Feeling vs. Logic

, What's Next, 11 November 2021
"Berfilsafat itu sebenarnya biasa kita lakukan, kok. Hanya dengan bertanya, "Kenapa begini dan begitu?" kita sudah berfilsafat." - seorang teman

Sebagai mahasiswa baru di salah satu universitas yang berlokasi di Kota Pelajar kala itu, Minbi senang sekali untuk mengenali berbagai tempat di dalamnya. Namun, ada satu tempat yang membuat Minbi sempat bertanya-tanya ketika berjalan di koridornya, yaitu bangunan Fakultas Filsafat yang letaknya memang berseberangan dari gedung kuliah Minbi. Salah satu pertanyaan yang muncul di benak Minbi waktu itu adalah, "Ngapain, sih, belajar filsafat? Gunanya buat apa?"

Di luar dugaan, di semester pertama kuliah, Minbi langsung bertemu dengan mata kuliah Filsafat dan Logika yang diampu oleh seorang dosen dari fakultas tersebut. Jujur saja, Minbi pusing setiap kali mendengar kata epistemologi, ontologi, dan aksiologi (karena hanya tiga kata itu yang masih diingat sampai sekarang), tetapi lucunya saat ini Minbi sedang melanjutkan studi di tempat yang juga menggunakan tiga kata tersebut meskipun tidak sesering saat kuliah di semester satu saat itu. Kan, kesel, ya... Dikira nggak akan ketemu sama filsafat, tapi malah bersinggungan dengan yang nggak mau ditemui lagi itu... berasa kayak nggak mau ketemu sama yang pernah menorehkan luka hiyahiyahiya. Menariknya, di momen demikianlah, ada teman Minbi yang berkata, "Berfilsafat itu sebenarnya biasa kita lakukan, kok. Hanya dengan bertanya, "Kenapa begini dan begitu?" kita sudah berfilsafat." Lagipula, bukankah sejak kecil, kita sudah terbiasa untuk bertanya tentang apa saja, misalnya kenapa matahari tidak jatuh, atau kenapa api itu panas, atau kenapa pohon meranggas, dan sebagainya. Artinya, sejak kecil kita sudah berfilsafat, Ignite People, hanya saja dulu kita tidak menyadarinya. Hehe.


"Kenapa harus berfilsafat?"


Pada dasarnya, kita—manusia—diciptakan dengan akal budi (atau logika) dan perasaan, sehingga keduanya bersinergi dalam pengambilan keputusan yang dilakukan. Bagi orang-orang yang kepribadiannya cenderung menggunakan logika daripada perasaan, mungkin akan memandang mereka yang berkebalikan sebagai kumpulan orang yang mudah terbawa perasaan (baper), begitu pula sebaliknya. Namun, benarkah hanya salah satu dari akal budi atau perasaanlah yang bisa memenangkan “pertandingan” ini? Bukankah Tuhan menciptakan kita segambar dan serupa dengan-Nya, ciri khas yang membedakan kita dari makhluk hidup yang lain? Lalu, apakah Dia menciptakan kita hanya untuk berpikir dan merasa saja?

Pada tanggal 18 November ini, kita akan memperingati Hari Filsafat Sedunia. Mungkin saja saat ini ada di antara kita yang berpikir bahwa dengan berfilsafat, maka seseorang akan auto menjadi ateis; atau dengan terlalu mengedepankan perasaan, logika kita akan dibutakan. Padahal bukankah keduanya bisa berjalan beriringan, atau… ini hanya asumsi Minbi belaka? Lalu, bagaimana dengan peran iman di tengah-tengah dunia yang berfilsafat ini?

Yuk, tuangkan kegelisahan Ignite People mengenai logika, perasaan, filsafat, maupun yang berkaitan dengan ketiga hal itu! Mari kita menjadi teman berpikir, merasa, dan beriman~


Salam Filsafat!

Minbi.

 

RELATED TOPIC

LATEST POST

 

Pada kehidupan ini, kita terus membuat memori yang akan tersimpan dalam pikiran dan batin. Tak kala,...
by Jonathan Joel Krisnawan | 20 Jul 2024

Surakarta, 17 Juni 2024 - Musik hymn adalah suatu keragaman karya dalam musik gerejawi yang dic...
by Oliver Kurniawan Tamzil | 12 Jul 2024

⚠️WARNING SPOILER ALERT⚠️Pada film "Inside Out 2", terdapat plot cerita yang menggambarkan...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Jun 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER