The Spirit of a Vigilante

Best Regards, Live Through This, 11 June 2024
There is a void in the law. It is often lenient to bad guys who don't deserve it. Now, I will fill that void. This is justice. -Kim Jiyong, Vigilante

Baru-baru ini saya menyelesaikan menonton sebuah K-drama berjudul “Vigilante.” Spoiler alert ya… Seperti judulnya, tentu drama ini mengisahkan tentang seorang vigilante. Apa sih vigilante itu? Dalam kamus Merriam-Webster, vigilante didefinisikan sebagai seorang anggota dari perkumpulan sukarela yang diatur untuk mengurangi dan menghukum tindakan kriminal dengan cepat, terutama ketika proses hukum dinilai tidak cukup. Contoh beberapa tokoh fiksi yang bisa dikatakan sebagai vigilante adalah Batman, Spiderman, dan Daredevil. Nah, vigilante dalam K-drama tersebut merupakan seorang kader akademi kepolisian dengan masa lalu yang kelam, yang mendorongnya untuk menyakiti, mengancam, maupun membunuh berbagai macam kriminal yang ia nilai tidak mendapatkan hukuman yang setimpal.


Sosok seorang vigilante biasanya menjadi sosok yang kontroversial. Sebagian akan penasaran dengan identitasnya, sebagian mendukung aksinya, sebagian tidak setuju dengan kekerasan yang dilakukannya. Bagi sebagian orang, vigilante bisa menjadi seorang pahlawan, tetapi bisa juga menjadi seorang penjahat bagi sebagian yang lain.

Ya, sesuatu yang kontroversial biasanya memiliki sisi yang beragam. Dalam perspektif saya, vigilante memiliki sisi kriminalitas dan kekerasan, tetapi juga keadilan dan kebenaran. Terdapat sisi baik sebagai pejuang keadilan, tetapi juga sisi buruk sebagai pengguna kekerasan. Dilematis: satu sisi kita ingin keadilan ditegakkan, tetapi membunuh kriminal tidak selalu menjadi solusi yang tepat.


Seorang vigilante biasanya bersikap vigilant, yaitu terjaga dengan waspada terutama untuk menghindari bahaya. Sikap vigilant biasanya hadir ketika seseorang berada dalam situasi terancam. Dalam perspektif saya, seorang vigilante menjadi vigilant ketika masyarakat menghadapi ancaman. Di mata seorang vigilante, keadilan dan kebenaran adalah yang terutama diperjuangkan. Melihat seorang penjahat yang bebas tanpa perubahan perilaku tentu membuat hatinya mendidih dan menjadi waspada. Ia harus melakukan sesuatu agar keadilan dan kebenaran ditegakkan, serta kejahatan dibayar setimpal. 


Bagaimana dengan kita? Seperti vigilante, pernahkah kita merasa panas hati di hadapan ketidakadilan dan kejahatan yang merajalela?


Melalui artikel ini, saya ingin mengajak Ignite People melihat apa yang ada di pusat hati seorang vigilante. Saya juga ingin mengajak Ignite People memikirkan kembali tentang keadilan dan bagaimana sikap kita di hadapan ketidakadilan. Saya ingin mengajak Ignite People menjadikan keadilan sebuah pertanyaan, bukan pernyataan.


Dalam negara hukum, keadilan seringkali dikaitkan dengan hukum yang berlaku. Dalam konstitusi, pemerintah mendefinisikan berbagai bentuk pelanggaran hukum dan merancang hukuman yang dipandang setimpal untuk berbagai tindak pidana maupun perdata. Ketika tersangka didakwa dengan hukuman tertentu, itulah yang dianggap keadilan di mata hukum. 

Namun, pada kenyataannya, seringkali kita menilai hukuman tersebut tidak cukup atau tidak setimpal. Hal ini karena memang sistem hukum yang bobrok, ada permainan politik di belakangnya, rasa tidak pernah cukup akan keadilan, dan berbagai faktor yang lain yang mungkin muncul di pikiran kita. Adanya kesenjangan akan definisi keadilan ini senantiasa menciptakan ketegangan dan dapat menaruh keadilan dalam status quo.


Ketika memikirkan tentang ketidakjelasan keadilan ini, saya bertemu dengan kutipan dari Jacques Derrida: “Deconstruction takes place in the interval that separates the undeconstructibility of justice from the deconstructibility of law” (Dekonstruksi terletak di dalam jarak yang memisahkan antara keadilan yang tak bisa didekonstruksi dengan hukum yang bisa didekonstruksi). Pemikiran ini memberikan pesan implisit bahwa keadilan dan hukum adalah dua hal yang berbeda. Hukum dapat dibongkar pasang, sementara keadilan tidak; ketegangan antara kedua hal inilah yang menuntut kita untuk terus memikirkan ulang mengenai keadilan dan kaitannya dengan hukum. 


Jika mengambil pemikiran ini, keadilan menjadi hal yang lebih besar, bahkan melampaui hukum. Menurut saya, hal inilah yang mendorong terbentuknya seorang vigilante dengan tindakannya yang kriminal tapi adil (menurut si vigilante). Meskipun penilaiannya subjektif, fokus utamanya adalah bagaimana keadilan tetap hadir di dunia sekalipun harus melanggar hukum untuk meraihnya. Perbuatan seorang vigilante tentu saja bisa dipidanakan, tetapi apa yang lebih penting adalah semangatnya untuk melakukan sesuatu demi keadilan yang terus didefinisikan ulang.


He has told you, O man, what is good; and what does the Lord require of you but to do justice, and to love kindness, and to walk humbly with your God? (‭Micah 6:8 ESV‬)

Bagi saya secara pribadi, semangat seorang vigilante perlu dipelihara untuk mewujudkan keadilan dalam dunia yang fana ini. Seperti disebutkan dalam ayat di atas, berlaku adil adalah salah satu hal yang perlu kita lakukan sebagai umat Allah. Terbiasa hidup dalam dunia yang rusak dan penuh ketidakadilan dapat membuat kita apatis terhadap apa yang terjadi di sekitar dan mati rasa akan hati nurani kita. Namun, hati yang baru–yang Allah berikan bagi kita sebagai umat yang sudah ditebus–merupakan hati yang senantiasa tergerak oleh kehendak Allah dan selalu menghadirkan kegelisahan dalam diri kita. Inilah hati yang ingin mengerjakan pekerjaan Allah yang baik dan mengikuti Allah di jalan-Nya. 


Dalam perspektif saya, Yesus sendiri juga adalah seorang vigilante tipis-tipis. Dia mungkin tidak menggunakan kekerasan dan tidak membunuh orang, tetapi kekerasan hadir melalui kecaman dan pemikiran-pemikiran radikal yang Dia ungkapkan. Dia menunjukkan keadilan melalui penyembuhan penyakit yang tidak memandang siapa pribadi yang sakit, memberikan kesempatan bertobat dengan memperingatkan orang atas dosa-dosa mereka (seperti wanita Samaria di tepi sumur dan Petrus yang akan menyangkal-Nya), serta berbagai respons terhadap pemuka agama Yahudi. Yesus menjadi seorang vigilante dengan menambahkan nilai pada keadilan dan kebenaran dengan belas kasihan (compassion). Bagaimana Yesus memandang sesama manusia dengan belas kasihan mendorong-Nya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dalam perspektif Allah. Dia menunjukkan bahwa dosapun adil dengan tidak pilih-pilih aspek; dari pemikiran dan keinginan yang tidak kelihatan saja dapat muncul bibit dosa sebelum termanifestasi dalam perbuatan. Namun, Dia juga menunjukkan bahwa anugerah keselamatan juga adil dengan tidak pilih-pilih penerima, asalkan kita percaya kepada-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat kita. Dengan percaya kepada-Nya, kita juga percaya bahwa melalui penyaliban-Nya, kita berstatus tak bersalah di hadapan penghakiman Allah (Rm. 5:1; Gal 2:16). 


Dalam perspektif saya, manifestasi perilaku seorang vigilante tidak hanya melulu melalui kekerasan dan pembunuhan. Keadilan dan kebenaran dapat disuarakan melalui berbagai hal, misalnya tulisan, kampanye tertentu yang diikuti, demonstrasi, menyebarkan informasi mengenai isu sosial-politik, dan sebagainya. Bagi saya, hal-hal ini juga merupakan bentuk vigilantism karena yang terpenting adalah bagaimana keadilan dan kebenaran dapat selalu ditegakkan. Dengan belas kasihan, kita dapat memandang sesama kita sebagai manusia yang juga layak mendapatkan keadilan dan mengetahui kebenaran. Bagaimana menurut Ignite People?


Keep your heart with all vigilance, for from it flow the springs of life. (‭Proverbs 4:23 ESV‬)

Dengan semangat seorang vigilante, kita harus memiliki sikap waspada. Kewaspadaan ini yang terutama adalah kewaspadaan untuk menjaga hati kita. Sebagai pusat dari kehidupan, kita harus tetap menjaga hati kita bersih agar dapat melihat keadilan dan kebenaran sebagaimana Allah inginkan. Dengan hati yang dijaga secara waspada, kitapun akan terdorong untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dengan penuh hikmat. 


Ignite People, lihatlah ke sekeliling kita. Ketidakadilan seperti apakah yang kita temukan? Masihkah hati kita tergerak oleh belas kasihan untuk menunjukkan keadilan dan kebenaran? Adakah kita bertanya pada diri sendiri: apa itu keadilan bagi kita dan bagaimana kita dapat mewujudkannya?


Kiranya tulisan ini dapat menjadi pemikiran dan perenungan untuk kita semua.


Referensi:

Gingerich, Ray C., dan Ted Grimsrud, eds. Transforming the Powers: Peace, Justice, and the Domination System. Minneapolis, MN: Fortress Press, 2006.

Jennings, Jr., Theodore W. Reading Derrida/Thinking Paul. Stanford, California: Stanford University Press, 2006.

Lampman, Lisa Barnes, dan Michelle D. Shattuck, eds. God and the Victim: Theological Reflections on Evil, Victimization, Justice, and Forgiveness. Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing, 1999.

LATEST POST

 

Di awal tahun 2024, kita semua dikagetkan dengan berita dukacita dari artis bernama Melita Sidabutar...
by Yessica Anggi | 10 Sep 2024

Catatan editor: artikel ini merupakan bagian keenam dari seri refleksi "This is Us" oleh&n...
by Sandra Priskila | 09 Sep 2024

Bulan Juni kemarin, gereja saya memperingati HUT ke-40. Salah satu rangkaian acaranya adalah drama m...
by Primaridiana Pradiptasari | 30 Aug 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER