Basi Eps. 3: Salam Damai

Best Regards, Live Through This, 14 March 2020
Salam damai itu bukan "caranya", tetapi "esensinya"

          

Tulisan ini merupakan tulisan ringan yang membantu teman-teman semua dalam merancang sebuah ibadah remaja/pemuda yang mengasikkan dan juga tetap GKI. Tentu, aku buat dalam sudut pandang liturgi GKI dan Teologi Liturgi. Sebelumnya, mari kita buat pengertian bersama, bahwa liturgi tidak serta-merta mengenai susunan ibadah saja, melainkan liturgi adalah ibadah itu sendiri. Liturgi merupakan sebuah perayaan ibadah, yaitu sebuah perayaan kasih setia Tuhan bersama dengan sesama. Merancang liturgi berarti kita merancang seluruh unsur peribadahan, dimulai dari teks tata ibadah, musik, dekorasi, dan lain sebagainya.

 Pada tulisan ini, aku mau bahas mengenai SALAM DAMAI.


IGNITE GKI cukup hangat ketika ada dua insan saling berbalasan mengenai pendapat mereka tentang ‘salam damai’. Diskusi tersebut memang menjadi sebuah hal yang sedang menjadi pro-kontra bagi sebagian GKI di Indonesia. Maka dari itu, aku ingin memberikan sebuah insight baru secara singkat mengenai salam damai dalam sudut pandang liturgi. Aku akan bahas mengenai sejarah dan opini mengenai tradisi salam damai di GKI dalam sudut pandang sejarah liturgi dan tradisi gerejawi.


Salam Damai pada Tradisi Gereja Mula-mula dan Abad Selanjutnya

            Tidak mungkin kita temukan ritus salam damai di dalam Alkitab. Namun, ke-tidak-ada-an salam damai bukan berarti tidak ada ritus rekonsiliasi di dalam gereja perdana. Beberapa surat Paulus memuat sebuah ritus rekonsiliasi yang biasa dilakukan oleh jemaat pada saat itu. Ritus tersebut adalah ritus “cium kudus” atau “kiss of peace” (bdk. Roma 16:16; 1Kor 16:20; 2Kor 13:12; 1Tes 5:26). Jemaat mula-mula biasanya melakukan ini sebelum ekaristi/ pemecahan roti.

            Tradisi ini tetap bertahan terus hingga abad-abad selanjutnya. Pada abad IV, Agustinus, seorang bapa gereja, berkhotbah tentang hal ini dengan mengatakan: “Ketika konsekrasi telah selesai, kita mengucap doa sesuai Doa Bapa Kami, seperti yang telah kamu terima dan sering kamu ucapkan. Setelah itu, ucapkanlah 'Damai (Tuhan) bersamamu', dan (kita) para orang Kristen saling merangkul dan menerima satu dengan yang lain dengan cium kudus. (Ciuman) ini adalah tanda perdamaian” (Sermon 227 Agustinus, terjemahan bebas oleh Natanael Elia).

            Ritus ini mengalami perjalanan yang cukup panjang, menempuh abad demi abad dan terjadi berbagai kontekstualisasi dan penyesuaian di tiap zamannya. Hingga pada akhirnya, ritus ini tetap bertahan dan dikenal sebagai ritus ‘passing of the peace’. Ritus ini biasa dilakukan di dalam rangkaian ekaristi/perjamuan kudus, yaitu setelah Doa Bapa Kami dan sebelum ordinarium ‘Anak Domba Allah’ pada fractio atau pemecahan roti.



Ritus Rekonsiliasi dan Logika Liturgi

            Jika kita lihat, pada sejarah dan tradisi, kita tahu bahwa ritus ini dilakukan setelah Doa Bapa Kami di dalam rangkaian liturgi perjamuan kudus. Hal ini menjadi masuk akal jika kita melihat dalam sudut pandang logika liturgi. Doa Bapa Kami memiliki kalimat “Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni orang yang bersalah pada kami”. Ritus rekonsiliasi merupakan sebuah perwujudan dari kalimat ini, yaitu jemaat yang dituntut untuk tidak hanya mengampuni melalui kata-kata, tetapi juga melalui tindakan. Selain itu, perjamuan kudus merupakan peristiwa makan bersama sambil mengingat kematian dan kebangkitan Kristus. Tidak mungkin bagi kita untuk duduk dan makan bersama dengan sahabat maupun saudara kita, ketika kita masih bermusuhan dengan mereka (kecuali kita berdamai dengan kepura-puraan).


Logika Liturgi Ritus Rekonsiliasi setelah Berita Anugerah?

            Perihal salam damai setelah pengakuan dosa dan berita anugerah, hal ini tidak salah dilakukan. Logikanya adalah setelah mengakui dosa dan kita telah berdamai dengan Tuhan melalui pengorbanan Kristus, maka kita dituntut juga untuk berdamai dengan sesama. Tidak salah memang, tetapi ketika aku menggunakan sudut pandang tradisi, maka hal ini kurang tepat. Selain sedikit sumber yang mengataka bahwa tradisi rekonsiliasi ini dilakukan setelah pengakuan dosa, aku juga melihat bahwa terjadi ketidak-konsisten-an dalam liturgi. Ketidak-konsisten-an yang muncul adalah ketika tidak ada perjamuan kudus meletakkan salam damai setelah berita anugerah, tetapi ketika ada perjamuan kudus maka diletakkan setelah Doa Bapa Kami.


Salam Damai Harus Berjabat Tangan?

            Dari tradisi kita melihat bahwa gereja awal-mula menggunakan ciuman sebagai tanda perdamaian. Dengan berjalannya waktu, maka banyak hal dan penyesuaian sehingga banyak tanda yang mewakili tanda perdamaian. Ada berbagai macam alternatif selain berciuman karena berbagai latar belakang, seperti budaya lokal, kebiasaan jemaat, dan lain sebagainya.

            Seperti yang kita ketahui tadi, salam damai merupakan passing of the peace. Kata “passing” bisa dimaknai berbagai hal dan bentuk. Berjabat tangan merupakan salah satu contohnya, tetapi bukan satu-satunya bentuk. Oleh sebab itu, demi alasan-alasan tertentu “salam” damai dapat dilakukan dalam berbagai cara.



Opiniku          

Bagiku, bukan ‘bagaimana’ cara kita membagikan damai, tetapi esensi dari salam damai itu sendiri. Salam damai itu bukan "caranya", tetapi "esensinya".  Buatlah ritus salam damai sebagai sebuah tanda rekonsiliasi jemaat, dan letakkanlah itu pada tempat di dalam tata ibadah dengan tepat. Bagi yang tidak terlalu pusing dengan tradisi, maka salam damai tidak perlu dihilangkan setelah berita anugerah. Tetapi, jika anda adalah orang-orang sepertiku yang mempertimbangkan tradisi, maka salam damai tidak perlu ada setelah berita anugerah, tetapi tetap harus dilakukan di dalam rangkaian perjamuan kudus.

            Lakukan salam damai dengan gestur senyaman mungkin. Jangan ada keterpaksaan dan keterbatasan. Jangan sampai kita latah karena ada virus atau semacamnya yang mengurangi hospitalitas kita kepada anggota jemaat yang lain. Tetapi juga bijaksanalah, misalnya setelah bersalaman, tidak lupa membersihkan tangan dengan cairan pembersih.

LATEST POST

 

Bila hati terasa berat Tak seorang pun mengerti bebanku Kutanya Yesus Apa yang harus kuperbuat  ...
by Yessica Anggi | 22 Mar 2024

Entah mengapa, tapi ego itu begitu menggoda diri manusia. Ego untuk menguasai, untuk menja...
by Markus Perdata Sembiring | 19 Mar 2024

Keraguan adalah salah satu hal yang sering terjadi di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Keraguan...
by Immanuel Elson | 14 Mar 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER