Bersikap di tengah Isu Bom yang Ada

Best Regards, Live Through This, 13 May 2019
“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena merekalah yang disebut anak-anak Allah.”

Peperangan di Indonesia jelas berbeda dengan bentuk pertempuran di Suriah. Jika di sana penuh dengan tumpahan darah atau dentuman bom yang sering terdengar dari tembok rumah, peperangan di Indonesia hadir salah satunya di ruang media sosial. Perang terhadap korupsi, perang terhadap hoaks, hingga perang terhadap ketidakadilan. Perang terhadap terorisme juga tak luput sebagai satu bagian yang hadir saat sebuah insiden atau tragedi terjadi. Misalnya seperti pasca kejadian pengeboman di beberapa gereja dan tempat di Surabaya.

Walau kita mungkin telah dan sedang diusik kedamaiannya, sebenarnya hakikat sebagai “The Peacemaker” tidak berubah, justru kian dibutuhkan di tengah zaman dan kondisi ini. Walau kita sudah seperti bejana yang rusak akibat luka-luka batin di masa lalu dan serangkai peristiwa, panggilan untuk menghadirkan kasih dan damai itu tetap ada.

Tugas sebagai “penghadir damai” perlu kita pahami pertama-tama dengan menyadari bahwa ini bukan sembarang pembawa kedamaian. Misalnya dengan mengingkari (tidak mengakui) sebuah tragedi yang secara faktual terjadi dengan alasan “supaya tetap damai”. Bukan, bukan seperti itu. Kemampuan untuk menyambut dan melaksanakan tugas untuk membawa kedamaian yang sesungguhnya bersumber pada kesadaran bahwa kita telah ditebus oleh Allah. Sebagai orang-orang yang telah dibebaskan dari kutuk dosa dan sudah terlebih dulu dikasihi, kita seharusnya diubahkan kehidupannya. Kita dimampukan untuk pulih menjadi gambar dan rupa Allah yang utuh. Kita juga telah melihat teladan langsung dari Allah Pencipta langit dan bumi yang rela turun ke dalam dunia berdosa, lahir di kandang hina, hidup menderita, mati terhina demi mendamaikan kita dengan Allah. Sehingga sebagai gambar dan rupa Allah ini, kita harus mencerminkan Allah yang juga membawa kedamaian seperti yang kita baca dari Mazmur 85.

Photo by Ferenc Horvath on Unsplash 

Tentu seperti peribahasa like Father like son, kita sebagai anak-anak Allah juga mencerminkan Bapa kita dengan membawa damai. Selain itu, damai adalah buah Roh. Ketika hidup iman kita bertumbuh seharusnya ia berbuah dan salah satu wujud buahnya adalah kedamaian itu sendiri.


Belajar dari Abraham

Abram dipanggil oleh Allah dan sejak saat itu kehidupannya diubahkan dan namanya diganti menjadi Abraham. Ia tahu benar bahwa ia dipanggil mengerjakan misi Allah. Kesadaran Abraham ini nampak dalam peristiwa saat Abaraham diperhadapkan dalam konflik antara gembalanya dan gembala Lot yang dapat memicu konflik di antara dirinya dengan Lot, keponakannya. Walau Abraham lebih tua, menyadari hal ini, ia berinisiatif untuk mengajak Lot berbincang sebelum keadaan menjadi panas. Abraham bahkan merendahkan dirinya di hadapan Lot, keponakannya dengan memberikan kesempatan Lot memilih tempat tinggal. Padahal Abraham sebagai pihak yang lebih tua berhak untuk memilih terlebih dahulu. Ketika Lot memilih daerah yang lebih subur dan lebih baik, Abraham pun membiarkan dan menerima keputusan Lot. Seperti pepatah Jawa wis dikei ati ngrogoh rempelo. Sudah diberi hati tapi malah minta lagi rempela hati. Seakan kurang ajar dan tidak tahu diri. Hebatnya, Abraham tetap memilih untuk menjadi pembawa damai, sekalipun kedamaiannya yang diusik. Bagaimana tidak? Ia harus tinggal di wilayah yang lebih gersang.

Menjadi Penghadir Damai itu seringkali sinonim dengan keharusan mengesampingkan diri kita. Menganggap kebutuhan orang lain penting dan mengedepankan itu demi terhindarnya masalah. Bagaimana bentuk konkret kontribusi kita terutama di kondisi yang sedang panas? Pertama, tidak ikut-ikutan menjadi penyebar hoaks. Kita harus bisa membedakan mana informasi yang dibuat hanya untuk menggelisahkan dan mana yang memang benar terjadi. Kedua, selain menahan diri dalam membagi informasi kita juga bisa turut mengisi ranah daring dengan karya. Kitalah generasi yang paling sering berkecimpung di media sosial dibanding generasi lain. Mari kita gunakan waktu kita untuk mengakses dan memposting di media sosial bukan untuk tampak keren atau supaya eksis semata tapi juga untuk berdampak dan membawa damai. Ketiga, dengan turut menjaga linimasa dari akun-akun atau jenis konten yang justru memperkeruh suasana (provokasi), misalnya dengan melaporkan ke pihak atau tautan yang sudah disediakan pemerintah. Selain itu, dalam hidup kita sehari-hari kita pun perlu belajar untuk menjalin relasi baik dengan siapapun, termasuk memperluas pertemanan dengan kawan lintas agama.


Belajar dari Yesus sendiri

Hampir mustahil kita menjadi pembawa damai jika kita masih menomorsatukan kepentingan atau kebanggaan kita semata. Dalam Filipi 2 dituliskan “Tuhan Yesus yang dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan. Melainkan telah mengosongkan diri-Nya, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia,” dan tidak berhenti sampai di sana “dalam keadaan sebagai manusia, Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan mati di atas kayu salib.” Orang yang digantung di atas kayu salib dianggap sangatlah hina, dia adalah orang yang melakukan kejahatan yang paling jahat sehingga dikatakan orang terkutuk. Sampai matinya saja ia berada di antara bumi dan langit yang artinya bumi dan langit menolaknya karena terlalu jahat. Tuhan Yesus yang tidak berdosa dan tidak pernah melakukan kejahatan apapun rela mengambil hukuman salib itu demi kita. Jika Allah yang empunya langit dan bumi saja sudah memberikan teladan itu, apalagi alasan kita untuk tidak menghadirkan damai melalui keberadaan kita?

Photo by Sam Schooler on Unsplash 

Apa yang menjadi milik kita yang bisa dibandingkan dengan kesetaraan dengan Allah itu? Ego kita? Harga diri kita? Harta kita? Gawai yang kemana-mana kita bawa agar kita tidak mati gaya? Atau gebetan kita, karena kita berpikir tanpa gebetan kita dianggap orang gak laku? Kalau mau sungguh ditanyakan di dalam hati, apa yang bisa sebegitu mulia dibandingkan dengan kesetaraan dengan Allah? Jika Tuhan Yesus saja rela menjadi manusia menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang tidak harus dipertahankan. Kita seharusnya bisa mengesampingkan ego untuk membawa damai.

Tidak mudah? Ya betul. Saya pun masih berusaha untuk melakukannnya.

Namun, satu hal tidak boleh kita lupakan, ada kasih Allah yang memampukan. Kalau Allah sudah memenuhi kita dengan kasih-Nya, sehingga kita yang seperti debu, kecil, ngeselin, degil, bebal ini saja dikasihi Allah, kita pasti sadar tidak ada alasan untuk menahan kasih yang serupa bahkan ke sesama yang sudah memperlakukan kita dengan tidak adil bahkan tidak manusiawi. Ingat selalu pembalasan adalah hak-Nya, sedangkan kewajiban kita adalah mengampuni dan mengasihi dengan kasih yang tulus sehingga tercipta kedamaian atau setidaknya tidak memperpanas kondisi khususnya di masa seperti saat ini.

LATEST POST

 

Bagi sebagian besar umat Kristiani, sejujurnya peristiwa Paskah—peristiwa kebangkitan Yesus&md...
by Christian Aditya | 26 Apr 2024

Film siksa kubur resmi tayang pada 11 April 2024, dan sebagai penikmat karya Joko Anwar, kami langsu...
by Ari Setiawan | 16 Apr 2024

Takut tambah dewasaTakut aku kecewaTakut tak seindah yang kukiraIgnite People, penggalan lirik lagu...
by Emmanuela Angela | 10 Apr 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER