Hidup Melawan Polusi Spiritual

Best Regards, Live Through This, 04 November 2019
Kalau kita yang bukan siapa-siapa ini sudah dipercayai dengan sebuah kehidupan, masa iya kita tega memberi hati kepada hal-hal yang mendukakan Allah?

Pertama kali saya menjejakkan kaki di Guang Zhou, saya terkejut mendapati langitnya yang berwarna kelabu. Boro-boro bisa menikmati pemandangan gedung pencakar langit yang berbaris rapi, asap polusi yang pekat bahkan membatasi jarak pandang saat berkendara. “Kok bisa sekotor ini, sih?”  Saya menggerutu dalam hati, “Rasanya Jakarta enggak gini-gini banget, deh.” 

Saat kembali ke tanah air, barulah saya memerhatikan—dan menyadari bahwa, langit Jakarta tidak lebih baik. Bahkan beberapa bulan setelahnya, warga ibukota dibuat heboh dengan angka AQI (Air Quality Index) yang mengkhawatirkan. Herannya, saya tak pernah protes dengan kondisi tersebut. Lahir dan besar di Jakarta, membuat saya terbiasa dengan polusi ibukota hingga menganggap hal tersebut merupakan hal yang normal. Mungkin sebagian dari kita juga seperti itu, menganggap tak ada yang salah dengan langit ibukota, hingga tiba musim libur Lebaran—saat asap dari cerobong pabrik berhenti mengepul dan jumlah kendaraan yang beroperasi berkurang drastis, barulah kita melihat ke atas dan menyadari, “Wah, biru banget ya langitnya!”

Photo by Daniel Ramos on unsplash.com

Hidup dalam kabut asap

Racun spiritual pun sering kali membutakan kita layaknya sebuah tirai asap yang sudah biasa hadir dalam hidup. Ia dapat mewujud dalam bentuk apa saja; relasi toksik yang menjauhkan kita dari Allah, kecanduan terhadap sosial media yang merusak, ambisi terhadap harta dan takhta, serta masih banyak lagi. Bahayanya, kita kerap tak menyadari dan merasa hidup baik-baik saja. Namun perlahan, energi spiritual kita tersedot habis, meninggalkan sebuah cangkang yang kosong nan rapuh.

Terbiasa hidup dalam kubah polusi spiritual mungkin membuat kita lupa bahwa hidup ini—selain merupakan anugerah dan kesempatan, juga merupakan sebuah kepercayaan.

Pertanyaannya, kalau hidup kita harus berhenti di titik ini, apakah pertanggungjawabanmu pada Allah yang telah memercayaimu dengan sebentuk kehidupan?

Pernah mengalami kondisi seperti ini:

“Duh, udah beberapa Minggu nih enggak gereja. Ah, tapi kerjaan gue lagi numpuk, capek. Pulang-pulang udah malem, besoknya pagi-pagi banget harus balik ngantor. Kalau weekend gue enggak buat leyeh-leyeh sama hangout, kapan gue istirahatnya?”

Atau:

“Diminta jadi panitia Natal, nih. Udah lama sih enggak pelayanan di gereja, tapi bisnis lagi rame-ramenya. Kapan-kapan aja, deh. Lagian, melayani Tuhan juga bisa melalui pekerjaan, kan?”

Atau:

“Udah lama ya, enggak saat teduh. Tapi, kan waktu gue juga udah banyak habis buat pelayanan gereja, rapat ini-itu sampai malam. Tuhan juga maklumlah ya, toh gue udah berkorban banyak”.

Photo by Mali Maeder on pexels.com

Bertanggung jawab atas kepercayaan 

Polusi spiritual yang mencemari hidup kita kerap membuat kita tak lagi dapat melihat dengan jelas; mana sikap hati yang tepat dan mana sikap hati yang salah, mana yang benar-benar prioritas dan mana yang nafsu semata. Segalanya jadi tampak abu-abu dan begitu kabur. Sehingga, bukannya memanfaatkan kesempatan dalam hidup ini untuk menjalin relasi yang lebih intim dengan Allah, kita malah menaruh Allah dalam checklist terakhir.

Pertanyaannya; masa sih, kita yang sudah diberi kepercayaan untuk hidup oleh Allah ini, tega melukai-Nya—Sang Empunya Kehidupan? Saatnya untuk hidup bersih, lepas dari segala polusi yang meracuni kita secara perlahan!



LATEST POST

 

Entah mengapa, tapi ego itu begitu menggoda diri manusia. Ego untuk menguasai, untuk menja...
by Markus Perdata Sembiring | 19 Mar 2024

Keraguan adalah salah satu hal yang sering terjadi di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Keraguan...
by Immanuel Elson | 14 Mar 2024

Pemerintahan di dunia ini dilaksanakan dalam berbagai metode, namun pada intinya adalah mengatur sec...
by Oliver Kurniawan Tamzil | 29 Feb 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER