(M)ayat-ayat Tikus: Sebuah Pelajaran dari Tech Winter

Best Regards, Live Through This, 19 July 2023
Mayat-mayat tikus yang menyambut pagi saya di depan gerbang, menjadi nyanyian "adage" akan banalnya kehidupan.

Membuka gerbang rumah untuk melangkah keluar di pagi hari yang cerah, setiap kita pasti pernah mengalami kagetnya disambut mayat tikus terlindas kendaraan dalam kondisi mengenaskan: Tubuh gepeng, isi perut terburai, lalat mengelilingi.

Setidaknya, hari-hari ini, saya mengalaminya. Mengawali pagi dengan disambut oleh mayat tikus menjadi satu kebiasaan baru yang saya alami. Selain beradaptasi kembali dengan gaya hidup ala writerpreneur, setelah beberapa tahun bekerja di sebuah perusahaan startup. 

Satu hari, sang tikus berlari kencang dengan penuh daya kehidupan. Sedetik kemudian, sudah jadi mayat.

Mirip seperti manusia; satu momen sibuk bekerja, besoknya sudah tidak ada pekerjaan.

Hidup kadang terasa begitu banal dan membingungkan. Ia tak berhenti berputar dan menuntut kita untuk berlari, dan mungkin jika kita tidak bisa mengimbangi perputarannya, kita akan berakhir sebagai tikus gepeng. 

Begitulah hidup. Kadang di bawah, kadang difficult. Kadang di atas, kadang kidding.



***


Ngomong-ngomong soal pekerjaan, ada satu momen di pekerjaan pertama saya, yang begitu berkesan. Kala itu di dapur redaksi sebuah majalah gaya hidup, dua orang desainer grafis bertengkar hebat. Sebut saja yang satu namanya Jupe dan satunya Depe. Kepala tim desainer, Pak Budiman, dituntut oleh manajemen untuk memilih satu yang mau di-PHK dan satu yang mau dipertahankan. Di luar dugaan umat-umat konten kala itu, Pak Budi memilih mempertahankan Jupe. Dalam satu kesempatan, saya mengetahui alasannya: Pak Budi berbelas kasih pada Jupe karena beliau memiliki tanggungan istri dan anak-anak; sedangkan kepada Depe yang masih berstatus single, ia percaya bakatnya akan menuntun ia pada pekerjaan yang lebih baik.

Wow, tidak terpikir oleh saya sebelumnya, pengambilan keputusan di kantor bisa terasa begitu humanis dan pengertian. Kalau seorang Pak Budiman saja begitu pengertian, apalagi sosok Tuhan yang kita agungkan sejak kecil, pasti lebih ultimate pengertianNya. Demikian saya membatin dengan naifnya.

Fast forward ke musim tech winter 2023. Sebagai tulang punggung keluarga merangkap pejuang KPA, setiap hari makanan sehari–hari saya hanya segunung ekspektasi. Hidup lagi susah-susahnya, bahkan sejak memasuki tahun ini, saya tidak bisa saving. Setiap bulan gaji lewat doang bagai terong-terongan yang trek-trekan dekat rumah setiap Jumat sore (kalau dipikir-pikir lagi, bisa jadi inilah suspect di balik mayat tikus gepeng). 

Namun, saya jalani saja semua itu dengan berusaha mengimani kalau “Tuhan mengerti”. Saya pun terus melangkah maju dengan tagline hidup…


Sayangnya, sejenis gelombang rasa putus asa dan kemarahan akhirnya harus saya alami ketika PHK massal menerpa kantor dan saya kebagian jatahnya. 

Kenapa harus sekarang, ketika pengeluaran lagi berat-beratnya?
Kenapa harus terdampak PHK, apakah ada kesalahanku di mata Tuhan?

1001 kenapa berbalut kekesalan pada situasi menenggelamkan pikiran saya...


***

Dan di tengah frustasi hidup inilah, saya bertemu dengan info mengenai Eksperimen Universe 25. 



Eksperimen Universe 25 adalah studi yang dilakukan oleh ilmuwan Amerika bernama John B. Calhoun pada tahun 1960-1970. Eksperimen ini dimulai dengan empat pasangan tikus yang ditempatkan dalam lingkungan yang telah dipersiapkan dengan sumber makanan dan air yang tak terbatas, serta tempat berlindung yang cukup. Lingkungan ini dikenal sebagai "Universe 25" dan dirancang untuk memfasilitasi pertumbuhan populasi tikus yang ideal.

Awalnya, populasi tikus tumbuh dengan cepat, tetapi setelah sekitar 600 hari, pertumbuhan populasi mulai melambat walaupun masih ada banyak sumber daya. Pada hari ke-920, populasi stabil dan tidak tumbuh lagi. Saat ini, banyak tikus mulai menunjukkan perilaku yang tidak normal:

  • Agresivitas Meningkat: Tikus jantan menjadi sangat agresif. Mereka sering kali terlibat dalam pertarungan brutal, yang sering kali berakhir dengan luka parah atau kematian.

  • Ketidakpedulian Terhadap Anak: Tikus betina, yang biasanya sangat protektif terhadap anak-anak mereka, mulai menunjukkan ketidakpedulian. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan melukai atau membunuh anak-anak mereka sendiri.

  • Perilaku Seksual Abnormal: Perilaku seksual tikus juga berubah. Tikus jantan sering kali menyerang tikus betina dan anak-anak mereka tanpa diskriminasi, sementara tikus betina mulai menolak kopulasi dan menunjukkan agresivitas terhadap tikus jantan.

  • Perilaku Sosial Terdistorsi: Beberapa tikus mulai menghindari interaksi sosial sepenuhnya, memilih untuk hidup di daerah-daerah terpencil dari habitat mereka. Tikus-tikus ini, yang disebut "The Beautiful Ones" oleh Calhoun, menghabiskan waktu mereka dengan makan, minum, tidur, dan merawat diri mereka sendiri, tetapi tidak pernah terlibat dalam interaksi sosial atau seksual.

  • Penurunan Fertilitas: Akibat stres dan perubahan perilaku, tingkat fertilitas secara keseluruhan turun. Tikus betina melahirkan anak dengan frekuensi yang lebih rendah, dan banyak anak tikus yang mati muda.

Pada akhirnya, meskipun masih ada cukup sumber daya, populasi tikus mulai menurun drastis dan akhirnya punah dengan sendirinya. Universe 25 yang tadinya ramai, kini kosong melompong. Calhoun berpendapat bahwa ini adalah hasil dari kerusakan sosial yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi yang tidak terkontrol. Eksperimen Universe 25 seringkali dijadikan sebagai ramalan masa depan peradaban manusia, terutama oleh para penganut teori konspirasi yang penuh semangat.

Hidup di negara padat penduduk seperti Indonesia, rasanya mudah banget buat kita untuk jatuh merasa kita hanya seekor tikus tanpa makna di Universe 25 yang sebentar lagi akan kolaps juga. Dan makin hari, mayat tikus di depan rumah itu makin mengering. Seperti semangat hidup saya.



***


HAH!

Saya terbangun kaget di kamar pagi itu. Saya bermimpi sedang bekerja di kantor seperti biasa, lalu terduduk bangun di kamar dengan sebuah rasa hampa. Matahari sudah terang di luar sana. Berbagai pertanyaan menghantui pikiran.

Menggelegak rasa marah saya pada Tuhan. Pekerjaan yang memberi hidup saya makna dan daya, disapu begitu saja. Seakan saya hanyalah angka yang membebani. Hanya satu tikus di tengah kerumunan.

Saya tahu, hanya satu kata yang bisa jadi solusi pikiran ruwet ini: Ikhlas. Namun, satu kata itu adalah hal yang jauh lebih mudah diucapkan daripada dijalankan. “Ikhlaskan Liv, Tuhan adalah adalah gembala yang menyajikan hidangan bagi kita, bahkan di hadapan lawan kita,” ucap seorang kawan sambil menyitir Mazmur 23. “Dan saat ini, lawanmu adalah dirimu sendiri. Pikiranmu sendiri.” 

Dengan peneguhan itu, sedikit demi sedikit, saya mengumpulkan lagi kepingan rencana hidup saya dan merangkainya menjadi mosaik yang baru. Keikhlasan masih loading, belum 100%. Namun, setidaknya saat ini saya sudah teringat bahwa hidup saya sebelum berkantor, sangatlah bermakna. Selama di pekerjaan yang lalu, hidup saya juga bermakna. Dan bersama Tuhan, saya tahu hari depan juga akan bermakna seperti yang sang pemazmur alami dalam Mazmur 23, Paulus (lihat Roma 8:28-30), dan para tokoh iman lainnya yang telah mengakhiri pertandingan iman mereka di dalam Tuhan dengan setia (lihat Ibrani 11).


Satu pil pahit yang sedang berusaha saya telan dengan susah payah adalah, ternyata hidup yang bermakna itu bukanlah hidup yang mudah.

LATEST POST

 

Bagi sebagian besar umat Kristiani, sejujurnya peristiwa Paskah—peristiwa kebangkitan Yesus&md...
by Christian Aditya | 26 Apr 2024

Film siksa kubur resmi tayang pada 11 April 2024, dan sebagai penikmat karya Joko Anwar, kami langsu...
by Ari Setiawan | 16 Apr 2024

Takut tambah dewasaTakut aku kecewaTakut tak seindah yang kukiraIgnite People, penggalan lirik lagu...
by Emmanuela Angela | 10 Apr 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER