Berdiam diri dan berdoa. Itulah istirahat yang sejati. Berhenti sejenak dari rutinitas dan mencari waktu bersama Tuhan.
Sebut saja namanya Budi. Ia adalah salah satu dari sekian banyak ‘mantan pacar’ gereja saya – alias lulusan teologi yang ‘diuji coba’ untuk menjadi pendeta di gereja saya, namun ternyata kami belum berjodoh.
Hari itu adalah hari di mana Budi harus berkemas meninggalkan kos di Jakarta, untuk pulang ke rumah aslinya di Yogyakarta sambil menanti penempatan berikutnya. Kami, para pemuda gereja, biasanya berusaha mengadakan farewell yang penuh kesan untuk orang seperti Budi; makan-makan, serah-terima hadiah perpisahan, jalan bareng ke mall, dan sebagainya. Tetapi Budi berbeda. Ia menampik semua ajakan itu, dengan tuturnya yang sopan seperti biasa.
Rencananya? “Saya mau istirahat, berdiam diri di kamar kos saja.”
Dan ternyata benar, ia mengunci diri di kamar kos, tidak mengaktifkan ponsel dan internet, tidak melakukan aktivitas apapun. Dia ‘nyepi.’Kami nyaris tidak percaya, apa yang dia lakukan terlalu ganjil kedengarannya. Satu saat sebelum ia pergi, Budi berusaha menjelaskan bahwa tradisi berdiam diri ini telah rutin ia lakukan, “Karena setiap tahap kehidupan memerlukan perenungan.” Dan saat melepasnya pergi, saya tidak akan pernah melupakan binar wajah Budi yang sangat…bagaimana ya saya menjelaskannya…’adem.’
Budi sekarang sudah settle down, ia telah menemukan tempatnya sebagai seorang pendeta di sebuah GKI di Jawa Tengah. Sebaliknya bagi saya, hidup berlari makin kencang dan waktu 24 jam sehari, makin terasa tiris. Sebagai seorang jurnalis, hidup saya berlari dari satu deadline ke deadline lain hingga akhirnya…tiba harinya saya mengalami nasib serupa Budi dulu. Media cetak nasional tempat kami bekerja ditutup karena masalah finansial. Saya, bersama rombongan wartawan lain yang bernasib serupa, mendadak kena PHK.
Seperti apa rasanya? Rasanya seperti lagi nonton DVD yang di fast-forwardem>, lalu mendadak ada tangan besar yang merebut remote dan memencet sebuah tombol. Bukan pause, melainkan eject disc!
Hidup saya mendadak menjadi sebuah pertanyaan yang tidak kunjung terjawab. Masa kekeringan rohani yang mencekat tenggorokkan. Berbagai hal yang saya lakukan untuk menenangkan berbagai hal yang berkecamuk di benak – solo traveling ke luar kota, begadangan, bertemu dan curhat teman-teman lama, bahkan berbagai ‘aksi rohani’ mendadak rajin saya kejar.
Hingga satu hal yang tersisa, yang belum saya lakukan: mengambil jeda dari hidup, seperti yang dulu Budi lakukan.
Demikianlah diselesaikan langit dan bumi dan segala isinya. Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu. Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya itu
“Mengapa Tuhan beristirahat di hari ketujuh? Menurutku Ia tidak melakukannya karena lelah.”
“Lalu kenapa?”
“Tuhan menciptakan istirahat di hari yang ketujuh-dan itulah keajaiban yang terbesar. Istirahat.”
Percakapan itu adalah bagian dari sebuah novel lawas berjudul Mister God, This is Anna karangan Sydney Hopkins. Sebagai workaholic sejati, dulu saya menganggap tindakan berdiam diri adalah aksi malas yang sia-sia. Tapi nyatanya, jika kita menilik kembali kitab Kejadian 2, Allah justru memberkati dan menguduskan hari ketujuh itu, seakan hendak mengingatkan umat manusia generasi berikutnya dan seterusnya, agar memahami makna istirahat.
Tubuh dan pikiran kita ternyata membutuhkan ‘pause’ – saya pun akhirnya mencoba menarik diri sejenak dari keriuhan yang sudah sekian lama menyelimuti, menjadi ‘tahanan rumah’ yang baik.
Pelajaran yang saya dapatkan dari momen berdiam diri ini?
1. Tubuh dan otak kita adalah ‘kendaraan’ untuk berjumpa dengan Tuhan, dan jika kita tidak merawatnya, ternyata ia turut menjadi penghalang komunikasi yang lancar dengan-Nya.
2. Berdiam diri ternyata menakutkan, karena kita dihadapkan dengan diri kita sendiri dan segala pemikirannya, suka maupun tidak suka. Tanpa distraksi, hanya ada kejernihan.
3. Tetapi dari proses inilah kita bisa memulai perjalanan menemukan makna keberadaan kita di dunia.
Jika sebelumnya PHK dari kantor saya terasa seperti musibah, kini saya bisa memandangnya sebagai proses Tuhan untuk mengarahkan saya kembali berfokus ke jalur lain, cita-cita saya sendiri untuk berwirausaha.
Berdiam diri dan berdoa. Itulah istirahat yang sejati. Berhenti sejenak dari rutinitas dan mencari waktu bersama Tuhan. Jika kita selalu melewatkan waktu istirahat dengan bersenang-senang tanpa kendali untuk melampiaskan kejenuhan, maka niscaya kita akan kembali dengan rasa lelah yang lebih besar. Jangan-jangan ‘gergaji’ kita malah makin tumpul. Selamat beristirahat.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: