To live is to suffer; to survive is to find some meaning in the suffering. -- Friedrich Nietzsche
Sebelum melanjutkan fafifuwasweswos ini, izinkan saya memulainya dengan suatu pengakuan bahwa tulisan ini ditulis ketika saya merasa bahwa hidup semakin hari semakin embuh. Ya, namanya juga kehidupunk. Kadang di atas, kadang di MU, wkwkwkwk. Hidup kadang kidding. Oh ya, sebelumnya juga terdapat beberapa disclaimer. Sebagai seorang mahasiswa teologi (filsafat keilahian) dan seorang calon pendeta yang ndak pendeta-pendeta amat, bukan berarti ketika saya menulis tentang Nietzsche ini lantas dapat diartikan bahwa saya menyerah lalu log-out dan kemudian menjadi seorang Ateis. Tidak. Saya merasa bahwa pemikiran Nietzsche sangat nyentrik dan menarik untuk dapat direfleksikan bersama.
Yak. Mari kita lanjutkan saja. “fatum brutum amor fati” atau yang berarti “mencintai takdir walau takdir itu kejam”. Frasa Latin ini mungkin cukup terkenal dalam kalangan filsafat dan sastra. Kalimat singkat atau aforisme dari frasa ini menarik untuk dijadikan slogan hidup. Dan nampaknya kredo ini juga cukup beken di kalangan kawula muda masa kini. Lantas sekarang pertanyaannya, siapakah orang dibalik dari kalimat ini?
Dialah Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman yang dikenal dengan pandangan filsafat nihilisme, seorang filolog, sekaligus pemikir yang terkenal dengan julukan “Si Pembunuh Tuhan”. Nietzsche kerap kali dianggap sebagai filsuf yang menjadi gerbang peralihan periode filsafat Pencerahan menuju periode filsafat kontemporer, yakni pada kurun akhir abad ke-19. Nietzsche sendiri agaknya menandaskan kata-kata aforistik ini sebagai pengingat bagi dirinya. Terlebih, ketika menyadari bahwa Nietzsche sendiri dalam pergulatan hidupnya yang lekat dengan kesendirian, kesengsaraan dan berbagai sakit parah (sifilis, misalnya..) yang membayang-bayangi dirinya, dan bahkan memiliki gangguan kejiwaan sampai ajalnya tiba.
Photo on Wikipedia
Sekilas tentang Nietzsche sebagai pengantar yang superfisial -anjas kelasss-, filsafat Nietzsche seringkali dianggap sebagai ide yang “Membunuh Tuhan” dan menjadi landasan penting dalam gagasan-gagasan Ateisme. Hal ini dikarenakan Nietzsche menggemakan konsep “kehendak untuk berkuasa” yang kemudian melahirkan gagasan Ubermensch atau yang berarti Adi Manusia. Secara sederhana, menurut Nietzsche manusia mempunyai dua moralitas, yakni moralitas tuan dan moralitas budak. Moralitas tuan berarti kemampuan diri manusia untuk berani mempunyai kehendaknya sendiri dan tidak tunduk atas tekanan-tekanan yang mengungkung kemerdekaan serta kebebasan atas dirinya. Sementara, moralitas budak berarti sikap manusia yang tidak mampu untuk bangkit dan menentukan kehendak hidupnya sendiri dan kemudian merasa iri atau sentimen terhadap mereka yang kuat atau mampu. Pada masa Nietzsche, yang dimaksudkan sebagai manusia dengan moralitas budak adalah jika ia masih tunduk dan takut dengan dogma agama. Jika kita mengupayakan hidup kita dalam moralitas tuan, menurut Nietzsche, inilah yang membimbing kita menjadi seorang Ubermensch. Sosok Adi Manusia yang mandiri dan melampaui batasan-batasan yang mengungkungi kebebasan kehendak kita.
Sebagai refleksi, hal ini sejalan dengan slogan “fatum brutum amor fati” atau yang berarti “mencintai takdir walau takdir itu kejam”, Nietzsche mengajak kita untuk melihat kehidupan dalam kacamata yang berbeda. Seringkali kita menjadi korban atas kerasnya kehidupan, entahlah tekanan-tekanan yang hadir dari luar kehendak kita, dari orang-orang terdekat kita, bahkan dari dalam diri kita sendiri. Perasaan-perasaan takut, gelisah, nir-harapan, insekyur, rapuh, terkoyak, tertinggalkan, terasingkan, dan lain sebagainya, mungkin turut mewarnai bingkai hidup kita.
Tetapi bagian yang terpenting adalah, bagaimana kita harus mempunyai kehendak yang bebas dari cengkeraman-cengkeraman maupun tuntutan-tuntutan yang ada di luar diri kita. Misalnya tuntutan-tuntutan seperti, “kok masih jomblo?”, “kapan nikah?”, “udah nikah berapa tahun kok belum punya momongan?”, atau godaan-godaan mantan, mulut tetangga, dan berbagai hal yang menghadirkan perasaan-perasaan penuh kegelisahan dan ketakutan dalam diri kita. Maka dari itu, moralitas tuan mengajarkan kita untuk berdiri tegak dan menjadi independen atas diri kita sendiri. Sehingga kita bisa meng-improve diri untuk menjadi versi yang lebih baik dari diri kita. Setidaknya kita dapat menjadi pribadi yang otentik.
Image on Veywell Family
Baik untuk kita renungkan pula bahwa bagaimanapun keadaan dalam hidup kita, entahlah itu baik maupun buruk, toh hidup ini tetaplah bergulir dan kadang kita tidak bisa menolaknya. Tetapi ini semua pun akan berlalu. Sebagaimana saya kebetulan adalah seorang Kristen, ini mengingatkan saya pada suatu ayat dalam Injil Matius 6 : 34 yang berbunyi : “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari”. Setiap hari memiliki tantangan serta penderitaannya masing-masing, dan seringkali kita dipaksa untuk menelan itu.
Walau terdengar ironis dan fatalis, tetapi “fatum brutum amor fati” hendak mengajarkan kepada kita bahwa, setidaknya kita diajak untuk memiliki kesadaran akan kemungkinan paling buruk dalam hidup kita. Sehingga, pada waktunya takdir yang pahit itu datang, kita bisa menjadi pribadi yang tidak heran atau dalam bahasa Jawa yaitu “ora nggumunan”. Dengan demikian harapannya, kita dapat berdamai dengan segala keadaan yang terjadi di dalam hidup kita.
Selamat berefleksi, dan selamat mencintai takdir!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: