"Milenial" Versus "Kolonial"

Best Regards, Live Through This, 29 September 2020
Setiap keluarga adalah unik, yang seringkali keunikan itu sendiri menjadi "salib" yang kita harus pikul.

Keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat, mereka mengadopsi nilai-nilai tertentu yang berlaku di masyarakat. Cara pandang dan pola asuh sebuah keluarga adalah gambaran dari masyarakat itu sendiri.

Masalahnya, perkara nilai di masyarakat sangat dinamis.

Kita belajar dari sejarah bahwa sebuah nilai akan selalu menemukan titik dimana ia tidak lagi relevan dengan zaman. Misalnya, nilai mengenai kesetaraan gender yang membuat wanita tidak lagi menjadi "warga kelas dua" yang hanya boleh mengerjakan tugas domestik di rumah. Wanita juga boleh memiliki pilihan untuk berkarir.

Di sinilah sering menjadi masalah, dan menjadi akar permasalahan konflik yang tidak terelakkan bagi seorang anak yang beranjak dewasa dengan orang tuanya. Lalu, dimulailah "drama" si anak pembangkang dan si orang tua kolot.

https://beachsideteen.com/wp-content/uploads/2019/07/Yelling-At-Teen-Parents-Beachside.jpg

Mengambil istilah sekarang : milenial versus kolonial.

Tidak pernah ada solusi one-size-fits-all untuk sebuah masalah klasik "milenial versus kolonial". Setiap keluarga unik, sama seperti bagaimana mereka mengatasinya juga unik, dan output-nya juga seringkali berbeda-beda.

Generation Gap dan Wawasan Dunia

Kita yang hari ini sudah berusia 20 sampai 30 tahun, baru dua generasi dari generasi yang masih mengenal nama "Hindia Belanda", dan kita mendapat banyak sekali cerita bagaimana kondisi sosial-politik-ekonomi yang berubah-ubah.

Artinya, nilai-nilai warisan "kolonial" tersebut belum benar-benar raib dari orang tua dan kakek-nenek kita, belum lagi nilai warisan Orde Baru selama 32 tahun. Jadi kurang lebih jika usia orang tua kita sekarang 50 sampai 60 tahun, mereka menghabiskan setengah hidupnya di masa Orde Baru.

Tumbangnya Rezim OrBa pun masih belum lebih lama dari masa pemerintahannya

(https://asset.kompas.com/crops/4TUBlpdbiCxBafnGCwf6A-MNipw=/39x0:690x434/750x500/data/photo/2020/09/14/5f5f490da2884.png)

Sementara itu, kita sekarang lahir di era keterbukaan informasi. Jika kita baru berusia 20 tahun, paling tidak setengah dari hidup kita sudah mengenal internet.

Saya tidak ingin menyoroti sisi politik, tetapi kita semua sepakat: setiap masa memiliki nilai-nilai tertentu, memiliki standar moral masyarakat tertentu.

Singkat kata, orang tua kita juga adalah "bentukan" dari sebuah konteks, hasil didikan dari orang tua mereka, guru-guru mereka, dan teman-teman mereka. Barangkali, mereka yang kita sebut "kolot" dan kuno, dulu mungkin pemikirannya revolusioner dan relevan sekali dengan zamannya, dan saya sangat yakin mereka juga pernah berselisih paham dengan orang tua mereka, tak jarang hingga saling bermusuhan, saking kedua belah pihak sama-sama "keras".

Pola Asuh yang Saling Mendewasakan, bukan Mengkerdilkan

Besi Menajamkan Besi, Orang Menajamkan Sesamanya - Amsal 27 : 17

Di budaya Timur, khususnya Indonesia, posisi menjadi orang tua itu sangat powerful, bahkan saking powerful-nya, sampai rentan abusive. Abusive parents tidak selalu yang memukul anaknya, tapi bisa dimulai dari mengkerdilkan peran anak, hingga memainkan narasi durhaka saat terpojok.

Kisah legenda Malin Kundang tentang "anak durhaka" seringkali disalahgunakan orang tua untuk merepresi anak supaya menuruti keinginannya.

( https://histori.id/wp-content/uploads/2017/11/malin-kundang.jpg )

Kita sering mendengar "Orang tua selalu menginginkan yang terbaik buat anaknya"

Betul, tetapi orang tua juga harus menyadari bahwa keinginan orang tua dan keinginan anak belum tentu sejalan. Meski sedarah dan memiliki hubungan biologis, tetap saja sudah beda zaman. 

Mungkin dulu orang tua ingin anaknya jadi PNS, tetapi sekarang banyak yang lebih memilih "jalan ninja" lain, seperti memulai usaha kecil-kecilan, berkarir di perusahaan swasta, atau memulai sebuah start up digital.

Orang tua tidak salah menginginkan anaknya jadi PNS, tetapi anak juga tidak salah mempunyai cita-cita sendiri. Oh, tentu saja berlaku juga urusan menikah. Tidak sedikit orang tua yang gelisah karena anaknya tak kunjung menikah, padahal siapa tahu memang anaknya tidak tertarik untuk menikah? Hanya, anak kadang takut untuk mengungkapkannya.

Di sisi lain, seorang anak juga harus paham bahwa orang tua kita "seperti itu" karena ada latar belakang yang mendahului. Mungkin trauma masa lalu, didikan kakek-nenek kita, atau peristiwa-peristiwa lain. Anak walau sudah dewasa, tetap perlu show some respect dan juga tidak mengkerdilkan peran orang tua dalam membesarkan mereka.

Yang penting di sini adalah empati masing-masing pihak dan keterbukaan pikiran dalam berdialog. Dalam dialog, perdebatan kadang tak terelakkan, tapi konflik kecil-kecil yang terlihat jauh lebih baik, dan lebih menumbuhkan, daripada kedamaian semu dengan asas "males ribut" hanya karena mempertahankan ego masing-masing.

LATEST POST

 

Bila hati terasa berat Tak seorang pun mengerti bebanku Kutanya Yesus Apa yang harus kuperbuat  ...
by Yessica Anggi | 22 Mar 2024

Entah mengapa, tapi ego itu begitu menggoda diri manusia. Ego untuk menguasai, untuk menja...
by Markus Perdata Sembiring | 19 Mar 2024

Keraguan adalah salah satu hal yang sering terjadi di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Keraguan...
by Immanuel Elson | 14 Mar 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER