Dalamnya lautan bisa diukur dengan sonar, tetapi dalamnya cinta kasih Tuhan kita tidak akan pernah bisa ukur bahkan hitung dengan kalkulasi yang rumit. Meski demikian, kita bisa merasakan dalamnya cinta kasih Tuhan jika kita hidup di dalam-Nya.
Suatu hari, saya memutuskan untuk menyelam (scuba diving) bersama rekan-rekan dari BRIMOB. Ya, Ignite People tidak salah baca. Saya bersyukur karena melalui kegiatan ini, saya melihat diri saya sebagai peserta yang Istimewa. Bagaimana tidak? Saya hanya berasal dari kalangan orang biasa, tetapi berkesempatan melakukan kegiatan ini dengan dampingan BRIMOB. Plus, saya adalah satu-satunya wanita yang ikut di dalam kegiatan yang sangat berisiko ini. Ada risiko yang saya pahami ketika melakukan kegiatan menyelam ini, yaitu bisa merusak organ tubuh saya seperti gendang telinga pecah atau—bahkan lebih fatalnya lagi—nyawa akan hilang.
Pada saat menyelam di laut, banyak kendala yang saya alami. Mulai dari saya yang sedikit panik hingga daya apung saya tidak seimbang. Awalnya, saya sangat terapung sekali, dan ketika hari kedua saya sempat sangat tenggelam sehingga sulit mengontrol keseimbangan tubuh saya di dalam laut. Banyak kekacauan dalam kegiatan yang saya lakukan karena pada saat itu saya masih awal dalam menyelam di laut yang dibantu dengan alat yang bernama BCD (buoyancy compensator, atau perangkat kendali daya-apung)) serta tabung oksigen.
Hari kedua tidak kalah ekstrem: saya menyelam di kedalaman 15 meter, dan pada saat itu pun saya mengalami berbagai kendala. Kendala yang pertama saya sempat terpisah dengan pendamping yang kemudian mencari saya. Bahkan saat di dalam laut, saya sangat susah mengendalikan alat yang saya gunakan sehingga saya bergantung kepada orang lain dengan memegang erat tangannya. Ya, saya sangat bergantung kepada rekan saya dalam scuba karena saya sangat merasa takut terlepas dari genggaman tangannya sebagai dampak masih belum bisa mengendalikan tubuh saat itu.
Saat itu, yang saya pikirkan bukan sosok rekan scuba itu adalah lawan jenis dan saya merasa bahagia atau terbawa dengan hanyutnya perasaan ketika tangan saya digenggamnya saat menyelam. Bukan! Yang terlintas pertama kali di benak saya adalah betapa bersyukurnya ketika ada rekan scuba yang mau menjadi penolong pada kegiatan itu. Yang kedua, saya berpikir jika tangan ini lepas mungkin saya akan kehilangan keseimbangan dan kacaulah gerakan saya.
Yaaaa... betul saja: saya sempat kehilangan keseimbangan saya. Ketika seharusnya naik ke permukaan air, saya sempat kembali tenggelam ke dasar laut di kedalaman 15 meter dan terlepas dari tangan yang menggenggam tangan saya. Hal yang saya rasakan secara fisik adalah gendang telinga saya sakit sangat luar biasa karena tekanan air sedalam 15 meter yang terlalu dalam itu dan juga sempat merasa sedikit panik. Bahkan sempat ada pikiran, "Waaahh... mungkin nyawa saya bisa hilang!!" Pada saat itu, antara saya berserah dan berusaha memperjuangkan hidup, serta ketika terjatuh di lautan yang dalam itu, banyak hal yang menyadarkan saya tentang begitu besar kasih Allah kepada saya.
Dokumentasi Pribadi
Pertama, jika saya benar-benar terlepas dari genggaman tangan rekan saya, saya bisa terjatuh dan tenggelam kembali ke dasar lautan di kedalaman laut 15 meter dan mengalami tekanan air yang masuk dalam telinga yang sakitnya luar biasa. Dari situ saya disadarkan, jika hidup kita terlepas dari Tuhan, kita akan berakhir dengan jauh lebih menyakitkan bahkan binasa. Saya teringat pada Yohanes 3:16 yang berbunyi, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." Ayat itu mengingatkan saya bahwa karena cinta dan kasih Tuhan dalam hidup saya, Dia memampukan saya percaya kepada-Nya. Jujur saja, tidak menutup kemungkinan bahwa saya akan mati sia-sia sebagai orang yang tidak beriman kepada Tuhan dalam scuba diving itu. Namun, karena pertolongan Tuhan yang beranugerah, saya bisa berkaca dari pengalaman itu sebagai orang percaya bahkan masih bisa hidup sampai hari ini.
Kedua, melalui pengalaman scuba itu, Tuhan menegur saya yang kurang bersyukur atas hidup yang diberikan-Nya. Sering kali saya kurang bersyukur dan hanya mengikuti keinginan daging dan kepuasan duniawi. Di usia saya yang terbilang muda ini, saya tidak mau direndahkan orang lain. Saya selalu memiliki jiwa optimistis dalam hidup saya. Namun, ada hal yang menjatuhkan saya bahkan lebih menenggelamkan juga dalam peristiwa ini. Saya selalu merasa kurang di mata orang lain dan selalu ingin membuktikan bahwa saya tidak seburuk mereka. Ada kalanya pula saya terhanyut dalam hal kurang bersyukur pada saat itu, sehingga saya merasa harus lebih hebat daripada rekan saya yang lain dengan bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa mereka lakukan. Padahal apa yang sudah Tuhan berikan kepada saya itu hal-hal yang sangat luar biasa.
Dokumentasi Pribadi
Ketika melakukan kegiatan scuba ini, saya sedikit-banyak ditampar oleh kenyataan bahwa setiap hal yang saya lakukan bukan berarti saya harus bisa dan hebat, bahkan menjadi sempurna di dalamnya.
Tidak semua hal harus bisa kita lakukan dan menjadi hebat di dalamnya. Jangan salah: jika kita bisa di semua hal maka besar kemungkinannya kita bisa menjadi orang yang sangat sombong dan hanya mengandalkan kekuatan diri kita sendiri, bahkan lupa mengandalkan Tuhan di dalam kehidupan ini. Banyak hal yang harusnya saya sangat sangat bersyukur kepada Tuhan, tetapi kadang-kadang sebagai manusia saya kurang puas dan bersyukur dan akhir dari semuanya ini Tuhan mengingatkan (bahkan "menenggelamkan"), dengan cara saya "tidak sengaja" jatuh kembali ke dalam dasar laut dan menjauh dari pantauan rekan saya.
Yang saya renungkan pada saat saya tenggelam kembali selama scuba itu adalah ada banyak hal yang Tuhan berikan kepada saya di dalam anugerah-Nya. Pada masa itu, saya sering mendapatkan ayat Alkitab yang sama dalam beragam konteks (entah itu di dalam telur Paskah, pembagian hadiah Natal, hingga roti perjamuan kudus), yaitu 1 Petrus 2:9. Ayat itu berbunyi, "Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib." Disadari atau tidak, ayat ini selalu muncul di dalam kehidupan nyata secara nyata tertulis maupun secara lisan. Hal itu sudah lebih dari beberapa kali dan ada satu mandat yang saya rasa belum saya lakukan secara maksimal, yaitu "memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib". Kisah saya ini juga adalah sebuah bentuk dari bagian memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari Nya. Jujur saja, secara tidak sadar perkataan Petrus itu betul-betul terjadi dalam kehidupan saya.
Di usia yang ke-23 tahun, saya pernah mendapatkan mandat menjadi salah satu anggota majelis termuda di GKI Jombang. Tidak berhenti di situ, saya juga diberkati dengan pekerjaan yang baik, bahkan memiliki pencapaian tersendiri di dalamnya. Suatu anugerah dan kehormatan yang Tuhan berikan kepada saya. Melalui pengalaman-pengalaman itu, saya disadarkan bahwa Tuhan tak berhenti berkarya melalui hidup saya. Banyak hal luar biasa yang terjadi dalam hidup saya (walaupun yah mungkin ada yang saya lupakan), tetapi tidak sepenuhnya saya sikapi dengan tepat. Apa yang seharusnya sudah lebih dari cukup dan harusnya lebih bisa saya syukuri ternyata tidak seutuhnya membuat saya mengubah mindset untuk tidak mengikuti apa kata orang lain. Saya malah melupakan kebaikan Tuhan dan masih mencari validasi orang lain bahwa saya ini hebat. Saya lupa sebetulnya saya sudah menjadi pribadi yang dipilih, dipanggil dari kegelapan kepada Sang Terang yang ajaib, bahkan dipakai-Nya untuk melayani-Nya.
Photo by Mishal Ibrahim on Unsplash
Saya sangat bersyukur saya bisa mencoba hal baru dan belajar hal baru dalam scuba. Saya bisa menikmati keindahan alam ciptaan Nya yang ada di kedalaman laut saat itu begitu indah. Saya juga bisa merasakan pertolongan dari tangan Tuhan yang saya rasakan lewat rekan scuba itu melalui tangan kuatnya yang menggenggam tangan lentik ini. Yang saya rasakan pada saat itu bukan perasan cinta batin antar manusia, melainkan dia adalah dia sosok penolong sekaligus penjaga bagi saya yang dikirimkan Tuhan—walaupun pada kenyataannya dia mendapat tugas dari seniornya untuk menjaga saya (fakta menarik: dia juga adalah sosok yang dibanggakan di dalam satu timnya oleh sang senior. Sebuah berkat tersendiri bisa menyelam bersamanya). Namun, saya merasakan ada anugerah Tuhan yang datang lewat rekan saya itu, dan hal yang tidak kalah pentingnya lagi jika saya berharap kepada manusia saya akan kecewa.
Jika saya berpikir dengan menggunakan mindset kedagingan, saya akan jauh lebih kecewa. Mungkin saya akan begitu marah dengan rekan saya karena pada saat itu sempat terlepas dari tangannya sehingga saya jatuh lagi dan tenggelam (nyawa yang jadi taruhan, Ignite People!). Ajaibnya, meskipun "harus" tenggelam lagi. saya bisa mendapatkan pelajaran dan peristiwa yang berharga yang sangat indah dalam kehidupan saya. Saya diingatkan untuk menjadi pribadi yang rendah hati, selalu bersyukur dan berserah kepada Tuhan sebagai orang percaya, pertolongan Tuhan akan selalu datang bagi kita yang percaya, dan meskipun harus mengalami hal yang buruk, saya mau belajar percaya bahwa Tuhan selalu merancangkan hal yang lebih indah dari apa yang saya pikirkan. Saya teringat pada ayat di bawah ini:
Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. - Yeremia 29:11
Maukah Ignite People percaya sepenuhnya pada Tuhan, Raja di atas segala raja, yang memegang tampuk kekuasaan di alam semesta itu?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: