Ruang Sendiri untuk Menghargai Rasa Sepi

Best Regards, Live Through This, 07 May 2019
Melalui sepi, kita akan belajar untuk menghargai sepi di dalam Tuhan—menghayati kehadiran-Nya, termasuk saat kita merasa tidak ada seorang pun yang peduli.

Bukan, ini bukan artikel untuk menelaah lagunya Tulus. Tapi ulasan berikut mungkin akan membuat kita berefleksi tentang makna sepi dalam kesendirian.


https://twitter.com/kumparan/status/1068404657284767744 


Aku yakin teman-teman tidak asing dengan gambar di atas. Beberapa waktu lalu, Kumparan memberitakan mengenai Presiden Joko Widodo yang kadang-kadang merasa bekerja sendirian—padahal kinerja pemerintah saat itu telah menguasai 100% saham Blok Rokan dan Blok Mahakam (klik di sini untuk berita lengkapnya)—dan beliau heran kenapa tidak ada demo yang mendukung hal tersebut, padahal sudah seharusnya Blok Rokan dan Blok Mahakam dikuasai 100% oleh Indonesia, bukan negara lain. Oke, ini bukan kampanye, kok. Jadi kita lanjutkan saja, ya.

Bicara soal sepi dan “sendirian”, siapa sih, yang tidak pernah mengalaminya? Tidak ada. Bukan hanya Pak Jokowi, Tuhan Yesus lebih-lebih merasakannya saat menghadapi detik-detik penangkapan-Nya. Para murid-Nya kabur meninggalkan-Nya, ditambah pengkhianatan seorang murid yang dipercayai-Nya. Sebuah kompilasi yang sempurna untuk penggambaran rasa sepi, bukan?


Aku tidak tahu dengan anggapan teman-teman mengenai rasa sepi dan kesendirian. Tapi buatku, menyendiri adalah salah satu cara untuk menghayati kehadiran Tuhan dengan lebih intim lagi. Benar, aku juga dapat merasakan kehadiran-Nya lewat tawa dan canda dari keluarga dan teman-teman di sekitarku. Namun untuk berdoa dan meminta bimbingan-Nya, aku rasa perlu ada ruang untuk menyendiri dan memahami kehendak-Nya—walaupun itu bukan dalam waktu satu atau dua detik.


Photo by Aaina Sharma on Unsplash


Erik Erikson (dalam Santrock, 2014), salah satu ahli psikologi perkembangan, menyatakan bahwa masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Kalau mereka berhasil survive, mereka akan menemukan jati diri yang dicari. Namun bila sebaliknya, mereka akan mengalami masa kebingungan (wahai para kaum muda, mungkin ini yang menjadi alasan kebingunganmu dalam mencari jawaban “Siapakah aku?”). Aku pun mengakui pernah mengalami krisis identitas—terlebih setelah aku merasa tersingkir dan sendirian di antara keramaian teman-teman seusiaku waktu itu. 

Bayangkanlah dirimu berada di sebuah kelas yang ramai, tapi kamu tidak terlibat di dalamnya. Bukan karena tidak ingin bergabung, tapi karena tidak ada yang mengajakmu. Itulah yang kurasakan saat berada di bangku SMP. Hanya ada 4-5 orang yang tidak menatapku dengan sinis saat aku mengobrol dengan mereka; padahal sebelumnya aku bergaul dengan banyak orang, dan tidak segan menawarkan diri untuk bergabung dalam kelompok kerja mereka. Kalian boleh bilang aku hiperbolis, tapi di kala itu aku merasa jadi orang paling terasing sedunia. Syukur kepada Tuhan, kini aku bisa berdamai dengan keadaan tersebut.


Photo by Alejandro Alvarez on Unsplash 


Beberapa tahun kemudian, aku kembali merasa sendirian saat menjadi mahasiswa baru. Walau telah bergabung menjadi pengurus sebuah organisasi kemahasiswaan, kadang-kadang aku merasa tidak memiliki teman di dalamnya. Tanpa aku sadari, rasa sendirian itu berkembang menjadi penarikan diri. Bila sudah begitu, biasanya aku akan memilih keluar dari tempat mereka mengobrol, atau tetap di situ sambil asyik memainkan gawaiku. Untuk apa berinteraksi dengan orang yang bahkan tidak mau mendengarkanku sepenuhnya? Percuma mencoba memercayai mereka kalau aku tidak mengenal mereka, bukan?

Melihatku yang demikian, ada beberapa orang yang menegurku untuk lebih membuka diri. Bahkan ada yang tidak segan berkata, “Jangan dikit-dikit pegang gadget, dong.” Butuh waktu kurang lebih satu tahun untuk bisa terbuka pada mereka, dan akhirnya aku bisa meletakkan gawaiku ketika sedang mengobrol—kecuali kalau ada hal-hal darurat (dengan pertolongan Tuhan, tentunya). Sekarang, aku menyadari bahwa kesepian yang sama juga bisa timbul karena orang-orang lebih memerhatikan gawai masing-masing daripada orang yang ada di dekatnya. Tidaklah heran kalau penulis Amsal menyatakan,

Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi.

—Amsal 27:5 TB


Sebagai mahasiswi tingkat akhir di jurusan psikologi, teguran dari teman-temanku waktu itu menyadarkanku bahwa aku perlu mengasah kepekaan dan kepedulian sebagai calon konselor. Aku belajar bahwa sejatinya mereka mempedulikanku, tanpa perlu menyalahkan diriku sendiri. Bagaimana aku berani berkata pada seseorang, “Oh, aku peka kok! Sini, sini. Ada masalah apa?” tapi sepanjang proses curhat, aku justru scrolling linimasa karena merasa curhatan orang tersebut sangat membosankan? Coba bayangkan Tuhan yang tidak memerhatikan keluhan kita yang itu-itu melulu, malahan Dia hanya bertopang dagu dan berkata dengan nada malas, “Duh, itu lagi, itu lagi. Lemah amat, sih, jadi orang.


Photo by Ben White on Unsplash


Tapi Alkitab berkata sebaliknya,

Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.

—Roma 8:26 TB


Bukan hanya memberi diri untuk menguatkan kita, Kristus juga mengaruniakan Roh Kudus yang menolong kita dalam berdoa. Kristus tahu arti dari setiap helaan napas dan air mata yang tidak terucap, dan Dia pun pernah merasa kesepian. Ingatkah teman-teman dengan peristiwa penyaliban-Nya, di mana Dia bertanya pada Bapa,

Eloi, Eloi, lama sabakhtani?

(Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?)

—Markus 15:34 TB


Kalimat di atas bisa dikatakan sebagai bentuk akumulasi kesepian Kristus; dari sejak malam penangkapan, diadili, disiksa, hingga disalibkan. Tidak ada seorang pun yang berada di dekat-Nya untuk menguatkan-Nya; kalaupun ada, mereka tidak sanggup membebaskan-Nya. Kelak, setelah kebangkitan-Nya, Kristus hadir dalam hidup kita dan senantiasa menguatkan kita. Bahkan dalam kesendirian kita, sesungguhnya Dia ada… for He is Emmanuel.


Photo by Ricky Turner on Unsplash


Rasa sepi yang kita alami bukanlah akhir dari segalanya—teman-teman bisa memercayainya atau tidak. Tapi melalui sepi, kita akan belajar untuk menghargai sepi di dalam Tuhan—menghayati kehadiran-Nya, termasuk saat kita merasa tidak ada seorang pun yang peduli.

Melalui sepi, kita dimampukan untuk merasakan apa yang dirasakan orang-orang yang bergumul dalam kesendiriannya di antara keramaian. Siapa tahu, ada yang sedang menghadapi pergumulan berat dan dia tidak tahu ke mana dia dapat berbagi kisah, karena mereka terjebak dalam kesepian? Siapa lagi yang akan membawa terang-Nya untuk menguatkan mereka?



Bacaan lebih lanjut:

Santrock, J. W. (2014). A Topical Approach to Life-Span Development. New York: McGraw-Hill Education



LATEST POST

 

Film siksa kubur resmi tayang pada 11 April 2024, dan sebagai penikmat karya Joko Anwar, kami langsu...
by Ari Setiawan | 16 Apr 2024

Takut tambah dewasaTakut aku kecewaTakut tak seindah yang kukiraIgnite People, penggalan lirik lagu...
by Emmanuela Angela | 10 Apr 2024

GetsemaniDomba putih di penghabisan jagal Merah kirmizi di kandungan sengsara atas cawan yang kesumb...
by David Ryantama Sitorus | 10 Apr 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER