Penindasan struktural dapat terjadi dalam berbagai cara: Ada yang dibungkus kekerasan, diskriminasi ataupun agama. Berkaca pada YESUS, yang kita percaya, sudahkah pembebasan menjadi nyata dalam kehidupan kita?
Dalam karya pelayanan-Nya, YESUS kerap kita ingat sebagai penebus dosa umat manusia. Penyaliban dan kebangkitan YESUS, yang baru kita peringati pada Jumat Agung dan Paskah lalu, merupakan peristiwa yang mengingatkan kita, bahwa YESUS telah mati bagi manusia, untuk menebus dosa. Namun, dalam karya pelayanan-Nya selama YESUS hidup, kita juga dapat melihat sisi lain, selain sebagai penebus dosa umat manusia.
Pada beberapa perikop di keempat Injil dalam Perjanjian Baru, YESUS kerap melakukan mukjizat penyembuhan. Beberapa yang mungkin kita ingat antara lain: YESUS menyembuhkan orang kusta, menyembuhkan orang dengan sakit pendarahan, menyembuhkan mereka yang kesurupan, bahkan menyembuhkan/membangkitkan mereka yang sudah mati. Apa sebenarnya yang bisa kita refleksikan dari mukjizat penyembuhan yang YESUS lakukan?
Pertama, YESUS mencoba untuk membebaskan mereka dari keterbatasan dalam menjalani kehidupan. Sakit-penyakit membawa mereka pada keadaan yang sulit melakukan banyak hal, berbeda halnya dengan mereka yang tidak sakit. YESUS hadir agar penghalang itu tidak membatasi seseorang dalam menjalani kehidupannya. Misalkan saja, ketika YESUS menyembuhkan orang buta, keterbatasan penglihatan membawa orang buta tersebut menjadi sulit dalam melakukan kegiatan hariannya. Penglihatan yang YESUS berikan membawa pembebasan secara fisik atau jasmani, bagi orang buta tersebut.
Kedua, YESUS mencoba untuk membebaskan mereka yang sakit dari diskriminasi sosial. Hal ini dapat dilihat, misal ketika YESUS menyembuhkan orang kusta. Penyakit kusta pada saat itu dilihat sebagai penyakit menular. Dengan luka-luka atau borok yang ada, orang lain yang berdekatan dengan penyandang penyakit kusta dapat tertular melalui nanah dari luka atau borok tersebut. Dapat dikatakan bahwa mereka yang menyandang penyakit kusta, mengalami pengasingan dari masyarakat pada umumnya. Melalui mukjizat penyembuhan yang YESUS lakukan pada penyandang kusta, YESUS membawa penyandang kusta yang telah sembuh tersebut, untuk lebih bisa diterima oleh masyarakat. Masyarakat tidak perlu lagi takut untuk bergaul dengan orang kusta yang telah sembuh tersebut, karena sudah tidak ada lagi batasan di antara orang kusta dengan masyarakat. Dengan kesembuhan yang diterima orang kusta tersebut, tidak ada lagi diskriminasi dan tidak ada lagi pandangan buruk dari masyarakat terhadap orang tersebut.
Yang ketiga, YESUS berusaha untuk membebaskan mereka yang sakit dari diskriminasi teologis. Pada masa itu, beberapa penyakit dilihat sebagai sesuatu yang najis atau berdosa, misal perempuan dengan sakit pendarahan (bdk. Imamat 15:25). Perempuan dengan sakit pendarahan justru tidak bisa melaksanakan kegiatan peribadatannya, karena penyakitnya dianggap sebagai sebuah keberdosaan. Kemudian, YESUS datang dan membawa kesembuhan bagi perempuan dengan sakit pendarahan. Dengan kesembuhan yang diterima, perempuan tersebut dapat kembali melakukan kegiatan peribadatannya. Tidak hanya dapat kembali melakukan peribadatannya, perempuan tersebut juga dapat diterima kembali oleh lingkungan religiusnya, karena sudah terbebaskan dari dosa atau kenajisannya. Maka, dapat dikatakan, bahwa mukjizat penyembuhan YESUS membebaskan mereka dengan sakit-penyakit, yang dianggap sebagai kenajisan/keberdosaan.
Dari ketiga hal di atas, secara sosio-historis, dapat dikatakan bahwa mukjizat penyembuhan YESUS tidak hanya membebaskan mereka yang sakit, dalam ranah jasmani, melainkan juga dalam ranah sosial dan teologis. Selain itu, mukjizat penyembuhan YESUS menunjukkan bahwa YESUS memiliki keberpihakkan terhadap kelompok masyarakat kelas dua. Mukjizat penyembuhan yang YESUS lakukan merupakan salah satu bentuk advokasi dan pendampingan bagi kelompok tertindas. Secara tidak langsung, mereka yang memiliki sakit-penyakit tertenu di masa itu, mengalami penindasan struktural secara sosial dan teologis, dalam bentuk diskriminasi yang dikonstruksikan oleh kelompok penguasa (politis ataupun religius) masa itu. Ketika banyak orang berpikir untuk menjauh dari mereka yang sakit kusta karena bisa tertular atau dari mereka yang sakit pendarahan karena najis/berdosa, justru YESUS datang dan mencoba untuk lebih dekat dengan mereka, serta menjawab kebutuhan mereka. Di sinilah dapat terlihat bahwa sebelum YESUS menjawab kebutuhan kesembuhan bagi mereka yang sakit, YESUS terlebih dulu menghancurkan tembok batasan sosial dan religius dengan mereka yang sakit.
Dalam sebagian besar mukjizat penyembuhan yang YESUS lakukan, YESUS tidak langsung ujug-ujug menyembuhkan orang tersebut. YESUS terlebih dulu menanyakan kesediaan orang sakit tersebut, untuk mau disembuhkan. Dapat dikatakan bahwa YESUS tidak memaksakan kehendak-Nya atas diri orang yang sakit tersebut, namun terlebih dulu memberikan ruang pada orang sakit tersebut untuk menyampaikan kebutuhan/keinginan mereka. Pada bagian ini, dapat terlihat sisi demokratis YESUS, di mana YESUS mendengarkan terlebih dulu aspirasi orang yang sakit, baru kemudian membebaskan mereka dari sakit penyakit mereka.
Jadi, apa yang perlu kita lakukan, sebagai murid YESUS KRISTUS, dalam kehidupan kita sekarang? Pembebasan seperti apa yang bisa kita upayakan? Dan siapa yang memerlukan pembebasan yang holistik tersebut? Apakah kita sendiri masih mengalami penindasan jasmani, sosial dan religius tersebut? Atau lebih jauh lagi... apakah kita menjadi pelaku diskriminasi yang ada bagi sekitar kita?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: