"Kita memang sudah masuk kepada masa-masa New Normal. Tetapi bukan berarti kita dapat hidup sebebas-bebasnya karena ini merupakan kebebasan yang bablas. Bebas tidak berarti hidup tanpa aturan, bukan pula ketika kita dapat melakukan apa saja yang kita sukai, melainkan saat kita dapat melakukan apa yang seharusnya kita lakukan sesuai dengan tuntunan Firman Tuhan."
Belakangan ini, dengan diberlakukannya new normal - mulai terlihat keramaian di beberapa tempat, orang-orang pun mulai kurang berhati-hati: tidak menggunakan masker, tidak rajin cuci tangan, mengabaikan physical distancing, dsb. Seakan sedang tidak terjadi apa-apa di sekitar kita, kebebasan seakan rasanya menyeruak keluar dari dalam setiap orang setelah sekian lama merasa terkungkung karena kondisi pandemi ini. Jika sikap ini terus dipelihara, bukan tidak mungkin perjuangan bersama selama ini, bahkan hampir kepada garis kemenangan melawan pandemi ini akan gagal.
Tiada yang salah dengan kebebasan, namun apakah waktunya sudah tepat? Kebebasan merupakan bagian hakiki yang esensial dari setiap manusia. Salah seorang filsuf terkenal, Jean Paul Sartre melalui bukunya “Being and Nothingness”, menganalisis bahwa kebebasan terkait erat dengan cara berada manusia dengan yang lain melalui kesadarannya, sehingga manusia bertanggung jawab atas fakta yang ada, dan makna hidup ditentukan oleh tindakannya.
Melalui Sartre, kita melihat bahwa tidak ada kebebasan yang sebebas-bebasnya, karena kebebasan yang demikian namanya apatis, anarki, egois, dan tentunya tidak bertanggung jawab. Kebebasan seseorang selalu terikat dengan kebebasan yang lain. Sehingga secara tidak langsung, kebebasan seseorang juga adalah tanggung jawabnya kepada yang lain, kepada fakta yang ada, dan hal itu ditentukan bagaimana ia bertindak.
Di dalam pandemi ini, jika seseorang tidak menggunakan masker, tidak cuci tangan, tidak jaga jarak, maka ia tidak hanya tidak bertanggung jawab atas dirinya sendiri, namun juga tidak bertanggung jawab kepada yang lain. Ia tidak membermaknakan hidupnya dengan segala kesadaran yang ia miliki. Atau dapat dikatakan, ia sebenarnya bertanggung jawab terhadap tingginya angka penyebaran di dalam pandemi ini. Tentu kita tidak mau dikatakan orang yang seperti demikian bukan?
Di dalam Yohanes 8:31-32, Tuhan Yesus berkata, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Firman Tuhan menolong kita mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu memerdekakan, membebaskan kita. Inilah kebebasan yang sejati. Kebebasan yang dituntun oleh kebenaran. Dan tentunya inilah kebebasan yang bertanggung jawab, kebebasan yang membawa kepada kehidupan, bukan sebaliknya. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah tinggal di dalam Firman-Nya, membaca dan senantiasa merenungkannya.
Kita memang sudah masuk kepada masa-masa new normal. Tetapi bukan berarti kita dapat hidup sebebas-bebasnya karena ini merupakan kebebasan yang bablas. Bebas tidak berarti hidup tanpa aturan, bukan pula ketika kita dapat melakukan apa saja yang kita sukai, melainkan saat kita dapat melakukan apa yang seharusnya kita lakukan sesuai dengan tuntunan Firman Tuhan. Sehingga, kebebasan kita adalah kebebasan yang bertanggung jawab, kebebasan yang bermakna dan memberkati, kebebasan yang senantiasa mengikuti protokol kesehatan yang ada, kebebasan kita adalah kebebasan yang membawa kehidupan kepada yang lain.
Sebenarnya jika kita perhatikan dengan seksama, new normal atau cara hidup adaptasi baru bukanlah hal yang asing di dalam Alkitab. Meskipun tentu saja berbeda dengan keadaan yang sedang kita hadapi sekarang. Di dalam Perjanjian Baru, cara hidup adaptasi kebiasaan baru pun tidak terlepas dari kehidupan kekristenan mula-mula. Kepergian Tuhan Yesus (Sang Guru) membuat para murid harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru (new normal), menjalani kehidupan tanpa kehadiran sosok yang kepadaNya selama ini mereka menggantungkan hidup. Dan tentu saja kepergian-Nya membuat mereka harus hidup dengan keadaan new normal, sebab normalnya mereka adalah beraktivitas biasa dengan Sang Guru. Kepergian Sang Guru mengubah segalanya.
Kedatangan Roh Kudus pada peristiwa pentakosta yang beberapa bulan yang lalu kita rayakan, ternyata membuat para murid harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru, di bawah tuntunan Roh Kudus. Para murid mengalami double new normal. Walaupun demikian, oleh tuntunan Roh Kudus hati para murid semakin berkobar menjadi saksi Kristus. Banyak orang kemudian mendapat kabar baik dan bertobat dari pelayanan itu, sehingga jumlah orang percaya bertambah drastis sebanyak 3.000 orang ketika itu, ini merupakan new normal yang baru, tidak hanya bagi para murid, namun juga bagi seluruh penduduk Yerusalem, khususnya bagi para petobat baru ketika itu.
Kita pun saat ini memasuki new normal, bukan hanya karena pandemi ini, namun juga karena kita pun sama-sama telah ditinggal pergi oleh Sang Guru di dalam kemanusiaanNya, dan Roh Kudus yang sekarang tinggal beserta dan diam di dalam diri kita (Yohanes 4: 17). Kita sebagai para murid dan juga orang-orang yang baru percaya kepada-Nya sebagai Juruselamat berada di dalam keadaan new normal. Dunia kita berubah dengan drastis, kita pun tidak bisa beraktivitas seperti biasa dan harus menyesuaikan diri terhadap keadaan yang baru.
Berbagai new normal telah dilalui oleh para murid dan orang-orang percaya ketika itu. Dan keadaan itu tidak membuat mereka berputus asa apalagi kehilangan pengaharapan, bahkan semakin semangat berkarya. Tentu jika bukan dari semangat, mana mungkin Injil tersebar ke seluruh penjuru, bahkan sampai kepada kita bukan? Roh Kudus menuntun dan memampukan mereka melewati keadaan new normal yang ada ketika itu dan mereka tetap bersaksi secara luar biasa dan menjadi berkat bagi banyak orang. “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis. 2: 42).
Terdapat empat resep penting yang diwariskan oleh para murid dan juga orang-orang percaya waktu itu yang tentu masih relevan dengan konteks kita sekarang ini dalam menjalani kehidupan new normal.
Pertama, bertekun di dalam pengajaran, melalui pengajaran Alkitab, khotbah-khotbah, renungan harian, maupun bacaan Alkitab harian kita. Kedua, bertekun di dalam persekutuan, konsisten menghadiri ibadah online: persekutuan-persekutuan yang ada dan juga ibadah Minggu. Ketiga, berkumpul memecahkan roti. Hal ini dapat diartikan sebagai bentuk kesediaan untuk berbagi. Kis 2: 46 mengatakan bahwa memecahkan roti juga dilakukan di rumah sendiri, sehingga teks ini bukan hanya menitikberatkan penekanan pada perkumpulannya, namun kepada spirit berbagi kepada orang lain, terkhususnya kepada teman-teman seiman. Keempat, berdoa, kita harus tetap memelihara kehidupan doa kita, baik di dalam doa-doa pribadi kita maupun melalui ibadah dan persekutuan online yang ada. Inilah resep-resep untuk menghadapi new normal yang telah terbukti berhasil dan tentunya semua ini adalah karena pertolongan Roh Kudus yang senantiasa menyertai kita, berada di dalam kita, merengkuh dan merangkul kita. Sehingga, kita pun sudah semestinya meneladani karya-Nya itu di dalam diri kita dan mengejawantahkannya kepada orang-orang di sekitar kita. Dengan bersaksi, menjadi berkat, berbagi, mendoakan mereka, merengkuh dan merangkul orang-orang membutuhkan lewat perhatian kita.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: