Perintah seorang yang memiliki titel tentu saja berbeda dengan yang tidak. Dalam konteks Asia, model patronase seperti ini diadopsi dalam segala lini kehidupan.
“Jika aku berkata kepada salah seorang prajurit itu: Pergi!, maka ia pergi, dan kepada seorang lagi: Datang!, maka ia datang, ataupun kepada hambaku: Kerjakanlah ini!, maka ia mengerjakannya.” - Matius 8:9b
Teks ini muncul dalam kisah di mana Tuhan Yesus menyembuhkan hamba seorang perwira di Kapernaum. Dalam teks ini, biasanya disoroti tentang “iman” sang perwira yang mau merendahkan hati memohonkan sesuatu untuk hambanya yang sedang sakit. Padahal statusnya adalah seorang perwira.
Tetapi saya tertarik khusus di bagian teks ini dan dalam teks Alkitab ini, di mana dengan gamblang sang perwira menggunakan analogi atasan-bawahan dalam memandang dirinya terhadap Yesus. Dengan latar belakangnya seorang militer, kita bisa paham mengapa perwira ini memandang dirinya seperti itu dan dalam arti lain perwira ini memandang Yesus sebagai figur yang lebih otoritatif. Di dunia militer ini disebut rantai komando (chain of command) yang mana relasi perwira dan bawahan itu absolut. Apa kata perwira tinggi, bawahannya harus menuruti.
Asian Values
Belakangan istilah ini viral setelah wawancara kanal Total Politik dan Pandji Pragiwaksono . Singkat ceritanya, istilah ini digunakan oleh Lee Kuan Yew, dan merupakan bentuk kritik LKY terhadap demokrasi barat.
Dalam wawancara di kanal tersebut kurang ter-eksplorasi jelas apa istilah Asian Values yang dimaksud, tetapi dijelaskan dengan lengkap oleh Arie Putra di artikel :
https://news.detik.com/kolom/d-7398967/dilema-asian-value-dan-human-rights
Menurut LKY, Asian Values berorientasi pada keteraturan dan loyalitas pada ikatan kolektif dari sebuah masyarakat. Nilai-nilai yang dijunjung oleh banyak bangsa Asia seperti kerja keras (hardwork) ,disiplin (discipline),dan hidup hemat (Thrifty), ditanamkan sejak dini dari keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat.
Singkatnya, nilai - nilai kekeluargaan di Asia adalah yang menjadi dasar pembeda dari kultur demokrasi di Barat yang cenderung individualistis. Di Asia, individu dipandang sebagai bagian sebuah keluarga (house), karena dinilai bahwa individu tak bisa lepas dari nilai - nilai di mana ia dibesarkan. Maka dari itu, kontestasi politik di Asia tak pernah lepas dari “dinasti” siapa yang berkuasa.
Contoh apik tentang "Asian Values" adalah ejarah panjang tentang dinasti - dinasti keluarga siapa yang berkuasa di China sekian lamanya.
Asian Values dan Relasi Kuasa
Dalam Asian Values sendiri, ada dinamika relasi kuasa tersendiri seperti pada teks awal. Ya tidak usah terlalu jauh - dari keluarga kita sendiri. Kultur di Indonesia erat kaitannya dengan relasi kuasa dalam konteks Asian Values.
Tipikal keluarga di Asia, dan nilai - nilai keluarga selalu menjadi pegangan utama dalam seorang patron mengasuh keturunan - keturunannya
( https://fb.ru/misc/i/gallery/76877/2464296.jpg )
Setiap anak muda millenial dan gen-Z yang lebih terekspos dengan peradaban dunia via internet, pasti mengalami konflik nilai dengan orang tuanya. Millenial dan gen-Z merasa lebih relate dengan nilai-nilai individu di setiap manusia, punya keinginan sendiri dan cita-cita sendiri, sedangkan orang tuanya menganggap bahwa sang anak memang seakan memiliki “takdir” tertentu karena terlahir di keluarga tersebut, jadi sang anak memiliki tugas mutlak untuk meneruskan nilai - nilai keluarga - entah melalui profesi tertentu (umumnya meneruskan usaha orang tua atau jadi ASN seperti bapaknya), atau pernikahan yang sebisa mungkin homogen (tidak beda ras, tidak beda agama, tidak beda marga), memiliki keturunan untuk meneruskan “warisan” klan / nama / marga keluarga.
Dan di Asia, orang tua ke anak umumnya memiliki hubungan yang otoritatif dan mutlak. Anak harus menurut pada orang tua, tak boleh melawan, setidaknya, ada satu orang patron dalam keluarga (kepala keluarga, umumnya ayah, walau ada pula yang ibunya berperan sebagai patron) yang dulunya juga ditugasi untuk menjaga “nila -nilai keluarga”.
Relasi Kuasa di dalam Gereja ?
Dalam konteks Asian Values tadi, warna teologi di Asia pun memiliki keunikan tersendiri. Misalnya, antar-anggota Jemaat gereja seringkali memiliki hubungan kekerabatan yang kental, terutama gereja-gereja kecil di daerah. Bahkan setuju ataupun tidak setuju, setiap Jemaat sudah seperti satu keluarga sendiri. Kepindahan keanggotaan tak jarang dianggap sebagai sebuah “pembelotan” terhadap nilai “keluarga - anggota Jemaat”.
Pendeta dan Penatua pun kuasanya nyaris absolut karena dianggap sebagai Patron - apalagi jika pendetanya sudah melayani bertahun - tahun.
Dalam hal ini, kita harus mengingat adagium :
“Power tends to corrupt, Absolute Power corrupts absolutely”
Saya bukan ingin mengatakan setiap pendeta di Asia korup karena jelas itu generalisasi berlebihan, banyak kredit harus saya berikan pada hamba - hamba Tuhan yang saya kenal, yang memang setia melayani dengan tulus.
Tetapi di sisi yang lain, setiap kata yang keluar dari mulut pendeta, memiliki otoritas yang sangat kuat karena powernya saja nyaris absolut. Sudahlah nyaris absolut, titelnya “Hamba Tuhan” - orang yang “diurapi” Tuhan. Bagaimana kita mau melawan “pembawa pesan Tuhan” ? Ingat perumpamaan kebun anggur ? (Matius 21 : 33-44)
Jika bapak / ibu pendeta mengatakan sesuatu pada jemaat, maka jemaat akan langsung “Ya dan amin!”. Seperti perwira tadi, mana ada kita kuasa untuk melawan bapak - ibu pendeta ? Ini di Asia lagi, yang mana dibudayakan nurut kepada sang patron.
Yesus : Menghardik, tapi tetap Menghormati.
Yesus dan kaum agamawan pada zamannya
( https://www.testifygod.org/wp-content/uploads/2018/06/Pharisees-3.jpg )
Seberapapun keras hardikan Yesus pada kaum agamawan pada masanya, saya pikir Yesus tak pernah punya maksud untuk mendiskreditkan. Bahkan, Yesus masih menaruh hormat pada ajaran - ajaran mereka , dan tidak anti untuk berdialog (Yohanes 3, berdialog dengan Nikodemus).
Tetapi, hardikan Yesus bagaikan sambaran petir bagi kaum agamawan yang sering memberikan kewajiban dan tuntutan berat pada umat, melakukan penyalahgunaan kekuasaan, dan enggan untuk bersikap egaliter, dimana Yesus sendiri sangat egaliter dengan para pengikut-Nya.
Yesus mengerti tanggung jawab besar dari memiliki “kuasa” sehingga ketika pengikut-Nya mulai banyak, Ia justru undur diri, mengambil waktu sejenak untuk berefleksi. Ia jauh dari sikap ingin meng-eksploitasi pengikut-Nya untuk kepentingan pribadi. Bahkan di teks awal tadi, Yesus justru menunjukkan apresiasi lebih terhadap kerendah-hatian perwira itu dan cukup mengatakan “jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya” (ay.13) bukan “Aku sudah menyembuhkan hamba-Mu”.
Ujung - ujungnya, jika kita semua mendaku pengikut Kristus, kita diajarkan untuk meneladani Kristus, bukan ? Berlaku bukan saja pada para rohaniwan yang kuasanya cukup besar (nyaris absolut), tetapi sebagai orang tua ke anak, sebagai atasan ke bawahan, dosen ke mahasiswa, apapun judulnya, ketika memiliki sebuah jabatan penting, kata - kata menjadi sedemikian powerful, dan kita tentu saja dipanggil supaya berhati - hati dan lebih peka dengan keadaan - apalagi dalam konteks Asia.
Bahwa ada nilai - nilai yang memang mesti kita hormati seperti Asian Values tadi, tapi kembali lagi, bukankah nilai itu juga sebenarnya dinamis mengikuti zaman ? Lagipula, bukankah dengan menerima dinamika zaman yang terjadi, kita akan tetap dapat melestarikan “nilai - nilai keluarga” tadi supaya tetap relevan ?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: