Hidup Tanpa Stigma

Best Regards, Live Through This, 18 September 2021
Artikel ini lebih menunjukkan kisah stigma yang seharusnya kita lihat dengan kacamata yang berbeda. Mari belajar melihat.

Pandhu (bukan nama sebenarnya) menangis di salah satu sudut kamarnya. Bantal putih besar itu dipeluknya erat sambil terus mengeluarkan air mata. Bagaimana tidak? Ia baru pulang dari rumah sakit setelah menerima kertas yang berada di dalam amplop putih, dan di dalamnya tertulis kata "positif". Ya, positif! Ia yang memiliki wajah ganteng dan badan kekar itu saat ini didiagnosa sebuah penyakit. Hebatnya lagi, ini bukanlah penyakit sembarang penyakit. Kertas yang ia pegang seakan menghancurkan hidupnya. Tak ada yang ia bisa lakukan kecuali berpikir untuk mati! Ya, ia divonis mengidap HIV. Virus yang jelas menakutkan dan membuat gamang dengan masa depannya.


HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh seseorang. Artinya, sistem ketahanan tubuh seseorang akan menjadi rusak akibatnya. Setidaknya, sejauh ini, terdapat tiga hal utama yang dapat menjadi penyebab seseorang mengidap HIV. Pertama, adalah hubungan seksual yang beresiko. Pandhu dan pacarnya memang adalah pasangan yang menganut hubungan terbuka (open relationship), sehingga mereka sangat rentan untuk dimasuki oleh virus ini. Kedua, adalah melalui jarum suntik. Penggunaan jarum suntik secara bergantian, akan dengan mudah menyalurkan virus ini ke orang lain. Ketiga, virus ini juga dapat menginfeksi anak yang masih menyusu pada ibunya. Namun, apakah HIV benar-benar menjadi akhir dari segalanya, seperti yang dipikirkan oleh Pandhu? 


Photo by Christian Erfurt on Unsplash 


Saya ingin mengajak kita semua untuk melihat terlebih dahulu sejarah singkat dari HIV. Sejarah mencatat bahwa kasusnya yang pertama, atau kerap kali kita katakan kasus ke-0, terjadi pada tahun 1920, yaitu dari seorang penduduk Kinhasa di Republik Demokratik Kongo. Sejak saat itu, muncullah berbagai kematian mendadak kecurigaan semakin menjadi, khususnya di Los Angeles, yang menjadi tempat penularan virus yang sama di kalangan gay atau pria penyuka sesama jenis. Dari titik inilah, mulai terjadi penyebaran yang menjadikan virus ini mulai menjangkiti lebih banyak orang. Yang perlu kita perhatikan bersama adalah meskipun HIV memang menular, tetapi penyebarannya ke manusia sangat dimungkinkan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan influenza, atau bahkan COVID-19 yang sedang merebak saat ini.


Namun, kerap kali kita mendapatkan fakta yang berbeda di dalam pemikiran masyarakat. Bagi sebagian besar orang penyakit ini adalah akhir dari segalanya, layaknya apa yang Pandhu pikirkan. Mari coba kita lihat transmisi virus yang saya tuliskan sebelumnya. Bukankah justru virus ini nampak sulit menyebar, jika tanpa adanya perilaku yang mengikutinya? Mari kita lihat kasus Pandhu. Ia mengakui bahwa dalam hubungan terbuka yang ia lakukan dengan kekasihnya justru meningkatkan penyebaran virus tersebut. Kesadaran akan hubungan seks yang aman ternyata belum menjadi pemikirannya. Akhir dari segalanya? Jika kita melihatnya di tahun 80 hingga 90-an mungkin hal ini masuk akal, tetapi saat ini, virus dapat dikendalikan laju penularannya, dan malah, para pengidapnya (seperti Pandhu) tetap dapat bertahan hidup. Dengan apakah mereka bisa tetap hidup melawan virus yang telah menghinggapi tiga puluh tujuh juta orang  di dunia dengan penambahan satu juta orang lebih tiap tahunnya? Saat ini kita juga mengenal istilah ARV (Antiretroviral). ARV memang tidaklah membunuh virus tersebut, tetapi yang terjadi adalah ia mengendalikan waktu pertumbuhan virus tersebut.


Photo by Morgan Basham on Unsplash 

Saya tidak akan mengulas lebih jauh tentang HIV atau ARV, tetapi yang lebih penting bagi saya saat ini ialah, jika tadi dikatakan lebih dari tiga puluh tujuh juta orang yang mengidap virus ini, lalu, bagaimana kita seharusnya kita berdamai dengan mereka? Bagaimana kita seharusnya memperlakukan para penyintas HIV ini? Apakah kita perlu menjauhkan diri dari mereka yang mengidap HIV? Saya hanya ingin mengingatkan bahwa penyebaran virus ini tidaklaah semudah penyebaran virus lain. Lalu, apakah jika demikian, kita dapat meremehkannya? Tentu tidak! Hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli medis mengatakan bahwa penyebaran virus ini tidak lebih cepat dari penyebaran virus Covid-19 yang sedang menghantui kita saat-saat ini. Namun, gaya hidup sehat harus tetap kita jaga. Beberapa hal yang dapat kita lakukan adalah. Pertama, setialah pada satu pasangan, dan tidak berpikir untuk berhubungan dengan orang lain, karena kita tak pernah tahu, orang mana yang mengidap virus ini atau yang tidak. Kedua, gaya hidup sehat dengan menjaga pola hidup. Hindarkan diri dari penggunaan alat-alat suntik dan obat yang bisa menjadi transmisi virus.  Ketiga, kita juga perlu sadari bahwa keberadaan Orang dengan HIV (Odhiv) ini nyata di sekitar kita. Dengan mengetahui lebih luas tentang penyebaran virus ini, kita sangat perlu untuk juga menjaga sudut pandang kita terhadap Odhiv. Apalagi jika yang dilakukan adalah pengucilan dan penghinaan. Bukankah mereka tetaplah manusia? Bukankah sebagai sesama manusia kita harus saling mengasihi? Oleh karena itu, saling mengasihi menjadi hal penting untuk kita lakukan kepada mereka, bukannya malah menjauhi mereka dan memberikan stigma negatif kepada mereka. Yang seharusnya kita jauhi adalah perbuatan yang tidak aman, bukan para pengidapnya.


Sekarang, mari kita coba melihat ke lingkungan masing-masing. Adakah dari mereka yang merupakan pengidap HIV, dan apakah kita telah memperlakukan mereka dengan cukup ramah dan menerima mereka dengan apa adanya? Cobalah untuk mulai bersikap positif dan mampu bersifat ramah kepada mereka tanpa memberikan stigma negatif yang membuat mereka malah merasa dijauhi, bahkan lebih parahnya lagi, secara nekad melakukan bunuh diri. Mari, kita coba untuk mengasihi tanpa melihat virus apa yang mereka idap! Ramahlah kepada mereka, karena bukankah Tuhan telah terlebih dahulu ramah kepada kita yang juga merupakan manusia berdosa dan seharusnya binasa? Kiranya Tuhan memampukan kita menjadi perpanjangan tangan-Nya dalam menunjukkan kasih kepada mereka.

LATEST POST

 

Bila hati terasa berat Tak seorang pun mengerti bebanku Kutanya Yesus Apa yang harus kuperbuat  ...
by Yessica Anggi | 22 Mar 2024

Entah mengapa, tapi ego itu begitu menggoda diri manusia. Ego untuk menguasai, untuk menja...
by Markus Perdata Sembiring | 19 Mar 2024

Keraguan adalah salah satu hal yang sering terjadi di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Keraguan...
by Immanuel Elson | 14 Mar 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER