Pelajaran tentang "Spiritual Abuse" dari Dokumenter "In the Name of God: A Holy Betrayal"

Going Deeper, God's Words, 09 March 2023
Mengaku sebagai "nabi", "utusan Tuhan", bahkan klaim-klaim "Tuhan berbicara sama saya". Lakukan itu maka bahkan ketika hukum dunia sudah menganggapmu salah, pengikutmu akan tetap menganggapmu benar

Sesuai judul, dokumenter Netflix terbaru ini sangat-sangat menarik terutama dalam lingkungan kekristenan. Meski saya baru menonton 4 episode dari 8 episode. dengan 3 episode awal membahas orang yang sama.


Jeong-Myeong Seok, "pendeta" yang mengaku nabi dan memiliki banyak budak seks.


Kasus yang dibahas di tiga episode pertama dokumenter adalah mengenai seseorang bernama Jeong-Myeong-Seok, atau disingkat saja JMS karena yang bersangkutan juga membuat sebuah "gereja JMS". Lebih parahnya, ini bukan sekedar pelecehan seksual biasa. Bahkan orang ini seperti punya "budak seks".

Sialnya, dengan iming-iming "keselamatan" dan klaim diri sebagai Tuhan, ditambah kepintaran JMS untuk meng-interpretasi bacaan alkitab sehingga terdengar "masuk akal", maka jemaat JMS yang mayoritasnya adalah perempuan, didorong untuk memenuhi hasrat seksual si bapak JMS yang mesum ini. 

JMS bahkan tak segan memaksa dengan ancaman jika menolak, maka Tuhan tak akan mengampuni dan tentu saja klasik - diancam masuk neraka.


Maple Yip, salah satu mantan aktivis "gereja" JMS sekaligus korban kebejatan JMS


Secara sistemik JMS sangat lihai memperdaya perempuan - perempuan korbannya - yang mayoritas berusia remaja, dengan mengajak perempuan lain untuk bergabung menjadi "budak seks" si JMS layaknya MLM dengan iming-iming surga. Mengajak perempuan bergabung dianggap bakti kepada "tuhan JMS". Beberapa yang diwawancara bahkan menyesal karena menyadari telah menjerumuskan perempuan lain untuk jadi korban.

Yang sangat ironis adalah : JMS sudah bolak-balik menjadi buronan polisi dan sudah keluar-masuk penjara. Tetap saja masih ada "pengikut setia" yang menganggap ia seperti nabi yang dipersekusi. Malah, dipandang seperti Yesus waktu mau disalibkan, ya karena dirinya memang mengklaim dan seolah - olah sudah menubuatkan apa yang akan terjadi.

Ingatan saya kembali pada terungkapnya beberapa kasus pelecehan seksual oleh beberapa pastur Katolik beberapa tahun silam - yang disorot secara mendalam oleh Tirto, bisa dibaca di sini. Lalu tak kalah pentingnya di kalangan konservatif, seorang apologet terkenal yang terungkap juga melakukan pelecehan seksual. 

Polanya sama, tekniknya sama. Bahkan semua sama-sama pakai nama Tuhan.

Tapi sebelum kita lebih jauh, maka kita perlu "mengakrabkan diri" dulu dengan istilah spiritual abuse. Apakah Ignite People pernah mendengar istilah ini?

Yaistilah spiritual abuse belakangan ramai akibat mulai lunturnya kepercayaan orang terhadap institusi agama. Umumnya di barat oleh kaum woke. Istilah ini dapat diartikan sebagai salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan (power abuse), bedanya ini dilakukan pemimpin agama kepada pengikutnya. 

Secara umum bentuknya sama, yaitu menggunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, misalnya pemenuhan hasrat seksual dengan iming-iming tertentu kepada orang yang di bawah kuasanya - kenaikan pangkat, kenaikan gaji, atau bahkan dalam konteks kita: keselamatan / surga. Yahh, kira-kira seperti yang dilakukan oleh JMS di atas. Namun sayangnya, spiritual abuse sendiri tidak hanya datang dalam bentuk seks.



Courtesy by BBC

Deus Vult!

Dua kata di atas adalah sebuah istilah yang digunakan para prajurit pada masa Perang Salib, tepatnya merupakan sorakan perang yang artinya "Allah yang menghendakinya" (konteksnya adalah peperangan merebut Jerusalem). Ya, pada masa itu, Paus berpendapat bahwa peperangan tersebut adalah kehendak Allah, dan para prajurit (crusaders) pun berperang dengan meneriakkan hal senada.

Namun saat ini, Deus Vult!  terdengar bukan sebagai sorakan peperangan. 

Hari ini, kita mendengar kata-kata itu ketika dipanggil menghadap pendeta dan diminta pelayanan. Meski tidak terdengar secara verbal, kadang-kadang persuasi pendeta (atau hamba Tuhan non-pendeta) sering kali datang dengan perkataan ini. Baiklah, mungkin kalimat di atas tidak selalu berasal dari pendeta dan hamba Tuhan, tetapi ada kalanya pula mentor atau kakak KTB "suka" menggunakan perkataan ini. Ya, tentu saja! Sebagai anak Tuhan yang taat dan sudah ditebus, mana tega, sih, kita nolak pelayanan kalau dibilang, "Tuhan meminta kamu," atau, "Kamu, kan, Bapak lihat punya talenta di bidang ini, harusnya kamu pakai itu untuk Tuhan."

Padahal mungkin saja ketika kita mengiyakan ajakan tersebut, pendeta, mentor, atau kakak KTB tidak terlalu peduli jika nilai kuliah jeblok atau jadi sering telat kerja akibat bantu-bantu di gereja sampai subuh. Jika terjadi kesalahan, besar kemungkinan malah kita yang disalahkan. Bayangkan, sudah berkorban segitu banyak, masih aja jadi pupuk bawang. Lalu besoknya disindir di khotbah Minggu.

Bukankah ini terdengar sama seperti kisah di dalam "In the Name of God: A Holy Betrayal",  hanya saja bukan dalam hal seksual, melainkan... Hmmm... Perbudakan?


Photo by Hussain Badshah on Unsplash  


"Jangan sebut nama Tuhan, Allahmu dengan sembarangan!"

Dalam konteks modern, mungkin hukum ini bisa dibaca "jangan pakai nama Tuhan untuk pemenuhan hasrat pribadimu dan institusimu". Oh, betapa rapuhnya kita, manusia berdosa ini! Siapakah kita, sehingga kita merasa berhak menipu orang lain demi memuaskan nafsu dan keinginan jiwa yang hampa? Mari, kita merendahkan diri di hadapan Tuhan yang seharusnya menjadi Sang Tuan—bukannya kita—dan memohon ampun serta pertolongan-Nya untuk melepaskan diri dari tipuan ini. Jujur saja, saya pun pernah melakukannya. Namun akhirnya saya belajar bahwa "jurus" ini sangat bahaya dan manipulatif, bahkan rawan sekali digunakan jika kita berada di posisi otoritas. Contoh-contoh di atas sudah membuktikannya. Lagipula, aneh bukan kalau kita mengaku diri sebagai orang Kristen Protestan yang semangatnya "semua orang adalah imam", tetapi, kok, masih ada pemimpinnya yang malah mengaku mendapatkan wahyu Tuhan yang paling valid dan benar? Bukannya kaum Kristen Protestan dulu menolak konsep begini, ya?

Sebagai disclaimer, ini bukan ajakan untuk tidak melayani. Kesalahannya bukan pada orang yang disuruh melayani (karena bagaimana pun mereka memiliki pertimbangan tersendiri yang perlu dihargai). Namun, kasus-kasus di atas menegur kita, atau institusi kita, yang memiliki otoritas dalam lingkungan religius masing- masing: apakah ajakan melayani itu datang dengan kasih dan memberikan kebebasan, atau malah mengancam dan memanipulasi?

LATEST POST

 

Apa yang ada di benak Anda ketika sedang berulang tahun? Bahagia di hari yang indah?Sukacita ka...
by Kartika Setyanie | 01 Oct 2024

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, menjaga kesehatan mental menjadi tantangan tersendiri, teru...
by Admin | 27 Sep 2024

Dear Ignite People, Salam dalam kasih karunia Bapa dan Putra dalam persekutuan dengan Roh Kudus...
by Sobat Anonim | 27 Sep 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER