Kasih Tuhan di dalam "Padang Gurun" Kita

Going Deeper, God's Words, 17 December 2022
"Kyrie Eleison, Kyrie Eleison, Cristhe Eleison Cristhe Eleison." (Ampunilah kami, ya, Bapa atas segala dosa kami dan keegoisan kami sebagai manusia yang sering kali tidak mempercayai Engkau)

Artikel ini mengacu pada Keluaran 15:22-27

Perjanjian Lama (PL) sering kali dipandang oleh umat Kristen awam sebagai kitab yang mengisahkan Allah yang menerapkan peraturan hukum Taurat dengan cara yang begitu kejam, seakan-akan Allah dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang berbeda secara drastis dengan sikap Allah yang ketika Yesus Kristus hadir di dunia (di dalam Perjanjian Baru (PB)). Mungkin Ignite People pernah mendengar, "Allah di PL itu kejam, tapi Allah di PB itu penuh kasih," tetapi apakah benar demikian? Apakah ada perbedaan antara Allah yang dikisahkan di PL dan PB, atau sebenarnya sama? Mari kita merenungkan pertanyaan ini melalui kisah bangsa Israel di Mara (Keluaran 15:22-27).


Photo by Eddie & Carolina Stigson on Unsplash
Kisah di Mara dan Elim adalah kisah yang terjadi setelah bangsa Israel dibebaskan Allah dari perbudakan Mesir. Melalui Musa, Allah menuntun mereka keluar dari Mesir. Mereka baru saja menyeberangi laut Teberau yang terbelah dua dengan berjalan di tempat kering dari tengah-tengah laut, sedangkan air di kiri dan kanan mereka menjadi semacam tembok, bahkan orang Israel melihat orang Mesir mati terhantar di pantai laut. Ketika dilihat oleh orang Israel, betapa besarnya perbuatan yang dilakukan TUHAN terhadap orang Mesir! Tidak heran jika setelahnya mereka memuji Allah (Keluaran 15:1-21).

Setelah peristiwa heroik itu, bangsa Israel tiba di padang gurun Syur. Tiga hari lamanya mereka di padang gurun itu. Mereka lelah, lapar, dan haus, sementara mereka masih harus berjalan jauh di padang gurun yang diselimuti debu dan pasir, plus cuaca yang begitu panas. Ketika sampai di Mara, bangsa Israel tidak bisa meminum airnya karena pahit. Mereka kemudian mulai bersungut-sungut kepada Musa, kemudian dia berseru kepada Tuhan, dan Tuhan membuat air pahit tersebut menjadi manis melalui kayu yang dilemparkan Musa ke dalam air.

Dalam beberapa pasal berikutnya, kita membaca bahwa Tuhan memberikan hukum Taurat pada bangsa Israel (Keluaran 20:1-17). Kalimat pembukanya memiliki makna yang sangat dalam:

 Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.—Keluaran 20:1

Jika dikontekstualisasikan dalam setting cinta antara laki-laki dan perempuan (bayangkan saja perspektif kitab Hosea yang mengangkat kasih tanpa syarat Allah kepada umat pilihan-Nya yang "berzinah" dengan ilah-ilah lain), "Akulah TUHAN" dapat dimaknai sebagai “Aku yang mencintai kamu apa adanya, Aku yang memilih kamu pada saat kamu terjatuh. Ketika kamu terus-menerus berselingkuh dari-Ku, Aku tetap mencintaimu. Namun, mengapa kamu tetap berpaling dari-Ku, hai kekasih jiwa-Ku?”

Pertanyaan yang sama sedang Allah tanyakan kepada kita, orang-orang yang (mengaku) percaya kepada-Nya. Mungkin kita pernah mengalami pengalaman penuh mujizat (meskipun tidak berarti harus bersifat supranatural) atau menerima jawaban doa dari Allah yang sesuai (bahkan melebihi) ekspektasi kita. Namun, tidak jarang pula kita menghadapi kepahitan hidup, dan ada kalanya kita—dengan cepatmelupakan pemeliharaan Allah.

Tengoklah pada bangsa Israel! Bukankah Allah yang membebaskan mereka dari perbudakan Mesir melalui keajaiban laut yang terbelah, jugalah Allah yang tidak mungkin membiarkan mereka mati kehausan? Bukannya menjadi peristiwa penyeberangan di Laut Teberau itu sebagai momen penuh anugerah, bangsa Israel tidak mampu melihat hal tersebut. Ketika ada kesulitan di depan mata, mereka langsung menggerutu dan mengeluh, seolah-olah Allah membiarkan mereka menderita dan mati kehausan. Bahkan kalau kita baca lebih lanjut, berkali-kali pula mereka ingin kembali ke Mesir daripada berkelana di padang gurun.


Photo by Juli Kosolapova on Unsplash
 

Oke, mungkin kalau kita ada di posisi bangsa Israel itu, kita bisa merespons dengan cara serupa, atau malah bisa lebih desperate. Lalu, bagi kita yang sedang hidup di dalam "padang gurun masa kini", apa yang perlu kita renungkan?

firman-Nya: "Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan apa yang benar di mata-Nya, dan memasang telingamu kepada perintah-perintah-Nya dan tetap mengikuti segala ketetapan-Nya, maka Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit mana pun, yang telah Kutimpakan kepada orang Mesir; sebab Aku TUHANlah yang menyembuhkan engkau." —Kejadian 15:26

Di dalam kepahitan dan kesunyian hidup, ketika anggapan Allah hanya sedang diam, mungkin kitalah yang tidak ingin membiarkan Allah menyingkapkan diri-Nya dengan cara yang kita benci. Padahal siapa kita, sehingga merasa berhak membatasi cara kerja Tuhan—yang sering kali melampaui akal pikiran manusia? Justru dalam kepahitan dan kesunyian itulah Allah hadir dan merindukan kita membuka diri pada penyingkapan-Nya. Kembali ke Mara, di sana, Allah menghadirkan diri-Nya sebagai Allah Penyembuh: Jehovah Rapha. Namun, bangsa Israel tidak menikmati Allah sepenuhnya, melainkan hanya menikmati berkat Allahapa yang ada di tangan-Nya. Tidak heran ketika mereka mendapat kesulitan yang berikutnya, merekapun mulai menggerutu kembali (Keluaran 17:1-7).

Bukankah kita sering menjadi seperti orang Israel itu? Namun, syukur kepada Allah yang penuh belas kasihan kepada kita! Dia tetap setia dan mau terus berjalan bersama kita di dalam "padang gurun" kehidupan ini.

Mari kita belajar untuk tidak menyia-nyiakan kehadiran dan pemeliharaan Allah. Walaupun tidak muda, mari kita belajar menyikapi setiap kejadian dalam hidup ini dengan kacamata yang benarbukan dengan kacamata keegoisan manusia yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa berpikir dewasa di dalam iman yang benar. Allah yang sudah mengirimkan Anak-Nya yang Tunggal mati di atas kayu salib untuk menyelamatkan kita manusia berdosa dan bangkit, sehingga kita dimampukan-Nya mengatasi segala masalah dengan hikmat-Nya. Demikian besat kasih Allah yang—di dalam kedaulatan-Nya—tidak membiarkan umat pilihan-Nya dalam kebinasaan yang sia-sia. Kiranya kita senantiasa dimampukan untuk menikmati kasih Allah yang hadir dalam "padang gurun" kita, dan menjadi cara-Nya menjangkau orang-orang yang berseru kepada-Nya. Soli Deo Gloria.

LATEST POST

 

Bila hati terasa berat Tak seorang pun mengerti bebanku Kutanya Yesus Apa yang harus kuperbuat  ...
by Yessica Anggi | 22 Mar 2024

Entah mengapa, tapi ego itu begitu menggoda diri manusia. Ego untuk menguasai, untuk menja...
by Markus Perdata Sembiring | 19 Mar 2024

Keraguan adalah salah satu hal yang sering terjadi di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Keraguan...
by Immanuel Elson | 14 Mar 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER