Tinggal bersama mertua memang membuat kita sangat terbantu, namun tetaplah menjadi pribadi yang independen (mandiri = tidak bergantung).
Sejujurnya, aku merasa beruntung karena memiliki suami dan mertua yang baik, betul-betul baik, baik sebelum ataupun setelah menikah.
Aku sering mendengar kasus teman-temanku yang setelah menikah, tidak jarang mengeluhkan bahwa pasangannya adalah orang yang berbeda dari saat berpacaran. Pun dengan calon mertua yang tadinya terlihat baik dan mengasihi, ternyata setelah menikah, seolah-olah menjadi rival. Seperti membeli kucing dalam karung, ternyata kucing itu adalah sekelompok macan. Bahkan sampai detik ini, ada temanku yang masih tidak dianggap oleh mertuanya, padahal sudah melahirkan 3 cucu bagi mertuanya. Sungguh ironis dan menjadi misteri.
Maafkan aku, jika mungkin aku akan membuat netizen iri padaku. Namun, semoga ceritaku tetap bisa menginspirasi kita semua.
***
Sejak menikah, aku dan suami tinggal berdua di sebuah apartemen 2 BR, dengan biaya sewa 20 juta rupiah per tahun, yang kami dapat dari angpao nikah kami. Betul-betul jumlahnya pas untuk membayar biaya sewa apartemen – yang kami imani bahwa Tuhan pasti menyediakan kebutuhan kami. Kami cukup bahagia bisa mengumpulkan berbagai memori berdua selama kurang lebih setahun, sebelum akhirnya kami dikaruniai anak dan memulai perjalanan tinggal bersama mertua (orang tua kandung suamiku).
Dalam budaya Chinese, ada istilah “conyet” alias karantina 30-40 hari selama masa nifas pasca-kelahiran. Artinya tidak boleh keluar rumah dan tidak boleh melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sekalipun, yang kalau dipandang dari sisi medis ditujukan untuk pemulihan. Oleh karena itu, biasanya selama conyet, akan ada yang membantu melakukan pekerjaan rumah tangga, termasuk memasak untuk ibu yang baru melahirkan. Dalam hal ini, aku memilih tinggal di rumah mertua, karena selain rumah yang memadai (luas), karakter atau relasi dengan orang tua pun mempengaruhi keputusanku. Saat itu aku merasa masih dalam proses pengampunan, karena sering kali aku merasa tertekan dengan kata-kata “harus” yang sering keluar dari mulut mamaku. Meskipun aku sadar apa yang disarankan adalah hal-hal baik, aku lebih suka memilih privasi yang ditawarkan dalam rumah suamiku. Jadi, ibarat pepatah mengatakan “jauh wangi, dekat bau” yang menggambarkan relasiku dengan mama saat itu.
Setelah 30 hari berlalu, akhirnya kami diperhadapkan dengan keputusan akan melanjutkan sewa apartemen atau tetap tinggal, karena kami juga dibujuk untuk tinggal. Pertimbanganku saat itu adalah bisa saving money, sedangkan pertimbangan suamiku supaya ada yang menemaniku saat dia pergi, apalagi dulu ia sering keluar kota. Akhirnya dengan kondisi seperti itu, kami menurunkan idealisme kami untuk keluar.
Kekhawatiranku muncul justru karena terlalu nyaman, yang aku pahami bahwa peranku jadi tidak optimal di rumah itu. Sebagai contoh, peran memasak. Sekalipun mertua sangat memberi kebebasan untuk kami, sebagai ibu yang baru memulai rumah tangga, pengalaman memasak belum banyak, rasa pun masih seadanya, aku jadi merasa tidak nyaman dan tidak ingin memasak, karena mami/papi mertua juga sudah terbiasa (dan hobby) memasak. Sebab yang namanya masuk ke rumah mertua, tentu yang berlaku adalah sistem lama yang sudah berjalan, termasuk peran-peran mertua. Apalagi, sebagian besar waktuku habis untuk mengurus bayi dan diriku. Pernah aku merasa useless karena aku terkesan jadi tidak (berdaya) melakukan apa-apa, meskipun di lain sisi, aku jadi masuk ke dalam zona nyaman, terlalu nyaman. Kalau di dunia Psikologi dikenal juga istilah self/social-loafing (pemalasan diri/sosial) karena sudah ada orang lain yang mengerjakan. Dalam hal ini, suamiku juga tidak menuntut. Jadi, aku melakukan yang paling bisa kukerjakan, yaitu beres-beres membersihkan rumah, termasuk urusan mencuci, menjemur, dan melipat pakaian. Jujur, aku pun lebih hobby melakukan bersih-bersih dibanding memasak.
Hingga suatu ketika, mertuaku yang laki-laki berpulang ke rumah Bapa secara mendadak. Di situlah aku merasa Tuhan memperlihatkan cara pandang yang berbeda mengenai tinggal satu rumah bersama mertua.
Tinggal bersama mertua memang membuat kita sangat terbantu, namun tetaplah menjadi pribadi yang independen (mandiri = tidak bergantung).
“Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” – Kej. 2:24
Tentu maksud ‘meninggalkan’ ada baiknya betul-betul secara harafiah keluar dari rumah, namun hal pertama yang perlu di-highlight adalah kemandirian dan kedewasaan. Menikah artinya sudah bisa melakukan dan memutuskan segala hal tanpa perlu bergantung terhadap ayah dan ibu. Bukan artinya mengabaikan orang tua, bukan artinya tidak bisa menanyakan pendapat orang tua, melainkan bisa bertanggung jawab terhadap keputusan dan perilaku sendiri.
Ya, ibarat sebuah logam yang memiliki dua keping sisi, segala kejadian dan segala keputusan selalu memiliki dua keping sisi.
Sisi positif-negatif jika tinggal bersama mertua…
Maka, ini tips dariku jika ingin tinggal bersama mertua…
PS. Tulisan ini menjadi salah satu dedikasi untuk mendiang papi mertuaku yang sudah amat begitu baik dan menjadi teladan kasih bagi kami semua. Juga kudedikasikan untuk semua pasangan muda yang mempertimbangkan untuk tinggal bersama mertua.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: