Jaga kesehatanmu, ya. Jangan sampai kamu sakit terus-terusan cuma gara-gara masalah kepengurusan.
(Baca di sini untuk bagian sebelumnya)
Sakit hati?
Hmmm… nggak juga, sih. Apa yang Edward bilang kemarin Minggu itu memang benar. Mungkin aku yang kurang teliti dalam mencari uang persembahan itu; atau mungkin Yaya yang salah? Ah, malah jadi salah-salahan gini, kan, pikirku kesal.
BLIP! BLIP!. Ada chat yang masuk. Dari Edward (lagi).
“Kamu kok, nggak datang lagi? Kenapa?”
Aku membalas chat itu,
“Aku baru demam. Maap, Ed. Besok kalo kondisiku udah mendingan, aku coba cari lagi uangnya. Maap banget yaa :(“
Kali ini aku tidak berbohong. Sejak jadwal kuliahku semakin padat (ditambah tugas setinggi gunung Everest dan sedalam palung Marina), otomatis kesehatanku juga jadi naik-turun. Akhirnya... aku benar-benar ambruk dan nggak datang ke persekutuan hari ini (lagi).
“Sakit lagi? Jane, please. Jaga kesehatanmu, ya. Jangan sampai kamu sakit terus-terusan cuma gara-gara masalah kepengurusan :s
Oiya.. aku minta maaf buat kata-kataku kemarin Minggu. Kamu nggak kepahitan sama aku kan, gara-gara itu?” – Edward
“Nggak, kok. Mungkin aku juga yang salah. Hehe.
Omong-omong, aku juga minta maaf. Minggu lalu aku bohong sama kamu, Ed. Aku waktu itu nggak sakit, tapi aku menghindari pertanyaan tentang uang itu. Maafin aku (lagi) ya” – Jane
“Oh itu. Iya, nggak apa-apa kok hehe. Eh iya, Jane. Jangan tidur dulu ya. Aku sama Yaya mau ke rumahmu sebentar lagi.” – Edward
Ya ampun—aku baru sakit, dan mereka mau berdebat ria denganku di rumah!? Apa-apaan sih, mereka itu!!!
Sepuluh menit kemudian, mereka benar-benar tiba di rumah. Mama memanggilku untuk menemui mereka. Baiklah, nggak bisa kabur juga, kan? batinku sambil berjalan dengan malas ke ruang tamu (padahal saat itu aku masih pakai baju tidur. Nggak pantas dilihat sama cowok setampan Edward… HAHA!).
“Jane, Yaya mau bilang sesuatu sama kamu,” kata Edward tanpa basa-basi.
Kemudian Yaya berkata, “Jane, sorry. Aku yang bawa uangnya. Tadi waktu persembahan, aku ngerasain ada yang beda dari kantong tasku. Biasanya di situ nggak ada isinya, tapi tadi ada banyak uang di sana. Ternyata itu uang persembahan yang kamu berikan ke aku dua minggu yang lalu. Sorry ya, Jane…”
Aku mengerutkan dahi. “Berarti selama ini kamu nggak pernah buka kantong itu?”
“Nggak, aku cuma buka kantong itu kalau ada uang persembahan di sana. Dua minggu yang lalu aku nggak buka kantong itu karena aku kelupaan,” Yaya menggeleng.
Edward tersenyum. “So, masalahnya udah selesai, kan?”
Kami berdua mengangguk. Lega rasanya setelah tahu kebenaran yang ada di balik masalah kami, plus karena Edward langsung turun tangan menolong kami berekonsiliasi.
“Aku minta maaf juga, Ya, karena minggu lalu aku sempat nyolot sama kamu. Hahaha…” kataku.
Yaya melihat jam dinding, lalu berkata, “Wah, udah mau jam 9, Ed. Ayo pulang! Keburu dicari orangtuaku, nih!”
“Lah, tumben kamu nggak pulang sendiri,” kataku heran sambil berdiri bersama Yaya dan Edward.
Cowok itu nyengir. “Biasa… kalau sepeda motornya masuk bengkel, sepupunya ini nih, yang dijadiin tebengan.” Kami pun tertawa saat melihat Yaya yang tampak salah tingkah.
Setelah mereka berpamitan pada orang tuaku, aku mengikuti mereka ke arah pintu. Waktu mau keluar, Yaya berkata, “Sampai jumpa, Jane. Cepat sembuh, ya. Nanti ada yang nyariin, lho. Hahahaha…”
“Oh, ya? Siapa?” tanyaku, tapi Yaya (pura-pura) mengabaikanku. Edward masih berada di ambang pintu, dan (anehnya) wajah cowok itu tampak memerah.
“Sana istirahat, Jane. Get well soon! Teman-teman pada penasaran kenapa kok, kamu lama nggak dateng persekutuan. Sabtu depan dateng lho, ya,” katanya.
“Oke, Ed. Besok Sabtu aku pasti dateng, kok. Hehehe,” jawabku.
“Mereka kangen sama kamu... aku juga,” lanjutnya pelan.
“Hah? Apa?” tanyaku bingung.
Edward menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Nggak apa-apa. Lupain aja.”
Aku balas tersenyum ke arahnya, lalu mengantarnya ke luar. Yaya meringis ke arah kami.
“Ayo, Ed. Kamu mah lama, nih! Bye, Jane!” katanya.
Aku mengangguk sambil melambaikan tangan ke arah mereka. Kedua sepeda motor itu mulai menghilang dari pandanganku. Tetap saja, senyumanku masih mengembang. Yang aku bingungkan, apakah ini karena masalah kami sudah selesai, atau... karena kata-kata Edward tadi?
Bagaimana menurut kalian, warganet terhormat?
Forgiveness doesn’t excuse their behavior.
Forgiveness prevents their behavior from destroying your heart.
#BeyondHeart
Dimuat pada Majalah Ebenhaezer edisi pertama tahun 2015, dengan perubahan
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: