home is a place where a person feels they belong, but what if they pulled out from their home?
Banyak lagu yang menceritakan mengenai definisi dari Gereja, atau siapa itu gereja. NKB 111 menggambarkan gereja sebagai bahtera, yang didalamnya terdapat banyak jenis orang dengan latar belakang suku, budaya, bahkan ras. Pada perkembangannya, kita perlu sadar bahwa Gereja bukan hanya sekadar sebuah gedung. Lagu sekolah minggu mengatakan, “Gereja adalah orangnya.” Setidaknya, itu yang saya dapatkan. Tetapi, jika dikaitkan dengan rumah, maka dari itu “rumah” seperti apakah gereja itu? Apakah sama seperti rumah kita pada umumnya? Di mana kita dapat bertindak seenaknya, seperti tidur kapan saja, makan di mana saja, atau bahkan yang lainnya?
Dalam Bahasa Inggris, istilah rumah digambarkan dengan dua kata yang berbeda, yaitu home dan house. Dikutip dari Cambridge Dictionary, home diartikan sebagai tempat asal seseorang atau sesuatu atau tempat di mana seseorang merasa memiliki – someone’s or something’s place of origin, or the place where a person feels they belong. Sedangkan house adalah bangunan di mana orang, atau biasanya adalah sebuah keluarga tinggal – a building that people, usually one family, live in.
Bagi sebagian orang, gereja hanyalah sebuah house yang berarti hanya sebatas gedung gereja atau bangunan yang dipakai untuk beribadah. Apakah pengertian ini salah? Tentu tidak! Namun, bagi saya secara pribadi menganggap bahwa gereja merupakan sebuah home bagi mereka yang merasa tertolak, terbuang, bahkan terkucilkan dari lapisan masyarakat, sehingga mereka dapat bersekutu bersama dan menguatkan diri bersama-sama dengan mereka yang sudah terlebih dahulu melewati badai kehidupan seperti yang saya dan Anda baru lewati. Dari dua pengertian dan komparasi tersebut, saya mengalami sebuah kejadian yang mengubahkan hidup saya dalam kehidupan bergereja.
Melalui gereja, saya menjadi mengenal banyak pribadi, banyak cerita, dan banyak sekali pengalaman-pengalaman yang sangat unik ketika melayani di kota yang sudah memberikan pengetahuan kepada saya tentang pelayanan, pembangunan relasi dengan sesama, bahkan dalam urusan panggilan Allah terhadap hidup saya, kota itu bernama Cikarang, yang berada di sebelah timur kota Jakarta. Ketika saya berada di GKI Cikarang, saya merasakan bagaimana keakraban dalam melayani bersama dengan rekan-rekan saya sekomisi remaja dan komisi pemuda, di mana kami terus melakukan inovasi dalam pelayanan di komisi kami tersebut. Kami dapat mengoreksi satu sama lain apabila ada yang kurang berkenan, misalnya dalam sikap, perkataan, perbuatan, atau hal lainnya.
Komisi lain yang turut membentuk saya adalah Komisi Anak utamanya dalam manajemen untuk berbagai hal, mulai dalam mengatur jadwal latihan pemusik, pemilihan personil dalam band, sampai mengeksekusi perayaan-perayaan gerejawi komisi anak. Dua komisi ini saya anggap sebagai home saya, yang sangat mengerti saya, walaupun banyak konflik yang terjadi didalamnya dimana saya percaya konflik tersebut dapat dengan mudah selesai. Bagi saya pribadi, konflik yang terjadi dapat dengan mudah diselesaikan secara kekeluargaan.
Pada tahun 2017, ketika saya dipercaya menjadi seorang Ketua Komisi Remaja, saya mendapatkan berbagai bentuk pembelajaran yang sangat berharga. Selama saya mengemban tugas sebagai ketua Komisi Remaja, saya merasa ada suatu perasaan yang bergejolak dan terus mendorong saya untuk melayani di Komisi Anak, Remaja, Pemuda dan terus aktif dalam melayani tiga komisi tersebut. Saya tidak dapat menggambarkan perasaan yang timbul tersebut. Hingga akhirnya tahun 2019 yang merupakan sebuah “endgame” untuk saya sebagai Ketua Komisi Remaja. Pada sisi yang lain, saya mulai mengerti definisi pelayanan yang sesungguhnya, yaitu melayani mereka yang ada di luar lingkaran pelayanan saya selama ini.
Saya mulai mengikuti berbagai camp pada bulan Juni hingga Juli 2019, yaitu: GKI Summercamp 2019, Bible Camp Anak, dan Youth Camp “Retreat” Cikarang 2019. Akhirnya, disitu saya menemukan jawaban atas apa yang menjadi pergumulan saya selama ini, yaitu di mana saya akhirnya menemukan home saya dan saya akhirnya sadar betapa banyak “kerusakan” yang seharusnya saya dapat perbaiki bersama-sama dengan rekan-rekan sepelayanan saya, sehingga membuat home tersebut lebih nyaman ditempati oleh generasi setelah saya yang akan terus merawat home ini, yaitu GKI Cikarang.
Permasalahan besar datang, ketika saya mendapatkan penolakan dari kedua orang tua saya dalam masalah melayani. Saat mereka sedang mengembangkan perintisan jemaat GKI di Karawang, saya tetap bersikeras untuk melayani di tempat dimana saya berasal yaitu GKI Cikarang. (Alasan sederhana saya mungkin karena inilah zona nyaman saya). Apakah saya salah jika saya ingin terus berkembang di zona nyaman saya?
Saya dipaksa untuk meninggalkan zona nyaman saya, dan seakan saya dipaksa untuk meninggalkan rumah yang telah memberikan berbagai pelajaran berharga dalam hidup saya. Sampai pada satu titik, saya bergumul untuk tetap bertahan di “rumah” saya atau pindah dari “rumah” saya. Penolakan tersebut terus saya rasakan bahkan sebelum saya menyelesaikan masa jabatan Ketua Komisi Remaja.
Semua berawal dari penolakan yang masih bisa dibilang kelas teri, yang berujung pada penolakan mentah-mentah dan sangat terlihat. Kekecewaan saya pun saya tuangkan ke dalam doa yang selalu saya panjatkan secara singkat, namun akan menjadi nazar saya ketika memang benar-benar terjadi. Hari demi hari yang saya alami ini terus tidak menemukan titik terang, sampai pada akhirnya mereka menolak saya untuk melayani di "rumah" yang sudah memberikan banyak hal kepada saya.
Di sisa waktu sebelum saya berpindah domisili untuk meneruskan studi saya di bangku perguruan tinggi, saya hanya ingin melihat rumah saya yang sudah ditempati oleh generasi penerus saya. Namun apa daya ketika orang tua sudah berkata tidak, segala macam rancangan yang sudah direncanakan secara matang, bak 7 langit runtuh menimpa saya. Saya hanya bisa berdoa agar diberikan kesempatan menunaikan janji saya yang tertinggal kepada KR GKI Cikarang. Pelayanan seharusnya berpikir bahwa dinding gereja pun tidak bisa menghalanginya,.Namun, saat perpindahan itu seakan dipaksa, saya jadi merenungkan, apakah saya ini masih terlalu "kecil" sehingga untuk memilih tempat pelayanan pun saya dilarang.
Cerita lainnya adalah, saat saya merasa mereka sebagai keluarga dan saya dipaksa meninggalkan keluarga saya. Ini berakibat pada pelayanan saya yang setiap minggunya saya lakukan sebagai seorang aktivis di GKI Cikarang. Walaupun saya sudah tidak terdaftar secara hukum sebagai siapa-siapa (bukan seorang pengurus, ataupun yang masuk ke dalam jajaran pelayan), namun sebagai seorang mantan ketua komisi, saya berpikiran bahwa saya harus tetap menaungi adik-adik pengurus saya yang baru.
Selain itu, sering kali mantan-mantan pengurus yang belum pindah ke kota tujuannya, masih sering membantu dalam peribadahan, seperti menjadi pemusik pengganti dadakan. Di situ saya merasakan kehilangan yang dalam, karena saya kehilangan orang-orang yang biasa bersama saya ketika hari minggu. Mereka yang menemani saya ketika hari minggu saya sedang suntuk karena berbagai kejadian yang ada dari Senin sampai Sabtu, sekarang sudah sangat sulit untuk bertemu karena adanya penolakan ini.
Hal-hal tersebut dapat berdampak pada “kesehatan mental” saya dalam melayani. Dalam mengambil bagian dalam pelayanan, melayani sejatinya diperuntukan dengan hati tulus, tetapi apa gunanya ketika porsi pelayanan tersebut diambil dengan secara terpaksa. Pelayanan yang seharusnya dilandasi oleh hati yang melayani, seakan dipaksa untuk berpindah ke lain hati. Menyakitkan memang, tetapi apa daya, saya mencoba mengerti maksud Tuhan pada hari-hari ini.
Semua permasalahan ini selalu saya membuat saya mengadu kepada sahabat saya melalui doa, ya Dia tempat saya mengadu setiap persoalan hidup saya. Setiap doa-doa yang dipanjatkan melalui mulut dan hati ini, selalu terselip adanya permintaan saya agar bisa selalu diberikan kesempatan kembali ke rumah yang sudah memberikan banyak pelajaran penting dalam hidup. Sehingga pada akhirnya, sebelum saya meninggalkan rumah yang sangat saya kasihi tersebut, saya berkomitmen untuk terus melayani walaupun keluar rumah.
Jadi, buat saya home dan house yang berbeda ini penting bagi saya, bukan hanya kenyamanan, tetapi lebih dari itu pertumbuhan rohani saya. How about you? Apakah "rumah'" bagi Anda? Bagaimana kalau "rumah" Anda diusik? Tentu terganggu bukan? Tetapi jika yg mengusik kenyamanan itu adalah kehendak Dia, bagaimana Anda menjawabnya? Saya mungkin kecewa, tetapi saya ingat, Tuhan menempatkan saya dengan satu tujuan. Mari bersama-sama kita cari tujuan utama pelayanan yang kita lakukan. Masihkah Tuhan menjadi aktor utama dalam pelayanan kita? Kalau Anda menjadi saya, apakah home atau house yang Anda butuhkan? Kiranya Tuhan selalu mengingatkan kita, bahwa Dialah yg patut kita sembah, dan tiada yang lain. Tuhan memberkati.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: