Golput: Apakah Sebuah Pilihan?

Going Deeper, God's Words, 12 April 2019
Siapapun pemimpin lahiriahnya, Pemimpin sebenarnya tetap dan hanya Allah—pemimpin lahiriah yang terpilih adalah alat-Nya.

Suasana menjelang pesta demokrasi ini sudah terlalu gaduh. Bayangkan saja, dari televisi, media sosial, halaman depan gereja, hingga percakapan di ruang makan keluarga saya semua diisi dengan topik yang hampir selalu sama: Pemilu 2019. Padahal sewaktu SMP saya begitu mencintai politik dan bercita-cita menjadi seorang diplomat. Saat kuliah, saya menekuni ilmu ekonomi dan menggebu ingin menjadi seorang menteri. Sekarang, sebagai seorang analis, saya hanya ingin menikmati lagi hari-hari yang tenang tanpa kebisingan pemilu yang seolah tiada henti.

Hal yang paling banyak dibicarakan oleh khalayak ramai mengenai Pemilu 2019 adalah Pilpres. Kita diperhadapkan dengan tiga pilihan, yaitu: Jokowi-Ma’ruf Amin, Prabowo-Sandiaga, dan golput.

Loh, golput kok termasuk? Iya, karena meski golput artinya tidak menggunakan hak suaranya saat pemilu, tetapi kenyataannya seseorang tetap terpilih; siapapun yang akhirnya memperoleh suara terbanyak tetap harus memimpin bangsa ini. Secara konstitusional golput dianggap sebagai pilihan yang tidak dilarang atau melanggar undang-undang. Pertanyaannya sekarang: apakah sebagai orang Kristen, kita juga memiliki tiga pilihan tersebut?


Photo by William Krause on Unsplash

Sepengetahuan saya, pemilu pertama yang tercatat di Alkitab adalah di saat orang-orang Israel meminta Samuel untuk mengurapi seseorang untuk menjadi raja mereka. Bangsa itu berdalih mereka ingin memiliki pemimpin yang terlihat seperti bangsa-bangsa lain. Penulis kitab 1 Samuel mencatat betapa hati Allah sangat terluka karena ditolak bangsa pilihannya sendiri—meski pada akhirnya Ia tetap mengabulkan keinginan mereka.

Anak orang kaya dari Benyamin yang bernama Saul itu pun diangkat menjadi raja Israel yang pertama. Alih-alih takut akan Allah, Saul ternyata lebih takut popularitasnya turun, takut followers-nya berkurang, dan malu apabila dikalahkan musuh. Ia lebih memilih tidak taat ketimbang tetap sabar, percaya, dan dengan rendah hati menunggu Samuel untuk mempersembahkan korban bakaran dan memohon belas kasihan pada Allah. Saul ragu bahwa Allah yang telah memberinya tahta dan kemenangan pasti menolong dan menyelamatkan dia beserta seluruh bangsa Israel tepat pada waktunya.

Menariknya, jika kita cermati, dari kisah tadi kita tahu bahwa dalam pemilu perdana ternyata hanya ada dua pilihan: Allah sebagai petahana dan Saul sebagai pihak lawan.


Photo by yang miao on Unpslash

Loh, tidak ada golput? Benar, tidak ada golput.

Berarti golput dosa? Jangan tergesa-gesa menghakimi. Pada pemilu perdana, ada Allah sebagai salah satu calon untuk dipilih. Allah itu sempurna, sementara Saul hanya manusia biasa—meskipun secara fisik di atas rata-rata. Jadi, dalam pemilu perdana jelas adalah sebuah kekeliruan saat bangsa Israel memilih pihak di luar Allah—entah Saul, maupun golput. Hitam-putih itu amat jelas karena ada Allah dalam bursa pemilu.

Namun setelah itu sampai hari ini Allah tidak pernah mencalonkan diri lagi, sebab prinsipnya: siapapun pemimpin lahiriahnya, Pemimpin sebenarnya tetap dan hanya Allah—pemimpin lahiriah yang terpilih adalah alat-Nya. Jadi, berita baiknya adalah memilih siapapun tidak pernah salah atau dosa asal prinsip tadi dipegang.

Jadi menarik kan? Selama ini mungkin banyak di antara kita berpikir bahwa pemimpin yang harus dipilih adalah yang seagama atau yang pro sama agama kita. Padahal Firman Allah jelas menunjukkan bahwa kriteria seperti itu terlalu dangkal. Siapapun pemimpinnya, Allah mau Dia jadi Pemimpin tunggal dalam hidup kita. Itu prinsipnya. Harus dipegang erat-erat.

Sebagai ciptaan yang dikaruniakan kreativitas berpikir oleh Allah, kita dapat mencari praktik dari prinsip tadi. Saya yang terbatas ini baru menemukan dua hal praktis yang kita, orang-orang Kristen, dapat lakukan menjelang Pemilu 2019 (dan pemilu-pemilu yang akan datang).


Photo by Glenn Carstens-Peters on Unsplash

Pertama, cari sebanyak-banyaknya informasi tentang calon pemimpin kita, baik pasangan calon capres-cawapres maupun calon legislative pusat dan daerah. Dibutuhkan ketekunan dan kesabaran tingkat tinggi dalam mencari informasi di era post truth ini sebab cukup sulit memisahkan hoax dan kebenaran.

Kedua, pelajari lagi firman Tuhan mengenai kepemimpinan dan minta kerelaan untuk memilih apa yang Tuhan—bukan kita—pandang baik. Sering kali kita lebih mengedepankan selera dan kepentingan pribadi, sehingga lupa berserah dan tetap menjaga kesantunan saat berebut panggung debat di media sosial dan dunia nyata.

Di Alkitab, ada kisah para pemimpin non-Kristen yang tetap dipakai Allah untuk memimpin umat-Nya dengan baik. Ada juga banyak orang tidak cakap, dipandang hina, dan tersingkirkan yang Allah pilih jadi pemimpin yang menyenangkan hati-Nya.

Jadi, firman Tuhan mengatakan bahwa memilih siapapun, sah-sah saja kok. Asal, dasar kita dalam memilih bukan sebatas selera atau potensi menguntungkan pihak kita. Mereka-mereka yang tampaknya mau melayani bangsa ini demi hormat dan kemuliaan nama Allah, itu yang harus kita pilih.

Begitu juga yang berpikiran untuk golput. Jangan kecewa dengan pemimpin terpilih yang tidak mampu memenuhi kriteria pribadi. Jangan olehnya kita berdalih selalu ada kekurangan dalam diri manusia yang membuat kita menolak terlibat dalam proses pemilu.


Photo by AbsolutVision on Unsplash

Saya banyak menemukan teman yang golput karena tidak mau repot alias malas mencari tahu latar belakang dan kompetensi kandidat pemimpin yang ada, ini juga tidak boleh. Kalau berani golput, harus berani membentuk generasi dan sistem baru yang bertujuan mempersiapkan calon pemimpin yang electable, yang kriterianya pas sesuai dengan harapan pemilih golput. Jadi, tahun ini golput agar lima tahun lagi dan tahun-tahun berikutnya tidak ada yang golput karena alasan tidak ada pilihan.

Mungkin saat ini kita sudah punya pilihan politik, mungkin juga belum seperti saya (swing voters). Apapun kondisinya, dua hal tadi harus kita lakukan sebagai orang Kristen yang mau menguduskan hari pemilu. Sebelum dan setelah pemilu, kita harus terus berdoa dan berusaha agar kita tetap taat dan setia pada Sang Pemimpin yang sesungguhnya.

Referensi: 1 Samuel 8-13


Penulis : Rachel E.H.B
LATEST POST

 

Bila hati terasa berat Tak seorang pun mengerti bebanku Kutanya Yesus Apa yang harus kuperbuat  ...
by Yessica Anggi | 22 Mar 2024

Entah mengapa, tapi ego itu begitu menggoda diri manusia. Ego untuk menguasai, untuk menja...
by Markus Perdata Sembiring | 19 Mar 2024

Keraguan adalah salah satu hal yang sering terjadi di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Keraguan...
by Immanuel Elson | 14 Mar 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER