Suatu hari ketika perjalanan kita berakhir, sudahkah kita menghidupi tujuan dan kehendak Allah dalam hidup kita?
Izinkan saya berbagi sedikit cerita dan perenungan selama lockdown Covid-19 yang saya alami di Australia.
Sudah hampir 20 tahun saya menetap di kota Sydney, Australia. Seperti banyak negara lain di dunia, Australia juga tidak terhindar dari dampak wabah Covid-19. Lockdown di Australia membawa pengaruh yang sangat besar khususnya secara ekonomi. Sebulan pertama lockdown, diperkirakan sejuta orang kehilangan jam maupun shift pekerjaan, dirumahkan (stood down) dan bahkan di-PHK. Pemandangan ribuan orang yang antre di kantor Centrelink (semacam dinas sosial) untuk menerima tunjangan pemerintah, menjadi reality check skala kerusakan ekonomi akibat Covid-19.
Lockdown juga berimbas pada kesehatan mental banyak orang di Australia. Selama bulan April, diperkirakan sejuta orang menghubungi dokter untuk konsultasi masalah mental (stress, panic attack, depresi, insomnia, dan sebagainya). Dalam kurun waktu yang sama, beberapa organisasi yang menolong orang yang mengalami permasalahan mental - termasuk keinginan untuk bunuh diri (suicidal thoughts) - seperti Beyond Blue, Lifeline Australia dan sebagainya, juga mengalami lonjakan permintaan konseling sebesar 40-60%. Kids Helpline, yang menolong anak-anak Australia menghadapi permasalahan mental, domestic abuse dan sebagainya juga meningkat sebesar 25% (disinyalir angka KDRT meningkat tajam selama lockdown ini). Hal-hal ini hanyalah sebagian kecil dari dampak Covid-19 di Australia.
Setiap krisis memiliki dua sisi: Fisik (yang kelihatan) dan rohani (yang tidak kelihatan). Sebagai orang percaya, sangat baik jika kita dapat melihat sisi yang kelihatan. Namun jangan lupa juga dengan sisi yang tidak kelihatan. Lantas hikmah rohani apakah yang patut kita renungkan melalui Covid-19 ini?
Bagi saya pribadi, wabah Covid-19 mengingatkan saya kembali akan sebuah identitas orang percaya yang barangkali sudah asing dan jarang terdengar yaitu identitas kemusafiran.
1 Petrus 2:11 berkata “…aku menasehati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau…”
1 Petrus 1:17 berkata “…selama kamu menumpang di dunia ini….”
Kata pendatang, perantau dan penumpang menunjuk pada satu identitas orang percaya: bahwa kita adalah musafir (pilgrim) di dunia ini. Pemahaman kita akan identitas kemusafiran ini akan membuat kita menghayati beberapa kebenaran penting sebagai berikut.
Pertama, bahwa dunia ini bukanlah rumah kita yang sesungguhnya. Sesuatu yang Rasul Paulus pun pernah ingatkan ketika ia menulis bahwa “…kewarganegaraan kita ada di dalam sorga” (Filipi 3:20). Dilihat dari sisi rohani, bagi orang percaya wabah Covid-19 ini seperti "bisikan" dari sorga yang mengingatkan kita bahwa rumah kita bukanlah di dunia ini. Rumah kita berada di surga. Di dunia ini semuanya fana (vain, sia-sia – Pengkotbah 1:2), rapuh (fragile, seperti uap – Yakobus 4:14) dan tergoncangkan (Ibrani 12:26-28).
Kedua, bahwa kita ada dalam sebuah perjalanan. Kita ini adalah pendatang (paroikous) dan perantau (parepidemous) dalam sebuah perjalanan. Dalam buku “The Pilgrim’s Progress”, John Bunyan menulis:
“We are pilgrims; we’re just passing through this world…every one of us is upon pilgrimage, from the cradle to the grave.” (Kita semua adalah musafir; kita hanya lewat di dunia ini…setiap dari kita ada dalam sebuah perjalanan, dari sejak lahir sampai matinya).
Dan sebuah perjalanan tidaklah pernah tetap. Dalam perjalanan kita selalu bergerak. Seperti Abraham dan kemahnya (Ibrani 11:9) yang tidak pernah berhenti bergerak dari Ur Kasdim ke Haran dan dari Haran ke negeri yang dijanjikan itu, begitu juga hidup kita sebagai seorang musafir. “Mentalitas kemah” harus kita miliki. mudah bongkar, mudah pasang, mudah move on. Mudah bergerak dan mengikuti pimpinan Tuhan, mudah melepas dan merelakan. Tidak selalu harus menahan dan memegang kuat-kuat. Tidak terlalu ‘attached’ dengan sekeliling kita.
Ketiga, bahwa perjalanan kita ada akhirnya. Dalam rentang waktu kekekalan, perjalanan kita di dunia sangatlah singkat.
Masa hidup kita 70 tahun, jika kuat 80 tahun
(Mazmur 90:10).
Namun yang "singkat" ini akan menentukan yang kekal. Rick Warren berkata bahwa hidup adalah ‘a preparation for eternity’ (persiapan kekekalan). Sejak seorang bayi lahir ke dunia, hitungan mundur menuju kematian dimulai. Perjalanan kita di dunia ada ujungnya, Ada garis finish-nya. Dan yang terpenting bukanlah berapa lama kita hidup, melainkan bagaimana kita hidup dalam perjalanan kita yang singkat ini. Yang singkat ini akan menentukan yang kekal.
Penghayatan kita akan tiga hikmah kehidupan ini, akan memberikan kita sebuah perspektif yang baru. Yaitu cara pandang yang berbeda. Kesusahan kita tidak sebesar yang kita duga. Penderitaan kita juga tidak se-permanen yang kita sangka. Sebaliknya, kesenangan dunia juga tidak seheboh yang kita kira. Selama lockdown ini, yang diambil dari hidup kita tidak akan kita cari-cari di dunia mendatang. Yang berhasil kita genggam kuat-kuat pun tidak akan kita bawa ke rumah sejati kita nanti.
Pemahaman akan prinsip kemusafiran orang percaya akan menggugah sebuah hasrat dari dalam diri kita untuk menyederhanakan kehidupan kita (simplify our life) yang akan dibahas dalam tiga poin:
1) Simplify Our Priorities
Covid-19 adalah kesempatan untuk kita berkaca, hal-hal apa yang selama ini kita kejar, cari dan fokuskan. Apakah kita mencari hal-hal yang tak tergoncangkan, atau yang tergoncangkan? Hal-hal yang berharga, atau yang kurang berharga? Hal-hal yang kekal, atau yang sementara saja?
2) Simplify Our Possessions
Mobil mewah? Tas branded? Perhiasan mahal? Apakah hal-hal ini membuat perbedaan selama lockdown ini? Mungkin kita perlu belajar dari Marie Kondo dengan tips-tipsnya untuk menyingkirkan barang-barang yang sebenarnya tidak kita perlu namun telah kita timbun bertahun-tahun. Atau lebih baik lagi, kita perlu belajar dari Guru Agung kita. Ia berkata,
"Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi…kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.” (Matius 6:19-20).
3) Simplify Our Purpose
Perspektif kemusafiran juga akan mendorong sebuah kerinduan dalam diri kita, untuk menyederhanakan tujuan-tujuan kita. Tuhan tidak pernah memanggil kita untuk melakukan semuanya. Tuhan memanggil kita untuk melakukan paling tidak sesuatu, tapi kita lakukan semaksimal mungkin – untuk kemuliaanNya. Perjalanan kita singkat. Suatu hari akan berakhir. Waktu kita tidak banyak. What is your purpose in life? Wejangan Dwight Moody barangkali bisa membantu kita mengevaluasi mimpi-mimpi dan ambisi-ambisi kita: “Our greatest fear should not be of failure, but of succeeding at something that doesn't really matter” (Ketakutan terbesar kita seharusnya bukan takut gagal, tapi takut berhasil dalam sesuatu yang sebenarnya tidak berarti apa-apa).
Suatu hari ketika perjalanan kita berakhir, sudahkah kita menghidupi tujuan dan kehendak Allah dalam hidup kita? Doa saya, supaya perkataan Alkitab tentang Daud juga berlaku dalam kehidupan kita:
“Sebab Daud melakukan kehendak Allah pada zamannya, lalu ia mangkat…”
(Kisah Para Rasul 13:36a).
Soli Deo Gloria! Tuhan Yesus memberkati!
Sydney, Australia
Mei 2020
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: