Kebahagiaan memang menjadi tujuan manusia, tapi tidak semua tahu apa yang sungguh-sungguh membuatnya bahagia.
Hedonisme sering kali dianggap sebagai ‘musuh’ yang harus dihindari dan dilawan. Hedonisme biasa dipahami sebagai situasi dimana orang memusatkan dirinya pada materi dan cenderung membeli barang-barang yang sesuai dengan keinginannya, bukan pada kebutuhannya. Apalagi di momen-momen Natal kemarin, biasanya orang Kristen berbondong-bondong mengejar diskon untuk pakaian atau barang-barang baru. Nah biasanya tindakan begini langsung dicap Hedonisme. Bagi umat Kristen sendiri, hedonisme sering kali dianggap sebagai sebuah situasi yang merusak iman dan membawa kita jauh dari teladan Kristus, khususnya soal kesederhanaan.
Namun apakah benar demikian makna dari hedonisme? Jika dilihat dari pendekatan bahasa, hedonisme berasal dari Bahasa Yunani hedone yang memiliki arti kenikmatan atau kebahagiaan. Dari akar katanya ini dapat dipahami bahwa hedonisme adalah sebuah harapan atau tujuan manusia untuk mendapatkan kenikmatan atau kebahagiaan dalam hidupnya. Dari pemahaman ini, apa yang harus dipermasalahkan dari hedonisme? Apakah salah ketika kita ingin memperoleh kebahagiaan? Bahkan Yesus sendiri juga mengajak untuk berbahagia dalam kotbah di bukit (Lih. Matius 5:1-12). Lalu, dimana letak kesalahannya?
Rupa-rupanya ada sebuah pergeseran makna dan pemahaman mengenai Hedonisme antara masa awal ketika hedonisme muncul (pada era filsafat Yunani sekitar tahun 400 SM) dan hedonisme saat ini. Memperoleh kebahagiaan memang menjadi harapan setiap manusia, tentu kita sepakat dengan ini. Manusia mana yang ingin seumur hidupnya sengsara? Nah namun yang harus diperhatikan adalah ‘subyek’ kebahagiaan kita. Hedonisme mulai merusak hidup manusia ketika ‘subyek’ kebahagiaan terfokus pada materialisme (berpusat pada materi seperti barang-barang, jabatan, harta).
Manusia yang memusatkan kebahagiaannya pada materi memang akan merasakan kebahagiaan, namun kebahagiaannya adalah bahagia yang semu. Mengapa? Karena ‘subyek’ kebahagiaannya berada di luar diri manusia dan belum tentu sepenuhnya terwujud. Jika tidak terwujud maka orang tersebut menjadi ‘tidak bahagia’, tak elak menyebabkan kekecewaan bahkan depresi. Hal ini diakibatkan karena standar kebahagiaan tidak sepenuhnya dipahami oleh diri kita. Contoh sederhananya adalah soal kata ‘sukses dan bahagia’ yang sering kali diidentikkan dengan rumah mewah, jabatan tinggi, menikah, dan banyak hal lainnya. Namun asumsi ‘sukses dan bahagia’ dari stigma masyarakat ini sering kali justru menekan kita yang justru secara tidak sadar membuat kita tidak bahagia. Kebahagiaan memang menjadi tujuan manusia, tapi tidak semua kita tahu, apa yang sungguh-sungguh membuatnya bahagia.
Maka dari itulah, mari kita cek dulu ‘subyek’ bahagia kita. Kalau kata Epikuros seorang filsuf Hedonisme pertama, kita harus memfokuskan ‘subyek’ kebahagiaan kita pada kebutuhan primer. Epikuros mengklasifikasikan kebutuhan manusia menjadi tiga yaitu: Kebutuhan primer (makan, tempat tinggal, pakaian), kebutuhan mewah (makan ‘enak’, rumah mewah), dan kebutuhan sia-sia (kekayaan, jabatan). Bagi Epikuros jika manusia ingin bahagia ia haruslah merasa cukup dan sederhana. Baginya penderitaan disebabkan oleh ‘kerakusan’ dan ‘kekecewaan atas kerakusan’ dari manusia itu sendiri. Dari hal ini kita dapat belajar bahwa kita harus berani untuk keluar dari asumsi masyarakat soal standar kebahagiaan namun kita dapat memilah dan menciptakan standar kebahagiaan yang sesuai dengan diri kita sendiri.
Semisal ketika orang mengaitkan kebahagiaan dengan punya rumah mewah, maka kita bisa menggantinya dengan menciptakan keluarga yang harmonis sebagai ‘subyek’ kebahagiaan kita. Atau ketika masyarakat berpikir bahwa puncak kebahagiaan adalah pernikahan, kita dapat pula menggantinya dengan menciptakan sebuah relasi persahabatan dan persaudaraan dengan orang lain sebagai ‘subyek kebahagiaan kita’. Tidak sepenuhnya stigma masyarakat keliru, namun kita hidup bahagia bukan dari memenuhi stigma tersebut melainkan kita secara sadar menghayati kehidupan kita dengan menemukan ‘kebahagiaan’ kita yang otentik.
Photo by KAL VISUALS on Unsplash
Apa kata Yesus mengenai kebahagiaan? Pada Matius 5:3-12 Yesus mengucapkan 'berbahagialah' sebanyak sembilan kali dan 'bersukacitalah' satu kali dengan beragam subyek kebahagiaan namun seluruhnya memiliki singgungan yang sama yaitu keberpusatan pada diri dan Allah. Dalam kotbah di bukit, Yesus mengajak orang-orang untuk dapat menemukan kebahagiaan yang otentik baik dalam sukacita, dukacita, kebingungan, dan kemurnian diri. Kebahagiaan dalam kerendahan (ayat 3), kebahagiaan dalam duka (ayat 4), kebahagiaan dalam kelemahlembutan (ayat 5), kebahagiaan dalam kekritisan berpikir (ayat 6), kebahagiaan dalam kemurahan hati (ayat 7), kebahagiaan dalam kesucian hati (ayat 8), kebahagiaan dalam perdamaian (ayat 9), kebahagiaan dalam penderitaan (ayat 10-11), dan kebahagiaan dalam pengharapan kehidupan (ayat 12).
Dari kotbah di bukit, Yesus mengajak kita untuk menjadi hedonis, yaitu mengajak kita untuk berbahagia dan menemukan kebahagiaan dalam setiap aspek kehidupan. Kebahagiaan memang identik dengan situasi yang menyenangkan diri kita baik dalam hal materi ataupun spiritual. Namun kita juga diajak untuk mencari kebahagiaan dalam situasi yang sulit, dalam duka ataupun kebingungan. Hal ini dapat dilakukan jika kita memusatkan ‘subyek’ kebahagiaan kita kepada Allah sehingga setiap hal yang terjadi dalam hidup, kita tetap dapat menemukan kebahagiaan. Mengapa? Karena cinta dan kesukacitaan Allah turut hadir dalam segala aspek kehidupan, dalam kemudahan, dalam kebingungan, dalam kesulitan, ataupun dalam kesiapan.
Jadi, hedonisme? Kenapa tidak?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: