Sekali Lagi, Menunggu Tanganku Kauraih

Best Regards, Live Through This, 15 May 2019
“Tuhan bisa saja memberikan promosi, memberikan hadiah kekayaan, pujian-pujian pada kita di atas panggung. Namun, benarkah itu semua yang kita inginkan? Atau kita sebetulnya hanya menginginkan Tuhan sendiri datang mendekap kita?”

Aku menggandeng tangannya erat siang itu, di bawah terik mentari, saat kami baru saja pulang dari warung menuju kembali ke rumah. Sebuah es krim coklat menetes di plastiknya, dan aku menjilatnya.

“Nanti kalau mba’ sudah pergi, Andre ngga’ boleh nakal ya…”

Aku mengangguk dengan lugunya dan tidak pernah mengerti bahwa kata-kata itu ditujukan sebagai kata-kata perpisahan. Ya, “mbak” atau lebih tepatnya orang yang mengasuhku sejak bayi akhirnya meninggalkanku saat aku berusia 5 tahun karena ia dipinang oleh calon suaminya dan harus pulang ke Riau. Aku tidak pernah tahu bahwa es krim yang kumakan saat itu adalah sebuah “hadiah perpisahan”. Betapa sedihnya aku saat tahu ia meninggalkanku, dan beberapa hari setelahnya aku demam karena ‘kehilangan’ satu sosok orang yang paling dekat denganku saat kecil. Sang sosok pemberi es krim.

Memori-memori demikian seringkali tak luput dari benak kita. Ketika kita merindukan kehadiran orang yang pernah begitu dekat di hati kita, terlebih saat kita mengingat apa yang sudah dia berikan kepada kita. Tapi tak jarang pula, apa yang sebenarnya kita rindukan adalah apa yang orang tersebut berikan kepada kita, bukan relasi yang indah dengannya. Atau mungkin malah kita tidak tahu apa persisnya.

Photo by Priscilla du Preez on Unsplash

Kenyataannya, dalam kehidupan rohani, kita juga mengalami hal demikian. Kita tahu kita harus cukup dewasa untuk mengerti bahwa yang kita inginkan adalah Tuhan, bukan hadiah-hadiah yang Tuhan berikan. Tuhan bisa saja memberikan promosi, memberikan hadiah kekayaan, pujian-pujian pada kita di atas panggung. Namun, benarkah itu semua yang kita inginkan? Atau kita sebetulnya hanya menginginkan Tuhan sendiri datang mendekap kita?

Ketika merefleksikan ini, aku menjadi takut bahwa keadaan kekristenanku belakangan ini menjadikanku sebagai “anak sulung” yang selalu ada di Rumah Bapa namun tidak pernah merasa memiliki bagian dari kasih Bapa. Aku selalu berusaha show off dengan segala kedok pelayanan, kedok menyelamatkan budget acara gereja, ataupun kedok bahwa aku terlalu sibuk untuk duduk dan mendengar suara jemaat di sebelahku. Aku tidak pernah puas dengan pengakuan Tuhan padaku dan itu membuat hatiku bolong seperti sebuah donat. Aku mencari sesuatu di gereja yang tidak kutemukan di tempat lain.

Photo by Sharon McCutcheon on Unsplash

Suatu waktu, aku mendengarkan lirik lagu dari Kidung Jemaat (KJ) 362 ini berkali-kali,

Aku milikMu, Yesus, Tuhanku; kudengar suaraMu. 'Ku merindukan datang mendekat dan diraih olehMu. 

Raih daku dan dekatkanlah pada kaki salibMu. Raih Daku, raih dan dekatkanlah ke sisiMu, Tuhanku. 

Sungguh indahnya walau sejenak besertaMu, Allahku; dalam doaku sungguh akrabnya bersekutu denganMu.


Lewat lagu ini aku teringat, aku ingin berkali-kali jatuh cinta pada Tuhan terlepas dari segala sesuatu yang aku hadapi saat ini. Lirik lagu ini juga menunjukkan bahwa dalam waktu yang amat sempit sekalipun kita menunggu-nunggu momen untuk senantiasa bersekutu bersama dengan Tuhan.

Mungkin benar kata mereka bahwa kita ada dalam generasi yang mengenal kekristenan sebelum mengenal Kristus itu sendiri. Kita adalah generasi yang mengenal Alkitab sebelum berjumpa dengan Sang Firman itu sendiri. Oh iya betul, aku memang sudah menjadi Kristen bertahun-tahun, tetapi apakah aku sudah jatuh cinta, lagi dan lagi, dengan Tuhan yang sama?

Aku kadang rindu untuk membawa orang lain datang pada Tuhan, tetapi sayangnya, aku tidak bisa memberi apa yang tidak aku miliki pada orang lain. Bagaimana aku membuat orang lain jatuh cinta pada Tuhan bila aku belum mengalaminya? Sungguh, jika aku pernah mengalami momen yang amat intim itu dengan Tuhan, aku pasti dengan amat penuh kerinduan akan membawa orang lain pada Tuhan karena aku tahu betapa nikmatnya hubungan yang intim dengan Tuhan itu.

Photo by Kylie Paz on Unsplash

Seringkali dalam renunganku, aku ingat tentang kisah ini, sang gembala menghitung dombanya berulang kali dan ia hanya menemukan bahwa dombanya kurang satu ekor. Domba yang seratus itu kurang satu ekor! Dan begitu paniknya gembala itu, ia meninggalkan yang sembilan puluh sembilan dan mencari yang satu ekor itu. Sang gembala mencari ke bukit dan ke lembah, terus mencarinya dan menemukan yang satu ekor ini tersangkut dan tersesat, takut, sendirian. Sang gembala segera datang dan menolongnya, menggendongnya pulang. Betapa besar sukacitanya akan domba yang satu ekor itu.

Demikianlah, banyak orang yang mengatakan bahwa yang dilakukan gembala ini tidak masuk akal, apalagi ketika mereka tahu bahwa gembala itu adalah Tuhan Yesus sendiri yang meninggalkan sembilan puluh sembilan kepunyaan-Nya demi yang seekor. Banyak orang juga menganggap omongan itu terlalu klise. Benar, cerita itu memang tidak pernah masuk akal sampai kita tahu bahwa yang satu ekor itu adalah kita sendiri. Kita menunggu-nunggu Tuhan datang dan menyelamatkan kita dari ketersesatan kita, membawa kita pada sebuah komunitas 99 ekor yang lain, menjadi kepunyaan Tuhan.

Photo by Biegun Wschodni on Unsplash

Sekali lagi, aku menunggu-nunggu momen itu datang dalam hidupku. Saat di mana Tuhan menemukanku. Aku tidak perlu es krim untuk menghibur aku. Satu yang aku butuhkan hanyalah Tuhan di sini. Setelah itu? Aku akan berjalan bersama dengan Sang Gembala untuk mencari satu ekor domba yang lain lagi dan menyelamatkan mereka. Ketika Sang Gembala amat bersukacita akan yang seekor ini, aku akan turut bersukacita bersamanya.

Demikian sekarang aku mengerti apa yang dimaksud oleh tulisan alm. Pdt. Kuntadi Sumadikarya bahwa kisah dalam Lukas 15 ini bukan tentang ‘anak yang hilang’ tapi tentang kasih Bapa, ‘Bapa yang menanti-nanti’ pada kita dan pada orang lain di sekitar kita.

Mari, kita meminta dengan sangat agar Tuhan datang sekali lagi dan jangkau hati kita, dan pasti pada waktu-Nya kita akan merasakan hangatnya dekapan yang amat erat dalam pelukan hangat Tuhan.

LATEST POST

 

Bila hati terasa berat Tak seorang pun mengerti bebanku Kutanya Yesus Apa yang harus kuperbuat  ...
by Yessica Anggi | 22 Mar 2024

Entah mengapa, tapi ego itu begitu menggoda diri manusia. Ego untuk menguasai, untuk menja...
by Markus Perdata Sembiring | 19 Mar 2024

Keraguan adalah salah satu hal yang sering terjadi di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Keraguan...
by Immanuel Elson | 14 Mar 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER