Covid-19 telah menguncang dunia dan bahkan mencabik-cabik hati banyak orang saat ini. Bagaimana dengan alam atau lingkungan kita? Apakah mereka sedang merintih kesakitan juga atau bernafas lega akibat pandemi yang sedang terjadi saat ini?
Covid-19 telah mengguncang hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia, virus ini pertama kali terdeteksi pada 31 Desember 2019 di Wuhan, Cina.[1]
Pada 2 Maret 2020, pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan dua warganya yang terpapar virus ini.[2] Kemudian, Presiden Joko Widodo menyampaikan kebijakan, agar semua warga Indonesia bekerja, belajar, dan berdoa di rumah masing-masing, sebagai salah satu cara untuk menekan penyebaran Covid-19 di Indonesia.[3] Dari peristiwa tersebut, saya memikirkan satu pertanyaan, yaitu: keterkaitan antara Covid-19, ekosistem, dan Sabat?
Saya mencoba menjawab pertanyaan ini lewat perenungan teologis yang didasarkan pada kisah air bah di zaman Nuh. Saya akan menunjukkan bahwa adanya pemulihan lingkungan yang terjadi selama peristiwa tersebut terjadi (atau telah terjadi) dan selama pandemi Covid-19 (yang sedang) melanda dunia saat ini. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan ini, penulis akan pertama-tama menjelaskan dampak Covid-19 terhadap ekosistem. Kemudian, tulisan ini akan membandingkan dampak pandemi Covid-19 dengan peristiwa air bah di zaman Nuh. Terakhir tulisan ini akan menyampaikan kesimpulan.
Ketidakpastian Asal-usul Covid-19
Menurut Charles Beraf, ketika manusia merusak alam, manusia juga yang akan menerima akibat dari perbuatan mereka tersebut.[4] Dengan demikian, Covid-19 termasuk dampak buruk dari perbuatan manusia itu sendiri. Dalam hal ini, manusia sendiri yang berburu dan menyantap (daging) kelelawar yang telah menjadi inang virus ini (Covid-19).[5] Namun, hal tersebut merupakan teori konspirasi belaka. Sebab, sampai sekarang belum ada kejelasan dari mana asal muasal Covid-19.[6] Menurut saya, pandemi ini telah mengubah banyak hal yang bersifat buruk (terganggunya sistem pembelajaran, ekonomi, sosial, dan kesehatan) maupun bersifat menguntungkan (terbukanya ladang pekerjaan yang baru, yaitu pembuat masker kain dan pemulihan lingkungan).
Pertama dampak Covid-19 terhadap ekosistem, tentunya Covid-19 membuat banyak orang meninggal dunia dan ekonomi yang menjadi tidak baik atau memburuk, ujaran Tyas.[7] Namun ada juga dampak baik dari pada pandemi ini, yaitu: penurunan emisi nitrogen dioksida di beberapa daerah berkaitan dengan kebijakan pemerintah (Cina dan Italia) yang melakukan penerapan lockdown di negaranya masing-masing.[8] Hal ini membuat penurunan angka kematian akibat dari polusi udara ini, sekitar empat ribu jiwa anak di bawah umur 5 tahun dan tujuh puluh tiga ribu jiwa di atas usia 70 tahun di Cina diselamatkan dari pengurangan polusi ini.[9] Glen Peters telah mencatat bahwa secara keseluruhan tahun 2020 mungkin masih terlihat penurunan emisi global sebesar 0.3%.[10]
Pandemik Menurut Catherine Keller
Menurut Catherine Keller, dengan adanya Covid-19 bukan berarti Tuhan sedang menghukum manusia.[11] Ia juga menekankan bahwa Tuhan tidak menguji iman manusia (walaupun manusia mudah untuk diuji) dengan Covid-19.[12] Serta, ia juga berpendapat bahwa, Tuhan tidak menggunakan Covid-19 untuk mengajarkan sesuatu kepada ciptaan-Nya.[13] Selain itu, ia juga berpendapat bahwa Tuhan selalu memperbaiki atau memulihkan dunia, namun tidak dengan menciptakan dan atau menggunakan Covid-19.[14]
Kedua perbandingan antara pandemi Covid-19 dengan peristiwa air bah di zaman Nuh, jelas bahwa kejadian air bah adalah rencana Allah (melalui penghukuman) untuk mengurangi kejahatan manusia (Kej. 6:13). Selain itu juga, Tuhan ingin menjaga serta memelihara sesuatu yang baik, yaitu Nuh bersama keluarganya serta makhluk hidup yang lainnya (Kej. 6:18-21). Sedangkan pandemi Covid-19 bukanlah penghukuman Allah terhadap manusia, seperti yang sudah sempat dibahas sebelumnya. Namun, ada kesamaan antara pandemi Covid-19 dengan peristiwa air bah di zaman Nuh, yaitu terdapat banyak korban jiwa akibat dari kedua peristiwa tersebut.
Selain itu, adanya pemulihan atau restorasi lingkungan yang terjadi selama peristiwa tersebut (atau telah) berlangsung. Hal itu menjadi 'Sabat' bagi manusia maupun terhadap lingkungan. Sabat adalah waktu dimana orang (atau Allah) beristirahat atau berhenti dari pekerjaannya.[15] Namun di satu sisi, Sabat adalah waktu pemulihan bagi ciptaan lain selain manusia (hewan, tumbuhan, bahkan alam).[16]
Sebelum pandemi ini berlangsung, manusia yang biasanya sibuk berpindah tempat, dari satu tempat ke tempat yang lain (untuk menempuh pendidikan, bekerja, berlibur, dsb.), dengan menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, dan bahkan pesawat terbang. Kini, mereka harus mengurangi dan bahkan tidak lagi melakukannya atau menggunakan kendaraan tersebut, sebagai salah satu cara mengurangi penyebaran Covid-19. Saat ini, alam pun boleh “bernafas lega” (menikmati Sabat), tidak lagi atau berkurang terpapar polusi (nitrogen dioksida) yang sebelumnya selalu terpapar oleh polusi tersebut akibat dari hasil pembakaran kendaraan maupun pabrik. Hal yang sama bahwa, alam pun menikmati Sabat dan restorasinya selama air bah menutupi bumi di zaman Nuh.
Kesimpulannya, Tuhan berdaulat dan memegang kendali atas ciptaan-Nya dan selalu melakukan kebaikan, dalam hal ini memulihkan atau merestorasi ciptaan-Nya. Selain itu, Tuhan atas hari Sabat dan yang memprakarsai Sabat, ingin juga agar ciptaan-Nya menguduskan dan menikmatinya. Ada hal yang baik yang Tuhan siapkan bagi ciptaan-Nya di dalam penderitaan dan kekacauan yang sedang terjadi.
[1] Kompas Cyber Media, “Timeline Wabah Virus Corona, Terdeteksi pada Desember 2019 hingga Jadi Pandemi Global Halaman all,” KOMPAS.com, diakses Maret 17, 2020, https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/12/113008565/timeline-wabah-virus-corona-terdeteksi-pada-desember-2019-hingga-jadi.
[2] Ibid.
[3] Kompas Cyber Media, “Jokowi: Kerja dari Rumah, Belajar dari Rumah, Ibadah di Rumah Perlu Digencarkan,” KOMPAS.com, diakses April 15, 2020, https://nasional.kompas.com/read/2020/03/16/15454571/jokowi-kerja-dari-rumah-belajar-dari-rumah-ibadah-di-rumah-perlu-digencarkan.
[4] The Jakarta Post, “COVID-19 Is Another Proof of Ecological Devastation,” The Jakarta Post, diakses April 16, 2020, https://www.thejakartapost.com/academia/2020/03/31/covid-19-is-another-proof-of-ecological-devastation.html.
[5] “Kelelawar Inang Virus SARS, Hendra hingga Covid-19, Ahli Peringatkan Halaman all - Kompas.com,” diakses April 24, 2020, https://sains.kompas.com/read/2020/02/14/204600323/kelelawar-inang-virus-sars-hendra-hingga-covid-19-ahli-peringatkan?page=all.
[6] Kompas Cyber Media, “Asal Mula Virus Corona Jadi Pertanyaan, China Perketat Publikasi Penelitian Halaman all,” KOMPAS.com, diakses April 16, 2020, https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/14/080300765/asal-mula-virus-corona-jadi-pertanyaan-china-perketat-publikasi-penelitian-.
[7] “Kondisi Bumi Membaik Selama Pandemi COVID-19, Bolehkah Kita Tenang? - National Geographic,” diakses April 17, 2020, https://nationalgeographic.grid.id/read/132095952/kondisi-bumi-membaik-selama-pandemi-covid-19-bolehkah-kita-tenang.
[8] Kompas Cyber Media, “Dampak Pandemi Virus Corona pada Lingkungan, Polusi Udara Global Turun,” KOMPAS.com, diakses April 16, 2020, https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/17/190300123/dampak-pandemi-virus-corona-pada-lingkungan-polusi-udara-global-turun.
[9] Ibid.
[10] Martha Henriques, “Will Covid-19 Have a Lasting Impact on the Environment?,” diakses April 17, 2020, https://www.bbc.com/future/article/20200326-covid-19-the-impact-of-coronavirus-on-the-environment.
[11] Drew Theological School, “A Letter from Catherine Keller,” Medium, last modified April 3, 2020, diakses April 16, 2020, https://medium.com/@dostlund_42808/a-letter-from-catherine-keller-1930029c4914.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Andrew E. Hill dan John H. Walton, A survey of the Old Testament, 3rd ed. (Grand Rapids, Mich: Zondervan Publishing House, 2009), 112.
[16] Ibid.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: