When I (am) Trust(ed)

Best Regards, Live Through This, 07 May 2019
Tidak ada yang instan di dunia ini, termasuk masalah kepercayaan. Semua membutuhkan proses, dan proses itu terkadang menyakitkan kita. Tapi dengan pertolongan Tuhan, kita akan semakin diperlengkapi untuk menjadi saluran berkat-Nya.

Di kampus X, terdapat obrolan hangat tentang A yang baru saja ditembak oleh C, salah satu gitaris yang terkenal di jurusan mereka.

“Duh, aku ditembak C, nih!” – A

“Masa sih!? Ah, bohong kamu!” – B

“Eh, aku serius! Tiba-tiba dia itu ngajakin aku ketemuan di perpustakaan coba. Terus dia nembak di situ, sambil kasih surat cinta.” – A

“Heee?? Padahal setahuku si C masih pacaran sama D, lho.” – B

“Nah, makanya itu. Eh, tapi jangan cerita soal ini ke siapa-siapa ya. Kalo itu sampai kesebar sejurusan, aku bisa dimusuhin banyak orang.” – A

“Oke siap!” – B

“Janji, lho!” – A

“Iya!” (sambil mengangguk mantap) – B


Photo by Lucrezia Carnelos on Unsplash


Di tempat lain, E dan F sedang membicarakan keuangan dalam komisi pemuda di mana mereka bersekutu.

“E, jangan lupa buat kasih uang persembahannya ke kantor gereja, ya!” -- F

“Oke, F!” – E

Jangan lupa, lho. Nanti kaya’ bulan lalu. Kamu malah lupa hehe.” – F

“Ah, apaan sih -.- Itu beneran lupa, tahu. Maaf, deh. I promise I won’t do it again.” – E


--**--


Pernah mengalami hal yang sama dengan dua cerita di atas? Nah, bagaimana reaksi kita ketika berada di salah satu posisi empat tokoh itu—baik sebagai orang yang mempercayakan sebuah cerita maupun yang dipercaya?

Ketika kita menceritakan rahasia kita pada orang lain, kira-kira apa saja ‘kriteria’ seseorang yang pantas untuk kita percayai dapat menyimpan rahasia itu? Sebaliknya, ketika kita yang diberikan kesempatan untuk menyimpan rahasia, apa kita akan benar-benar menyimpan rahasia itu dengan baik? Tidak membocorkannya pada orang lain?

Sekarang cerita yang kedua. Bagaimana rasanya ketika kita dinilai tidak bertanggung jawab terhadap tugas kita? Pasti rasanya nyebelin, kan? Merasa “Kok, aku disepelein sih?” Sebaliknya, sewaktu ada orang yang lalai dalam tanggung jawabnya, bagaimana dengan perasaan kita? Kecewakah? Marahkah? Atau kita malah berkata dengan nada menyalahkan, “Lho, kamu dikasih kepercayaan buat ngerjain tapi kok, malah jadi gini!”


Photo by Bernard Hermant on Unsplash 


Secara manusiawi, reaksi-reaksi seperti itu wajar, kok. Tentu sebagai manusia, kita sering merasa kesal saat dianggap menyepelekan kepercayaan orang lain—padahal kenyataannya tidak. Kita pun pasti pernah merasa kecewa saat orang yang kita nilai dapat dipercaya untuk menyimpan rahasia, ternyata justru menyebarkannya pada orang lain. Tapi, tidak jarang kita merasa ragu-ragu saat mempercayai seseorang (dalam hal apapun, termasuk tentang tanggung jawab dan rahasia pribadi).

Kenapa bisa begitu? Karena sebagai manusia, kita juga memiliki sisi kecurigaan, di mana itu membuat kita merasa ragu-ragu untuk mempercayai orang lain. Bukan cuma itu, kita juga memiliki sisi ingin bisa dipercaya.

Alkitab memang tidak mendefinisikan secara eksplisit bagaimana kita harus menjadi orang yang dapat dipercayai, maupun bagaimana kita dapat mempercayai seseorang. Tapi ada beberapa bagian dalam Alkitab yang membahas tentang hal itu.


Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.

(Keluaran 20:16)

Photo by Ben White on Unsplash 


Ingin menjadi orang yang bisa dipercayai? Caranya mudah. Jangan berbohong. Siapa yang tahu kebenaran perkataan kita selain kita sendiri dan Tuhan? Kecuali kalau orang lain cross-check tentang apa yang kita katakan. Sudahkah kita berbicara jujur? :)

Saya teringat dengan sebuah matakuliah di semester tiga lalu, yaitu Asesmen Dasar. Salah satu materinya adalah membahas tentang perilaku seseorang. Dari hal tersebut, kita bisa menilai apakah orang tersebut berkata jujur atau tidak. Kalau dia menghindari tatapan kita, hanya ada dua kemungkinan: dia malu-malu, atau dia berbohong. Selain itu, kalau dia berpikir cukup lama atas sebuah tanggapan kita dari perkataannya, hati-hati. Bisa jadi dia bohong. Oleh karenanya, kita perlu berefleksi: Sudahkah kita berkata-kata dengan jujur, atau jangan-jangan selama ini apa yang kita sampaikan adalah kebohongan (yang lebih parah lagi: kita berbohong untuk memperoleh popularitas sesaat)?



Siapa mengumpat, membuka rahasia, sebab itu janganlah engkau bergaul dengan orang yang bocor mulut.

(Amsal 20:19)


Photo by Jony Ariadi on Unsplash 


Ketika dipercayai seseorang tentang sebuah rahasia, maka kita harus menjaga kepercayaan itu. Menjadi orang yang ‘ember’ itu lebih banyak nggak enaknya. Susah punya teman, dianggap tukang gosip, dan sebagainya. Sebaliknya, kita pun harus selektif saat mempercayakan sebuah rahasia kepada keluarga, teman, maupun pembimbing kita. Mungkin ada bagian yang tidak bisa kita ceritakan kepada mereka karena kita takut hal itu bisa menjatuhkan nama baik kita. It’s okay, ceritakan saja sebisa kita. Tetapi lain hal kalau yang kita ceritakan adalah kebohongan, ya. Orang lain pun juga bisa malas untuk mendengarkan perkataan kita yang hanya berisi manipulasi belaka.



Belalah perkaramu terhadap sesamamu itu tetapi jangan buka rahasia orang lain...

(Amsal 25:9)


Saya membayangkan, apa yang akan terjadi kalau seandainya (amit-amit, jangan sampe kejadian, ya!) saya keceplosan mengungkapkan sebuah rahasia yang dimiliki teman saya untuk membela diri sendiri? Kemungkinan besar, saya akan dianggap sebagai orang yang tidak dapat dipercaya lagi; egois, karena saya menggunakan rahasia orang lain untuk kepentingan diri sendiri.

Tentu saja, orang-orang menganggap bahwa saya adalah orang Kristen abal-abalan. “Katanya harus jaga rahasia. Lah, kamu aja dipercayai nggak bisa. Gimana sih? Orang Kristen kok, gitu?”. Duh, malu rasanya kalau sampai nama Tuhan jadi tidak dipermuliakan karena kecerobohan saya itu.


Photo by Shuto Araki on Unsplash


“Gimana kalo orang lain nggak percaya sama yang kita omongin? Padahal yang kita omongin itu bener, lho...”

Caranya hanya satu: prove it! Buktikan perkataan kita bahwa itu benar. Tentu ini bukan hal yang mudah untuk kita lakukan, apalagi kalau kita sempat dicap sebagai pembohong dan bukan orang yang bisa dipercaya. Untuk itulah, kita perlu minta pertolongan Roh Kudus, agar setiap yang kita katakan dan lakukan selaras dengan firman Tuhan; sehingga orang lain akan melihat bahwa di dalam hidup kita ada Tuhan yang berkuasa.


Beberapa orang suka berkata, “Iya, sumpah aku nggak bohong”. Pertanyaannya: bolehkah berkata seperti itu? Kalau teman saya bilang (sambil bercanda), “Ngomong pakai ‘sumpah’ itu berarti dari si jahat, lho”. Tuhan Yesus sendiri yang bilang:


Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.

(Matius 5:23)


Kalau ya, ya bilang iya. Kalau tidak, ya bilang tidak. Cara membuktikannya? Buktikan itu! As simple as that, right?


Photo by Allef Vinicius on Unsplash 


“Oke, itu kalo dari sisi yang dipercayai. Tapi gimana kalo buat yang memercayai?”


Selama yang kita katakan itu benar adanya, kita tidak perlu takut. Jangan paranoid. Saya pernah bermasalah dalam hal percaya kepada orang lain. Alasannya adalah karena rahasia saya pernah diumbar di depan banyak orang (dan itu masalah saya-suka-si-A yang adalah orang yang cukup terkenal di sekolah!) Sejak saat itu, saya takut untuk bercerita tentang rahasia saya. Sampai muncul anggapan dalam diri bahwa tempat terbaik untuk rahasia saya adalah hati saya sendiri.

Baru setelah saya mengikuti kelompok pemuridan (KTB), saya banyak ditolong di situ. Orang-orang di dalam KTB juga sedang diproses untuk menjaga rahasia teman-teman yang sedang dimuridkan juga. Dari situ juga, kepercayaan saya kepada orang lain mulai pulih lagi. Saya juga belajar untuk lebih selektif dalam memilih orang yang bisa dipercayai dalam menjaga rahasia saya. Bukan karena tidak bisa percaya kepada semua orang, tapi tidak semua rahasia saya adalah konsumsi umum. Kalau sampai tersebar ke mana-mana, nanti jadi gosip haha.

Tidak ada yang instan di dunia ini, termasuk masalah kepercayaan. Semua membutuhkan proses, dan proses itu terkadang menyakitkan kita. Tapi dengan pertolongan Tuhan, kita akan semakin diperlengkapi untuk menjadi saluran berkat-Nya. Kita akan dimampukan-Nya untuk dapat mempercayai dan dipercaya oleh orang lain. May the people who trust us will see God’s face from our lives! Amen!



Treat others in the same way that you would want them to treat you.

(Luke 6:31 – New English Translation)

LATEST POST

 

Bila hati terasa berat Tak seorang pun mengerti bebanku Kutanya Yesus Apa yang harus kuperbuat  ...
by Yessica Anggi | 22 Mar 2024

Entah mengapa, tapi ego itu begitu menggoda diri manusia. Ego untuk menguasai, untuk menja...
by Markus Perdata Sembiring | 19 Mar 2024

Keraguan adalah salah satu hal yang sering terjadi di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Keraguan...
by Immanuel Elson | 14 Mar 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER