk menyematkan kembali sebuah senyuman dalam paras gadis kecil tersebut.

Gadis kecil? Sepertinya itu kata yang salah. Gadis itu sudah kelas enam. Tahun depan dia akan duduk di kelas tujuh. Seragamnya berbeda jauh. Ia tak lagi ber-rok merah. Ia akan dikenal sebagai ABG. Namun mungkin dia masih pantas disebut sebagai gadis kecil. Tubuhnya juga masih kecil mungil di tengah usianya yang genap sebelas tahun. 

Oh, gadis itu bernama Frida. Ia sangat terisak. Kesedihan terus menggelayuti dirinya. Telah lama sekali hilang senyuman itu. Persisnya itu terjadi tiga tahun silam. Ibu kandungnya meninggal saat melahirkan adiknya. Mungkin karena itulah ia susah untuk belajar mencintai sang adik perempuan. 

Tiap mengamati wajah adiknya, Frida seolah melihat bayangan sang mama. Apalagi mata sang adik memang begitu mirip dengan mata mamanya. 

Belum selesai masalahnya dengan sang adik, papanya datang membawa kabar. Kabar baik atau buruk, itu tergantung bagaimana kita memandangnya. Namun untuk Frida, itu kabar buruk. 

Kepala Frida makin terbenam ke bawah. Hatinya kebas. Mungkin air mata itu akan habis. Sebab sudah hampir dua jam ia bersimpuh di bawah patung Sang Bunda Kudus. 

"Bunda, kalau misalkan aku belajar untuk bisa baik sama Clara, apakah Bunda bisa mencegah Papa nikah lagi? Tolong yah Bunda, aku tidak mau Papa menikah lagi. Mama pasti sedih di atas sana. Aku janji deh, Bunda. Aku akan menjaga Clara dengan sebaik-baiknya.  Aku janji akan menjadi kakak yang baik. Aku janji juga akan jadi anak yang mandiri. Tapi tolong yah, Bunda. Aku tidak mau Papa menikah lagi. Kasihan Mama juga yang kini sudah bersama putramu itu."

Ini sudah kali kelimanya Frida merapalkan doa itu lagi. Doa Novena Maria yang konon jika diucapkan selama sembilan hari berturut-turut, sangat besar kuasanya. Dan ini sudah hari terakhir di jam yang selalu sama--tepat tengah malam. 

Tanpa diduga Frida, papanya menguping. Untung saja pintu kamar tertutup rapat. Namun tetap saja, Frida selalu berdoa dengan suara nyaris lantang. Sehingga terdengar oleh sang papa yang kebetulan lewat dari hendak mengunjungi perpustakaan kecil yang tak jauh dari kamarnya di lantai dua. 

Papa-nya terbuai untuk terisak juga. Pria paruh paruh baya itu berjalan sembari mengerjap beberapa kali. Pria itu sebetulnya tak mau menikah lagi. Namun itu di luar kuasa tersebut. Siapa yang bisa mencegah datangnya cinta? Apalagi menurut pria itu, Frida dan Clara sungguh memerlukan kehadiran seorang ibu. Mereka tak bisa terus mengandalkan Tante Sonia yang tahun depan akan menikah pula.



Pengalaman sungguh guru yang terbaik. Karena pengalamanlah, Frida jadi skeptis. Skeptis mungkin bukan kata yang tepat. Tapi Frida jadi tak percaya lagi dengan segala yang berbau spiritual. Bahkan ia lupa kapan terakhir pergi ke gereja. Kitab suci pun hanya menjadi seonggok yang menanti untuk dibaca di dalam rak bukunya. 

Frida terlahir sebagai seorang Katolik. Namun semasa SMA, di saat ada misa, ia tak pernah maju untuk mengambil hosti. Guru-gurunya pun heran. Terlebih guru agama-nya, Ibu Marcella. Pernah dirinya ditanya, dan dengan lugas Frida menjawab, "Buat apa? Lagian apakah Tuhan itu ada? Dari kecil, saya selalu berdoa. Tapi saya merasa Tuhan itu tidak ada. Justru apa yang saya dapatkan ini karena kerja keras saya; bukan karena Tuhan."

Tak hanya soal itu, Frida juga menjadi pribadi yang sering bermuram durja. Papanya lupa kapan mendapati sebuah senyuman hadir di paras Frida yang akan lebih cantik jika tersenyum. Sementara Clara nyaris tak pernah melihat senyuman termanis di wajah Frida. Selalu saja senyuman pahit. 

Kini, di dalam kamarnya yang sedingin hatinya, Frida memandangi patung itu. Patung yang sama, dengan yang menjadi kawannya bergadang demi mencegah papanya menikah kembali. Mungkin, seharusnya ia singkirkan patung itu. Namun ia tak tega. Patung itu peninggalan sang Mama sewaktu ia masuk SD kali pertama. Kata Mama, "Apapun masalah kamu,  lupa pula untuk selalu berdoa dan baca kitab suci. Minta pertolongan Tuhan dan Bunda-Nya saat kamu tengah ada kesulitan."



Mata Frida nyalang bercampur nanar. Pandangannya lurus-lurus ke patung Bunda Maria. Dirinya masih kesal karena perjuangannya berdoa Novena itu gagal total. Percuma ia bermanis-manis. Namun entah mengapa, Frida toh kembali menghadap Bunda Maria lagi. Ada sesuatu, dan sesuatu mungkin tak banyak orang bisa memahami secara akal sehat.

Melankolis semata? Terkadang di saat-saat tertentu, di saat tiap manusia sudah merasa tak bisa lagi berbuat lebih dalam kehidupan berharganya, mereka pasti datang sendiri pada Sang Pencipta. Hal-hal berbau religius seringkali berhasil menjadi semacam penyelamat. Salvata, sebuah kata dalam bahasa Italia yang berarti terselamatkan.  

Perlahan Frida menundukkan diri. Kepalanya coba disejajarkan dengan kepala Bunda Maria. Ia mengerjap, mulai melirihkan sesuatu. Mungkin itu doa yang sudah nyaris tak pernah diucapkannya. 

"Bunda,..." 

Kata-katanya tercekat. Sisanya berada jauh di relung hatinya. Entah apa yang Frida mohon, hanya ia dan Bunda Maria tahu.  Awalnya ia tak percaya--dan hanya menganggap itu sugesti belaka. Tapi dorongan nurani lebih kuat. Seperti ada sesuatu yang menyuruhnya untuk memercayakan bunda dari Yesus Kristus itu sekali lagi. 



Saat itulah, Frida teringat kata-kata seorang guru les di tempat bimbingan belajar. Bapak berpeci itu pernah berujar, "Seringkali manusia itu tak pernah tahu apa yang dimintanya pada Sang Pencipta. Ada baiknya, sebelum kita berdoa, renungkanlah baik-baik. Apakah yang kita minta, benar-benar yang kita minta."

Frida tercenung. Ditekuri lagi kata-kata itu seraya memandangi patung Bunda Maria. Sekelebat memori datang. Mungkin karena merupakan yang paling menyebabkan hatinya remuk, memori saat papanya menikah itulah yang datang. 

Mungkin papanya berhak untuk kembali bahagia. Bagaimanapun papanya seorang pria, pasti butuh kasih sayang seorang wanita; sesuatu hal yang sekarang Frida baru mengerti. 

Mungkin papanya memang harus menikah lagi. Bukankah Tante Sonia akan menikah juga saat itu? Siapa yang akan mengurus Clara yang masih balita? Frida juga akan disibukkan dengan ujian negara tingkat SD. Bukankah dengan kehadiran seorang ibu pengganti itu sungguh diperlukan? Clara yang masih kecil itu pasti akan sulit bisa menerima bahwa mama kandungnya meninggal akibat melahirkannya. Lagi pula Bunda Dira juga baik. Tak sejahat stereotipe ibu tiri yang pernah Frida ketahui. Bunda Dira sudah berhasil menghadirkan kembali kehangatan yang telah lama raib. 

Ah, kelenjar air matanya lemah sekali. Belum apa-apa pipinya sudah basah. Frida mulai menyesali kebodohannya. Yah, kebodohan akibat cepat mengambil kesimpulan yang keliru. Saking kelirunya, baru setelah ditampar beberapa pengalaman ia sadar. 

Itulah manusia. Seringkali baru benar-benar belajar jika sudah mengalaminya sendiri. Kalau tidak, mereka akan terus mengulang, mengulang, dan mengulang. Selalu mengulangi kekeliruan yang sama. 

"Oh Bunda yang kudus, maafkan aku yang sudah melupakanmu dan Putramu yang tunggal tersebut. Kini aku sadar sesadar-sadarnya bahwa aku telah keliru. Aku sadar Bunda memang tidak jahat. Tapi memang aku saja yang belum memahami apa yang aku minta. Maafkan aku, yah Bunda Maria."

Perlahan Frida membungkukkan diri dan bersimpuh. Kembali, setelah sekian lama, ia membenamkan kepala. Tak berani rasanya dirinya menatap wajah Sang Bunda setelah sekian tahun meninggalkan nyaris dari seluruh kewajiban agamanya. 

Doa itu dilantunkan kembali. Seperti biasa, doa novena tiga salam Maria. Sepenggal, dua penggal, tiga penggal, hingga...

Akhirnya, setelah sembilan tahun, Frida merasa bahwa dirinya sudah memahami sesuatu. Doanya saat dirinya masih pelajar Sekolah Dasar sudah sampai ke telinga Sang Bunda Kudus tersebut. Sayang ia baru memahami mengapa Bunda Maria tak kunjung mengabulkan permohonannya itu. Butuh waktu sembilan tahun untuknya dapat mengerti.

Saat-saat terakhir, saat-saat di mana doa Novena itu akan selesai didaraskan, Frida mengucapkan permohonannya. Tidak, ia tidak memilih untuk memohon soal keikutsertaannya di sebuah lomba karya tulis yang berhadiahkan beasiswa ke Australia. Baginya, itu tidak penting lagi. Ada yang jauh lebih penting lagi. Itu adalah...

...pembebasan ayahnya dari sel-sel tumor yang menyerang secara masif.




* Cerpen ini terinspirasi dari sebuah doa novena salam tiga Maria, yang mana sering aku lakoni . Novena itu sendiri artinya sembilan. Berasal dari bahasa Latin, novem. Konon doa novena timbul dari usaha kesebelas rasul yang berdoa selama sembilan hari berturut-turut--setelah Yesus Kristus terangkat ke sorga. Doa Novena ini sendiri didaraskan saat seseorang ingin memohon sesuatu yang sangat mendesak pada Sang Pencipta. Orang itu harus berdoa selama sembilan hari berturut-turut guna mendapatkan suatu rahmat khusus. Bisa dibilang, cerpen ini juga menjadi semacam kesaksian iman pribadi. Ada dorongan tersendiri untuk menuliskannya dan membagikannya di situs ini. Juga, sebagai wujud atas terkabulnya doaku selama sembilan hari berturut-turut.

 

RELATED TOPIC

LATEST POST

 

Film siksa kubur resmi tayang pada 11 April 2024, dan sebagai penikmat karya Joko Anwar, kami langsu...
by Ari Setiawan | 16 Apr 2024

Takut tambah dewasaTakut aku kecewaTakut tak seindah yang kukiraIgnite People, penggalan lirik lagu...
by Emmanuela Angela | 10 Apr 2024

GetsemaniDomba putih di penghabisan jagal Merah kirmizi di kandungan sengsara atas cawan yang kesumb...
by David Ryantama Sitorus | 10 Apr 2024

TAGS

 

novena cerpen

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER