Corona, antara Waspada dan Gegabah: Tanggapan terhadap Artikel - "AWAS CORONA!!! Dilarang Bersalaman di Gereja"

Best Regards, Live Through This, 13 March 2020
Hal yang tidak saya setujui adalah kekakuan dalam beragama. Misalnya, hanya jabat tangan secara fisik adalah cara yang benar dalam salam damai di ibadah.

Penulis artikel "AWAS CORONA!!! Dilarang Bersalaman di Gereja" tidak setuju dengan pelarangan salaman yang dilakukan beberapa gereja. Pada artikel ini, saya ingin menuliskan beberapa hal ketidaksetujuan saya pada penulis anonim tersebut. Saya akan mencoba melihat beberapa argumen penulis dan akan menjelaskan ketidaksetujuan saya. 

Bukan berarti saya ingin menstigma dan menghindari orang-orang yang terkena penyakit. Sebagai pengikut Kristus kita harus menjadi sahabat bagi semua orang. Hal yang tidak saya setujui adalah kekakuan dalam beragama. Misalnya, hanya jabat tangan secara fisik adalah cara yang benar dalam salam damai di ibadah. Sedangkan, namaste dan salam dada adalah keliru. Semua dinilai secara biner, hitam dan putih, benar dan salah.



Menurut saya, berjabat tangan secara fisik bukanlah hal wajib apalagi mutlak harus dilakukan oleh semua orang Kristen. Apalagi, dalam kondisi seperti saat ini, akan lebih baik untuk mengurangi kontak fisik. Argumen saya didasarkan pada, i. budaya salam beragam macamnya, ii. Secara teologis, masih banyak hal yang bisa dilakukan selain berjabat tangan, dan iii. Apakah dengan mengganti jabat tangan dengan hal lain, berarti kita bukan lagi orang Kristen? Apakah dengan tidak berjabat tangan maka akan ada rasa curiga bahkan menjauhkan persekutuan kita?

Saya akan mencoba memberikan beberapa data dan fakta. Pertama, Gereja Shincheonji berperan besar dalam wabah corona di Korea Selatan. Sekitar 60% orang yang positif berasal dari gereja ini. Kedua, kita bisa lihat ledakan wabah yang sedang terjadi di Italia, Iran dan Korea Selatan.


Anda bisa melihat statistik lengkapnya pada BBC maupun New Yorker.

Dalam liputan Vice pun dikutip pernyataan-pernyataan dari seorang dokter di Italia:
Let's stop saying it's a bad flu,” “The war has literally exploded and battles are uninterrupted day and night."

I understand the need not to panic, but when the message of the danger of what is happening does not reach people… I shiver.” 

“We must spread the word to prevent what is happening here from happening all over Italy.”

Jika Anda tertarik dengan data, tabel dan analisis, Anda bisa klik pada webiste Our World in Data dan Medium untuk informasi lebih lanjut. Apakah data dan fakta di atas harus kita abaikan?


Saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai penyebaran virus ini. Mari kita melihat argumen dari penulis anonim. Penulis anonim berpendapat bahwa “Melarang bersalaman dalam tubuh gereja tak ubahnya melantangkan ketakutan dan kecurigaan dalam liturgis ibadah.… Baru bersalaman saja kita sudah takut, lalu bagaimana kita yang dianggap sebagai pengikut Kristus ini dapat disebut layak sebagai orang Kristen?”

Penulis anonim tersebut menuliskan beberapa argumen pendukung.  Pertama, penulis menjelaskan secara alkitabiah bahwa salaman adalah tanda peneguhan atau sesuatu yang serius serta tanda persekutuan atau persahabatan. Kedua, ia menjelaskan bahwa jabat tangan menjadi tradisi umat Kristen sebagai “salam damai”. Bahkan, salaman bisa dilakukan berkali-kali sejak sebelum sampai sesudah ibadah di Gereja Kristen Indonesia. Ketiga, ia memberi contoh Bunda Maria dan Yesus yang menolong dan bergaul dengan orang kusta. Keempat, ia menuliskan bahwa kuatir disertai curiga bahkan fitnah, bukan ciri orang beriman. Kelima, ia menyebutkan bahwa Kristen berarti tidak khawatir akan hidup dan mati, apalagi jika Tindakan itu menjauhkan dari sesama.



Pertama, walaupun jabat tangan memiliki arti positif dan tercatat di Alkitab, hal itu tidak berarti kita harus selalu berjabat tangan. Banyak hal lain yang tercatat dan tidak dilakukan pada setiap ibadah. Misal, Yesus membasuh kaki muridnya dan Rasul Paulus menulis surat kepada jemaat-jemaat untuk menunjukkan tanda persekutuan dan persahabatan. Tidak setiap ibadah kita membasuh kaki dan menulis surat. Raja Daud diurapi Nabi Samuel dan Yesus dibaptis Yohanes sebagai tanda peneguhan dan sesuatu yang serius. Tetapi, kita tidak setiap ibadah diurapi minyak atau dibaptis. Begitu banyak tokoh Alkitab yang sujud kepada Allah. Tetapi, tidak ada gerakan sujud di liturgi kita. 

Kedua, Jabat tangan adalah tradisi umat Kristen. Pertanyaan saya kepada penulis tersebut adalah, apa yang menjadikan berjabat tangan secara fisik adalah hal mutlak yang harus dilakukan pada salam damai? Apakah tradisi bersifat statis? Padahal, sepengetahuan saya salam di setiap budaya berbeda-beda. Pada saat saya di Papua, kami biasa bersalaman dengan menjentikkan jari sesama kami, juga memegang lengan, tidak hanya telapak tangan. Ketika di Sumba, kami bersalaman dengan cara saling menempelkan hidung kami. Di Manado, kami bersalaman dengan cium pipi kanan dan kiri.


Lalu, apa pula yang salah dari Namaste? Padahal, arti dari kata namaste adalah "I bow to the divine in you" yang kalau kita Kristenkan bisa kita artikan sebagai “Aku melihat Allah dalammu”. Kurang keren dan rohani apa lagi dari salam ini?


Ketiga, perubahan atau perbedaan dalam liturgi itu lumrah terjadi. Baptis? Mulai dari percik, selam di kolam renang, di sungai yang mengalir, dicelup, dll. Roti dan anggur perjamuan kudus? Ada yang pakai roti dan anggur, ada yang pakai singkong dan sofi, ada yang pakai bandrek dan kue lainnya. 

Jika Anda setiap minggu mengunjungi satu sinode gereja, maka Anda bisa melihat perbedaan dari ibadah setiap sinode itu. Katolik, Ortodoks, Calvin, Luther, Advent, Baptis, Menonite, Anglikan, ……… dst. Anyway, ada sekitar 38.000 sinode gereja di dunia ini, jadi Anda akan membutuhkan waktu sekitar 730 tahun sebelum bisa mengunjungi semua sinode. 

Keempat, pada saat Bunda Theresa hadir di India sejak 1940an dan aktif melayani orang-orang yang terpinggirkan pada 1950, obat kusta sudah ditemukan sejak 1940. Kelima, mengenai kekhawatiran dan curiga. Pertanyaan saya kepada penulis, apakah dengan menghilangkan jabat tangan, para anggota jemaat akan saling menuduh, curiga dan memfitnah? Keenam, pendapat penulis mengenai tidak khawatir akan hidup dan matinya. Apakah dengan menjaga kehidupan, kita akan menjauhkan diri dari sesama dan mengurangi Kekristenan kita?



Saya sempat bertemu dengan beberapa penginjil pada tahun 2016. Beberapa teman dari Cina bercerita jika mereka melakukan ibadah secara sembunyi di rumah-rumah. Seorang teman dari Niger bercerita pada saat remaja ia adalah kelompok anti Kristen yang berusaha memburu dan membunuh orang Kristen. Ketika ia menjadi Kristen, ia dijadikan budak selama 5 tahun oleh keluarganya. Setelah ia kabur, ia menjadi penerjemah Alkitab, keliling ke desa-desa dan melakukan mengabarkan Injil secara diam-diam. Bahkan, pada saat itu, kami tidak bisa berfoto bersama, karena ia takut fotonya tersebar dan ia akan ditangkap. Mereka semua takut mati dan ditangkap. Tapi apa mereka bukan orang Kristen? Apa kewaspadaan menjadikan mereka tidak layak disebut sebagai pengikut Kristus?

Kiranya kita bisa membedakan antara waspada dan gegabah. Semoga kita juga bisa melihat bahwa tidak semua hal adalah hitam dan putih, benar dan salah, tetapi ternyata masih ada banyak warna lainnya. Kalau kata seorang pimpinan gereja di Indonesia ini, sindrom “main kurang malam, ngopi kurang jauh”.


LATEST POST

 

Film siksa kubur resmi tayang pada 11 April 2024, dan sebagai penikmat karya Joko Anwar, kami langsu...
by Ari Setiawan | 16 Apr 2024

Takut tambah dewasaTakut aku kecewaTakut tak seindah yang kukiraIgnite People, penggalan lirik lagu...
by Emmanuela Angela | 10 Apr 2024

GetsemaniDomba putih di penghabisan jagal Merah kirmizi di kandungan sengsara atas cawan yang kesumb...
by David Ryantama Sitorus | 10 Apr 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER