“I had a dream last night about how we used to dance, no matter how hard our time was. If I have a chance to tell you more, December used to be my favorite month, but this year is different. And at the end of the year, I wrote a confession letter to you. I am barely naked to myself, and YOU especially. I regret it, I'm sorry… But, I have to forgive myself and move on, starting from zero. This time, it’s not about how I look, it's about how I feel. I think it’s time to contemplate, regroup, and start everything all over again." -Eros Tjokro
Adven adalah masa penantian menuju Natal; masa yang biasanya kita isi dengan keceriaan, beli kado, janjian kumpul-kumpul dan kesibukan di gereja. Namun apa yang kita nantikan tahun ini, mungkin tidak akan se-wonderful tahun-tahun lalu, di mana kita bisa reunian sama teman, makan bareng keluarga, dan ibadah di gereja yang dibumbui dengan special performance, entah itu choir anak-anak yang lucu atau aksi drama-teatrikal anak muda-remaja. Sebagian ketakjuban di atas mungkin akan diterima dengan rasa yang berbeda tahun ini, lewat tampilan virtual di layar gadget kita, formasi keluarga atau teman yang tidak lengkap, apalagi jatah liburan tidak sepanjang tahun lalu.
Kesal? Pingin sambat? Hayok!
Ibarat naik kendaraan, aplikasi maps menunjukkan arus yang akan kita tempuh berwarna ‘merah”. Mungkin kita akan uring-uringan. “Merah” yang menjadi warna trademark dari warna natal, juga hadir kok dalam perjalanan kita merayakan natal. Mulai dari penyebaran pandemi di beberapa kota di Indonesia yang masih “merah”, warna “merah” dari api aksi pembakaran rumah yang dipakai untuk pelayanan umat dan “merah” darah pembunuhan sadis di Sigi, Sulawesi Tengah. Perekonomian Indonesia pun juga masih “merah”, dengan proyeksi pertumbuhan (sepanjang 2020) masih minus 1,7% hingga minus 0,6%.
Nampak susah rasanya untuk mendapati ‘wonderful Christmas” di tahun ini. Banyak orang yang menanti segala pelik yang hadir di tahun ini berakhir dan mendapatkan keindahan Natal kembali. Namun, mungkin kita lupa bahwa Natal, sebagai momen kelahiran Yesus, juga dipenuhi oleh banyak tragedi. Mulai dari penjajahan bangsa Romawi yang belum berakhir di tanah Israel, tirani Raja Herodes yang membunuh banyak bayi, hingga ketidaklayakan kondisi bagi kelahiran “Sang Raja” itu sendiri.
Seperti pernyataan Fleming Rutledge, seorang pendeta gereja Episkopal, “Advent begins in the dark. Anyone that tells you otherwise is living in denial.” Mungkin, sudah seharusnya kondisi yang tidak baik-baik saja ini diperlukan di masa adven, agar kita belajar kembali ke asal, sebuah penantian akan kedatangan Sang Penyelamat.
Ignite People juga merasakan hari-hari menyambut Natal yang jauh dari gemerlap dan gak “wonderful”? Mungkin ada sesuatu yang dinantikan, menjadi sebuah refleksi perenungan yang dapat dibagikan kepada kami. Sampaikan pemaknaanmu mengenai penantian yang seharusnya kita hayati, terlebih dalam kondisi dan situasi kita saat ini.
Cara berkontribusi sangat mudah, untuk mengunggah tulisan, login saja ke situs IGNITE GKI dan buka menu New Article. Untuk mengunggah seni visual, podcast monolog, maupun video, silakan hubungi admin Ignite GKI melalui e-mail ([email protected]) atau direct message Instagram dan chat Facebook.
Kami tidak butuh sebuah “sukacita palsu” berbalut kemewahan, nampak luar biasa, bagaikan kemeriahan di pusat perbelanjaan. Kami menunggu karya-karya yang lahir dari kegelisahanmu yang menanti sukacita nyata, yang mungkin kamu nantikan dengan kondisi tetesan air mata kesedihan.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: