“Your body doesn’t really control anything. It just goes with the flow of what it sees, tastes, hears, smells, and feels unless otherwise influenced by the soul. It’s amoral - neither good nor bad. Left to itself, your body just reacts to and goes along with what’s happening in the physical realm. When your soul agrees with your spirit, the life of God in you will manifest itself in your physical body. You’ll experience healing, deliverance.” – Andrew Wommack
Pengasuhan diri (self-nurturance) disebut juga sebagai hukum alam pertama, sebab semua orang sedapat mungkin berusaha untuk mencapai kesejahteraan bagi dirinya sendiri terlebih dahulu, setelah itu ia baru membantu orang lain mencapai kesejahteraan mereka. Itulah alasan mengapa aspek pengasuhan diri sangat penting bagi individu. Pengasuhan diri (self-nurturance) didefinisikan sebagai proses untuk mencapai kesehatan, baik kesehatan mental maupun kesehatan fisik. Pengasuhan diri (self-nurturance) memiliki komponen yang berasal dari studi pengasuhan diri kualitatif, yaitu mencakup lima aspek pengasuhan diri, yang terdiri dari fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spiritual.
Image on Holistic Human
Berkaitan dengan hal tersebut, mengakhiri suratnya dalam 1 Tesalonika 5:12-22, Paulus menasihati jemaat di Tesalonika dengan beberapa kewajiban yang berkaitan dengan lima aspek dalam pengasuhan diri (self-nurturance) yang dijelaskan sebagai berikut.
Aspek Fisik (Ayat 14c)
Kata "lemah" pada kalimat “..belalah mereka yang lemah..” (ayat 14c) merujuk kepada “bodily sick, ill” atau sakit dan lemah fisik (Mat. 25:43-44; Luk. 9:2; 10:9; Kis. 5:15-16; 1 Kor. 11:30). Dari segi medis, kesehatan berarti keadaan seimbang dalam hal jasmani, rohani dan sosial, bebas penyakit, cacat, ataupun kelemahan, juga berarti kesucian atau keutuhan.
Yesus dalam pelayanan-Nya juga sangat berkaitan erat dengan pelayanan kesehatan fisik. Hal tersebut terlihat melalui mujizat kesembuhan yang Ia lakukan pada orang buta (Mat. 20:29-34; Luk. 18:35-43), perempuan pendarahan (Mat. 9:20-22; Mrk. 5:25-34; Luk. 8:43-48), penderita sakit kusta (Mat. 8:1-4; Mrk. 1:39-45; Luk. 5:12-16), orang bisu (Mat. 9:32-34), orang lumpuh (Mat. 9:1-8; Mark. 2:1-12; Luk. 5:17-26), dan orang yang sakit ayan (Mat. 17:14-21). Bahkan Yesus juga memberikan kesembuhan bagi mereka yang mengidap penyakit jiwa seperti menyembuhkan orang yang kerasukan setan (Mat. 12:22-37) dan kisah di Gadara (Mat. 8:28-34; 9:1; Mark. 5:1-21; Luk. 8:26-39).
Oleh karena itu, penebusan Yesus di atas kayu salib secara luas tidak hanya mengandung hal pengampunan dosa, penebusan dakwaan dan rasa bersalah, serta penyucian hati nurani kita saja, tetapi juga berkaitan dengan penyembuhan tubuh (fisik) kita.
Aspek Intelektual (ayat 20-21)
Intelektual merupakan istilah umum yang mencakup fungsi kognitif, perilaku adaptif, dan pembelajaran yang sesuai dengan usia dan memenuhi standar tuntutan budaya yang sesuai dalam kehidupan sehari-hari. Secara sederhana, intelektual didefinisikan sebagai kecerdasan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas mental berpikir, menalar dan memecah masalah.
Image on Flaticon
Aspek intelektual pada konsep self-nurturance terdapat pada ayat 21 yang berbunyi “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik”. Kata ujilah dalam bahasa Yunani menggunakan kata yang berarti memeriksa (melihat sesuatu dengan teliti). Hal ini menjelaskan bahwa tidak semua sesuatu dapat kita terima begitu saja, perlu adanya pemeriksaan dan pertimbangan sebelum pada akhirnya melakukan tindakan. Ini juga berkaitan erat dengan karunia bernubuat. Dalam ayat ini, Paulus tidak ingin penegasan akan karunia bernubuat dianggap salah sebagai panggilan untuk secara membabi buta menerima segala jenis hal yang dianggap berasal dari Roh tanpa melihat dan mengujinya dengan kebenaran.
Aspek Sosial (ayat 12-15)
Dalam interaksi sosial, seseorang dapat menyesuaikan diri secara pasif terhadap orang lain, sedangkan mungkin dirinya sedang dipengaruhi oleh orang lain. Dengan demikian selalu akan terlihat hubungan timbal balik yang saling berpengaruh antara seorang dengan orang lain. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk menjadi bagian dalam sebuah kehidupan komunal yang saling memperhatikan dan penuh belas kasihan.
Menjadi bagian dalam kehidupan komunal juga merupakan salah satu ekspresi iman yang dapat kita tampilkan sebagai orang percaya. Allah menciptakan manusia untuk menjadi teman dan kawan untuk satu dengan yang lainnya melalui pernikahan, keluarga, persahabatan atau ketiga- tiganya. Allah menginginkan kita untuk terlibat dan menjadi bagian dalam umat yang dikasihi-Nya. Untuk itu, kita harus terus berada dalam kehidupan bersama dengan orang Kristen lainnya (relasi komunal).
Aspek Emosional (Ayat 14d, 16)
Emosi kita adalah anugerah dari Tuhan, karena kita diciptakan sebagai makhluk emosional. Beberapa dari perasaan atau emosi yang kita rasakan antara lain seperti cinta, kemarahan, kegusaran, kebencian, ketakutan, kengerian, simpati, kegembiraan, depresi, dan kecemburuan, dan Kitab Suci pun menggambarkan banyak dari reaksi emosional tentang ini (1 Kor. 6:10; 2 Tim. 1:7; Ef. 4:26; Hab. 3:16; Kej. 4:4-5; Kej. 29:20; Rm. 12:15). Di dalam kekristenan, tentunya segala hal harus memiliki koridornya sendiri, tak terkecuali dengan emosi.
Image on Animation Magazine
Emosi haruslah memiliki prinsip dan mempunyai standar pimpinan Tuhan yang membatasinya. Secara sederhana, emosi penting untuk dikontrol. Emosi tidak hanya cukup dikontrol oleh rasio, seperti yang disebutkan oleh filsafat Yunani Kuno. Namun sayangnya, manusia tidaklah memiliki rasio dan daya intelektual yang sempurna, dan bahkan pikiran manusia sudahlah kacau dari semenjak kejatuhannya ke dalam dosa. Sehingga tidak ada satu pun filsafat dunia yang dapat disetarakan oleh pengajaran Firman. Dan sebagaimana Roh Allah telah mewahyukan kebenaran, demikian pula Roh Allah memimpin kita masuk dalam seluruh kebenaran. Ini berarti bahwa ketika kita hidup dipimpin oleh Roh Kudus, maka Dia akan mengontrol seluruh pikiran dan emosi kita.
Aspek Spiritual (Ayat 16-19)
Spiritualitas atau “perjumpaan ajaib” menyangkut segala hal yang bersifat holistik; yaitu segala hal yang berhubungan dengan pemahaman tentang Tuhan yang sepenuhnya terintegrasi terhadap kehidupan. Secara historis, pengertian spiritual berhubungan dengan yang suci. Holistik diterjemahkan dari kata Inggris Kuno hālig, yaitu "keseluruhan" atau "lengkap," yang berhubungan kembali dengan kata Yunani holos (ὅλος). Jadi, spiritualitas berusaha untuk terlibat dengan kehidupan secara keseluruhan.
Spiritualitas telah menjadi bagian aktif dari lanskap komunitas budaya Kristen sejak masa pelayanan Yesus. Tiga perintah penuh arti pada ayat 16-18 yang menunjukkan hubungan spiritual manusia dengan Allah berbunyi ”Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.”Ini adalah prisma yang memecah cahaya iman menjadi spektrum tiga warna primer yang menjadi landasan utama sebagai “kehendak Allah bagi kamu di dalam Kristus Yesus.”
Tiga ayat tersebut memberi kita jalan kepada 150 mazmur yang ditulis, di mana hubungan dengan Tuhan diungkapkan secara langsung. Kita memuji Allah karena siapa Dia. Kita mencari Dia dalam kebutuhan kita akan penebusan dari dosa dan penderitaan. Kita juga berterima kasih kepada-Nya untuk apa yang Dia lakukan untuk membebaskan kita. Ketiga naluri dasar ini mengungkapkan banyak suasana hati dari iman yang hidup. Semua hal tersebut menjadi cerminan kehidupan nyata datang kepada Tuhan yang nyata.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: