Masih banyak sesama yang perlu hadir dalam panggung kehidupan supaya esensi hidup dan keselarasan terwujud di antara manusia di setiap waktunya.
Beberapa selebgram yang saya ikuti di akun instagram banyak sekali menyuarakan tentang branding diri akhir-akhir ini. Sesekali saya intip foto atau Instastory yang mereka unggah. Saya berdecak kagum melihat banyak sekali pencapaian dan kesuksesan yang mereka dapati, serta aktivitas terkini yang hendak mereka kerjakan, aktivitas positif dan bermakna tentunya, mungkin setidaknya begitu menurut mereka. Selain aktivitas dan rutinitas positif, tak lupa pula mereka menyerukan tentang pentingnya rasa syukur di setiap kesempatan.
Rentetan tampilan kisah positif di timeline saya itu pelan-pelan menimbulkan tanya dalam benak. Tentu bersyukur itu perlu, siapa bilang tidak perlu? Perlu kok. Hanya saja, saya jadi bingung, apakah branding diri harus selalu disertai ungkapan syukur yang membungkus ‘pameran’ pencapaian melulu? Apakah branding diri harus melulu tentang kesuksesan? Saya mempertanyakan pertanyaan ini berulang kali, sungguh. Apakah harus demikian?
Jika dibandingkan dengan selebgram yang dipenuhi serentetan pencapaian dan kesuksesan, saya semakin memandang diri ini kecil dan amat rendah. Saya jadi berpikir, apabila media sosial memang hanya berfungsi sebagai wadah untuk memamerkan kesuksesan, apakah tidak lebih baik saya undur dari media sosial? Jangan-jangan memang bukan para selebgram yang salah, melainkan saya sendiri yang salah tempat? Tidak perlu repot-repot memiliki akun media sosial bila ternyata diri ini minim kesuksesan dan justru didominasi oleh kerapuhan.
Positive vibes yang marak disuarakan saya akui punya peran yang membantu untuk berpikiran positif dalam menyikapi hidup. Namun ternyata tidak semua hal berbungkus nilai positif dapat membantu meringankan hari. Alih-alih membuat hidup positif, beberapa nilai positif justru membuat terpuruk serta membawa kemuakkan tersendiri bagi beberapa orang.
Saya teringat seorang kawan yang pernah bercerita bahwa dia secara terang-terangan menyatakan diri undur dari sebuah komunitas terpandang di kampusnya. Alasannya unik, “Saya tahu kita seharusnya menjadi terang. Tapi saya tidak mau menjadi terang yang menyilaukan. Bukannya membawa terang, justru membuat silau dan menghalangi orang lain melihat Sumber Terang.” Saya terdiam dan merenung. Apakah kita sudah menjadi terang yang benar? Apakah terang yang kita bawa membuat orang lain melihat Sang Sumber Terang atau justru Sang Sumber Terang menjadi terhalangi melalui perbuatan kita?
Panggung kehidupan yang berisikan orang-orang haus akan nilai baik kerap membuat kita melupakan satu hal: hidup bukan milik kita seorang. Berlomba-lomba menyerukan dan mengemas kesuksesan dalam wujud nilai positif seringkali membuat kita lupa bahwa kita hidup berdampingan bukan hanya dengan banyak orang dengan kesuksesan namun sebaliknya, kita juga berdampingan dengan banyak orang yang diliputi kegagalan dan kejatuhan.
Merasa dengan berbagi banyak kesuksesan akan memotivasi kegagalan orang lain? Rupanya belum tentu demikian. Saya pribadi ketika dalam masa terpuruk dan jatuh tidak lebih terbantu melihat banyaknya pencapaian rekan-rekan saya di luar sana yang ditampilkan dalam akun media sosialnya. Saya lebih memiliki kekuatan apabila secara intens seseorang hadir dan menemani saya ketika saya mengusahakan diri ini untuk bangkit.
Barangkali kita lupa, banyak menyoroti kesuksesan pribadi nampaknya bisa jadi penghalang bagi kita untuk rendah hati merasakan dan mendengar kisah orang lain yang belum tentu sama suksesnya dengan kita. Bahkan tidak menutup kemungkinan keterpurukan orang lain merupakan akibat sikap kita yang berlebihan dalam membuat positif segala hal. Rasanya tidak apa bila hidup yang apa adanya ini diketahui oleh para followers media sosial kita. Berbagi bukan hanya rasa syukur atas kesuksesan, rasa syukur atas keberhasilan melalui badai hidup pun tidak kalah menguatkannya bagi orang lain.
Tentu tidak ada larangan sama sekali untuk kita bercerita melalui akun media sosial kita. Serangkaian Instastory yang lebih mirip semut berbaris pun juga tidak apa kita miliki apabila sebegitu serunya kesuksesan yang kita capai begitu membuat menggebu-gebu untuk kita ceritakan kepada para followers. Namun saya ingin menyampaikan bahwa tidak semua orang akan terkesima dengan kesuksesan berbalut nilai positif yang kita unggah, tidak semua orang pula mau berteman dengan kita di media sosial karena konten yang kita usahakan (bisa jadi berteman karena sudah kenal lama atau bahkan rasa sungkan yang mendominasi). Konsekuensinya, jangan berharap pada tingginya apresiasi dari orang lain atas kesuksesan yang (kita anggap) positif.
Seperti yang dikatakan teman saya tadi, kita tetap harus menjadi terang. Membawa terang supaya orang lain dapat menyaksikan Sumber Terang melalui terang yang kita bawa, bukan sebaliknya. Bukan menjadi terang yang menyilaukan dan menghalangi orang lain menyaksikan Sumber Terang.
Saya pikir begitu juga dengan berelasi dalam media sosial. Saya jadi sadar pentingnya mempelajari penggunaan media sosial secara bijak. Penting sekali punya hati yang peka konteks dalam menggunakan media sosial. Berbagi kebahagiaan dan rasa syukur memang perlu diungkapkan, namun jangan sampai kebahagiaan kita yang menggebu-gebu menjadi sorotan utama hingga kita melupakan Sang Sumber Bahagia yang menyediakan kebahagiaan yang kita unggah dalam media sosial.
Jangan, jangan berhenti berbagi banyak hal baik. Bagikan bagaimana karya Allah dalam hidup kita. Hanya saja, jangan berperan sebagai tokoh utama dan satu-satunya dalam menampilkan nilai baik. Masih banyak sesama yang perlu hadir dalam panggung kehidupan supaya esensi hidup dan keselarasan terwujud di antara manusia di setiap waktunya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: