RUMAH YANG KURINDUKAN

Best Regards, Live Through This, 21 March 2021
Home it's not a place, it's a situation (NN)

Secara umum, rumah adalah sebuah bangunan yang dijadikan tempat tinggal dalam jangka waktu tertentu, berfungsi sebagai tempat istirahat dan berlindung dari ancaman dunia luar. Namun berdasarkan maknanya, jika melihat di luar sana, ada banyak tempat yang bisa berfungsi sebagai "rumah" selain tempat tinggal kita sendiri. Contohnya: sekolah atau kampus sebagai tempat kita banyak menghabiskan waktu belajar, gereja sebagai tempat pertumbuhan iman, atau mungkin tempat hiburan di mana kita bisa melupakan masalah kita.


"Akhirnya sampai juga di rumah."

Setidaknya itulah kira-kira yang biasa kita ucapkan ketika sampai di rumah setelah seharian beraktivitas di luar rumah atau mungkin terasa lelah setelah bepergian, begitu pula denganku. Sejauh apapun kaki melangkah, aku selalu merasa rindu pulang ke rumah. Ada rasa lega karena akhirnya bisa beristirahat, entah rehat sejenak untuk melepas kelelahan fisik, atau untuk melepas "topeng" yang aku pakai sebagai bentuk bahwa diriku baik-baik saja di luar sana.



Mungkin sejak SD, kita sudah diajarkan bahwa kebutuhan pokok (primer) setidaknya terdiri dari tiga kategori: pangan, sandang, dan papan. Nah, jika demikian, pernahkah kita membayangkan bahwa rumah (yang disebut papan) itu tidak melulu tentang sebuah bangunan fisik?

Aku pernah membaca sebuah caption: 

Rumah itu bukan (hanya) bangunan, rumah itu adalah perasaan. - NN

Hah? Rumah adalah perasaan? Masa', sih? Perasaan itu perasaan emosional ya seperti marah, sedih, senang, dan sebagainya. Mana ada yang kayak gitu!

Photo by Andrea Piacquadio on Pexels


Iya, awalnya aku juga berpikir hal yang sama, sampai suatu kali aku mengikuti sebuah camp yang mengubah pandanganku soal rumah. Dalam camp itu, aku dan para peserta lainnya diajak untuk banyak berdiskusi dengan topik yang sangat beragam; bukan sekedar perjumpaan dengan Tuhan, tetapi juga perjumpaan dengan diri sendiri. Setiap peserta diajak untuk merenungkan apakah seluruh kehidupan kita sudah menemukan tempat tinggal yang sebenarnya atau hanya untuk sekedar berlindung dari masalah yang ada. Nah, dalam diskusi itu, aku belajar beberapa hal. Pertama, aku belajar bagaimana seharusnya berkomunikasi dengan orang lain. Kedua, aku baru tahu bahwa ternyata berdiskusi itu tidak harus menghasilkan kesepakatan setuju atau tidak. Artinya, kita boleh berbeda pendapat dan saling menghargai, dan di situlah aku mendapat makna baru soal penerimaan rumah.


Adakah di antara Ignite People yang juga mengikuti acara yang kumaksud?


Aku merasa sangat menikmati momen sharing pengalamanku tanpa khawatir bahwa akan dijadikan bahan gosip. Aku merasa diterima sebagai makhluk sosial, dan aku bebas menjadi diriku sendiri tanpa harus lelah menggunakan topeng di depan orang lain. Padahal sebelumnya, aku merasa tidak percaya diri dan berpikir harus menjadi seperti orang lain. Bahkan aku mencoba menyenangkan orang lain dengan melakukan segala hal, terus berpura-pura, dan terlalu memaksakan diri (misalnya harus menjadi si A dengan menyambut orang lain dengan ramah dan menerima mereka). Namun apa yang aku dapatkan? Hanya rasa lelah dan tidak ada satupun yang menghasilkan buah yang baik untukku. Sebaliknya, aku malah semakin terpuruk dan merasa tidak berharga, bahkan berpikir tidak ada tempat yang aman untuk bercerita, semua harus dipendam sendiri.


Melalui camp itu, aku mengalami perjumpaan dengan Tuhan yang menyapaku dengan sederhana melalui penerimaan dari teman-teman di sana. Bersama mereka, aku merasa sedang berada di rumah, sebuah tempat yang membuatku merasa aman, dan bebas menjadi diri sendiri tanpa beban maupun kuatir jika akan dihakimi. Benarlah jika rumah bukan hanya berupa bangunan fisik, tetapi kehidupan di dalamnya. Itulah rumah yang selalu kurindukan.



Photo by Duy Pham on Unsplash


Temukanlah rumah yang akan selalu kamu rindukan itu, di mana kita bisa menjadi pribadi yang otentik, meletakkan semua topeng, dan tidak lagi bersandar pada hal yang bersifat  "not to be yourself'" hanya untuk menyenangkan hati orang lain.

 

Dengan demikian, kelak kita akan diasah oleh Sang Khalik untuk bertumbuh dalam "rumah" yang penuh dengan penerimaan bersama para sahabat, orang-orang terkasih yang telah diutus-Nya. Kiranya kita melangkah ke "rumah" bukan karena sedang berlindung dari masalah, tetapi untuk bertumbuh, berjalan, dan berproses menjadi diri sendiri seutuhnya sesuai dengan yang Tuhan inginkan untuk kita hidupi.

LATEST POST

 

Bila hati terasa berat Tak seorang pun mengerti bebanku Kutanya Yesus Apa yang harus kuperbuat  ...
by Yessica Anggi | 22 Mar 2024

Entah mengapa, tapi ego itu begitu menggoda diri manusia. Ego untuk menguasai, untuk menja...
by Markus Perdata Sembiring | 19 Mar 2024

Keraguan adalah salah satu hal yang sering terjadi di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Keraguan...
by Immanuel Elson | 14 Mar 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER