In Memoriam: Perfectionist

Best Regards, Live Through This, 11 March 2020
Ingat bahwa kasih Tuhan bagi diri kita adalah tanpa syarat. Ingat bahwa salib sudah menandakan segala perbuatan dan pengorbananNya lebih dari cukup. Seluruh tubuh kita sudah ditebus lunas. His grace is enough and sufficient for me. For us. So, we can say "In Memoriam: Perfectionist".
Sebenarnya dalam beberapa hal, mamaku bukanlah seseorang yang perfeksionis. Contohnya, barang-barang di rumah tidak begitu tertata rapi dan tidak selalu berada di tempatnya. Namun, dapat kukatakan bahwa ia cukup kesulitan menerima jika kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasinya. Sebagai contoh, saat aku berada di kelas 2 SMP, aku ingat sekali kalimat pertama yang ia tuturkan saat aku mendapat juara 3. "Kamu gak belajar ya, main-main terus yah." Sebab, di caturwulan sebelumnya aku mendapat juara 1. Kalimat ini cukup membekas dan menggores hatiku hingga dewasa.

Contoh lainnya, saat aku terjatuh dari motor atau saat aku sakit. "Kamu gak hati-hati sih, mungkin kamu kurang tidur, jadinya lemah dan sakit."

Bisa dilanjutkan contoh-contoh lainnya, jika aku menghilangkan barang, uang, atau merusakkan benda, seperti harus ada subjek untuk disalahkan. Kalimat-kalimat ini terasa cukup menyakitkan karena aku merasa tidak mendapat penghargaan dan perhatian di balik kejadian-kejadian yang tidak diharapkan terjadi. Seolah tidak ada ruang maklum dalam berbuat kesalahan. Hal ini membuat aku memiliki banyak guilty feeling yang terpendam dan ketakutan jika melakukan kesalahan.

Dampak lainnya, secara tidak sadar, aku pun menjadi pribadi yang menuntut diri dan orang lain.

Ada satu waktu aku bisa begitu terganggu dengan sikap kakakku yang meletakkan handuk sembarangan. Atau aku bisa sangat marah dan menyesal saat aku atau orang lain melakukan kesalahan. Aku juga sering tidak rela jika nilai akademisku menurun. Bahkan, aku bisa sangat kecewa jika orang lain terlambat atau membatalkan janji karena jadwalku jadi berubah.

Struggling ini semakin memuncak ketika aku memiliki pasangan. Semakin banyak kondisi yang membuat aku menjadi pribadi menuntut. Aku menuntut pasanganku untuk mendengarkanku, mengerjakan yang seharusnya sesuai permintaanku, menolongku untuk melakukan ini dan itu, dan lain sebagainya. Tidak jadi soal jika aku meminta pertolongan padanya, namun yang jadi soal adalah jika aku menjadi sangat marah dan kecewa kalau ia tidak menolongku sesuai dengan cara dan standarku. Banyak sekali penolakan-penolakan yang terasa begitu menyakitkan, padahal sesungguhnya ia hanya menolak permintaanku, bukan pribadiku.

Hingga satu titik, aku sendiri merasa begitu tertekan, mempertanyakan mengapa aku sulit move on dari kekecewaan demi kekecewaan. Aku sangat lelah dengan standar yang begitu tinggi ini. Mengapa aku sangat menuntut orang lain dan menuntut diriku sendiri? Mengapa aku harus marah dan membuang energiku tatkala orang lain melakukan sesuatu di luar ekspektasiku?

Di sisi lain.. 
Aku terheran dengan respon pasanganku yang memberikan ruang terhadap kesalahan demi kesalahanku. Ia memaklumi saat aku lupa membawa kunci atau benda penting lainnya, ia berkata tidak apa-apa jika aku memecahkan piring tanpa sengaja, ia tetap menyayangiku meskipun aku melakukan banyak kesalahan, bahkan ia lebih mengkhawatirkan kondisiku dibandingkan objek-objek itu... ia tidak menuntutku menjadi pribadi yang sempurna, tanpa salah, tanpa cacat.

Aku semakin malu dan merasa bersalah dengan diriku sendiri. Tidak seharusnya aku seperti ini.

Lalu, aku mulai memaknai dan mengalami kasih Tuhan melalui pribadinya.

Tuhan sendiri mengasihiku TANPA SYARAT.
Dan, Tuhan juga mengasihi orang lain TANPA SYARAT.
Kuberanikan diri untuk mengatakan bahwa aku mulai diubahkan. Tidak bisa 100%. Tidak bisa 180°. Kecenderungan untuk menuntut itu selalu ada. Kekecewaan saat kondisi yang tidak diharapkan terjadi itu tetap ada. Namun, setidaknya, aku bisa move on lebih cepat. Aku bisa menjadi pribadi yang lebih fleksibel. Aku mulai terbiasa untuk tidak menuntut. Aku menyampaikan harapanku, namun aku berusaha untuk tidak menuntut. Artinya, jika ia/orang lain tidak melakukan apa yang aku harapkan, aku tidak perlu marah sampai membatin. Aku tetap melakukan bagianku dengan sebaik-baiknya. Aku tidak perlu menetapkan kata "harus" yang sedemikian rupa pada diri sendiri dan orang lain.

Jadi, barangsiapa yang mungkin memiliki pengalaman serupa, ini catatan terakhirku:

Betul bahwa Allah sesungguhnya memiliki standar yang sempurna,
Betul bahwa anak Tuhan harus memancarkan hal-hal baik sebagai kesaksian,
Betul bahwa orang percaya harus menyatakan kasih...

Namun, standar dan perbuatan-perbuatan itu tidak seharusnya dipandang sebagai sebuah upaya "pencapaian". Sebab tak seorangpun sanggup.

Ingat bahwa kasih Tuhan bagi diri kita adalah tanpa syarat. Ingat bahwa salib sudah menandakan segala perbuatan dan pengorbananNya lebih dari cukup. Seluruh tubuh kita sudah ditebus lunas.

His grace is enough and sufficient for me. For us.
So, we can say "In Memoriam: Perfectionist".
LATEST POST

 

Film siksa kubur resmi tayang pada 11 April 2024, dan sebagai penikmat karya Joko Anwar, kami langsu...
by Ari Setiawan | 16 Apr 2024

Takut tambah dewasaTakut aku kecewaTakut tak seindah yang kukiraIgnite People, penggalan lirik lagu...
by Emmanuela Angela | 10 Apr 2024

GetsemaniDomba putih di penghabisan jagal Merah kirmizi di kandungan sengsara atas cawan yang kesumb...
by David Ryantama Sitorus | 10 Apr 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER