“HP gue mana, ya?” “Ih balik dulu deh, ambil hape gue! Gawat nih, kalo ga ada HP!” “Duh, HP gue ketinggalan! Ribet nih, urusannya!”
Disadari atau tidak, kalimat-kalimat serupa sering terlontar ketika kita lupa membawa gawai (alias gadget, khususnya smartphone). Dulu, barang ketinggalan yang paling membuat kita pusing kepalang adalah dompet karena memuat kartu identitas, uang, hingga kartu ATM kita. Namun sekarang, dompet tersebut tergantikan dengan smartphone, Guys. Selain kecanggihan yang dimiliki tiap smartphone, internet menjadi salah satu faktor kita betah berlama-lama menggunakannya. Yeah, kita harus mengakui bahwa internet memang bermanfaat untuk mencari informasi, berkomunikasi, bahkan berinteraksi dengan orang yang belum kita kenal sekalipun (atau kita temui). Tapi, tapi… saya juga sering panik luar biasa kalau tidak membawa smartphone. Lain halnya kalau nggak bawa dompet yang kaya’ bukan masalah besar. Hm…smartphone dan internet bak dua sejoli yang tak bisa terpisahkan dan tak terelakkan keberadaan mereka.
Dari data yang ditunjukan pada tahun 2018, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) melaporkan bahwa ada peningkatan peningkatan jumlah pengguna internet—dari 143,26 juta menjadi 171,17 juta orang. Artinya, sudah hampir 65% penduduk Indonesia terhubung dengan internet dan memiliki smartphone melalui paket data dari operator seluler. Menurut datareportal.com, rata-rata durasi penggunaan smartphone dan internet dari masyarakat Indonesia adalah:
Jika ditotal, waktu penggunaan internet kita adalah (rata-rata) 16 jam 13 menit, dengan total 150 juta pengguna per Januari 2019. Tidak mengherankan lagi jika di era digital seperti sekarang ini, revolusi industri 4.0 terus menuntut generasi milenial untuk menciptakan sesuatu yang baru dan harus memiliki konektivitas dalam jaringan (daring).
Ironisnya, ada banyak di antara generasi milenial (mungkin termasuk kita?) yang memiliki kecanduan terhadap “dua sejoli” tersebut. Secara teori, kecanduan internet sebenarnya sangat mudah diatasi; tetapi pada praktiknya justru sangat sulit untuk dilakukan. Inilah yang membuat para peneliti di Inggris menciptakan sebuah phobia baru yang bernama seperti judul di atas: NOMOPHOBIA—singkatan dari NO MOBILE PHONE PHOBIA. Nomophobia ditemukan belakangan ini karena melihat banyaknya fenomena pada anak muda ketika mereka tidak memegang atau lupa membawa gadget mereka. Menurut doktersehat.com, salah satu gejala nomophobia adalah kecenderungan untuk memeriksa smartphone berulang kali, bahkan ketika mereka sudah mengantuk dan seharusnya tidur. (Berhati-hatilah, dear Ignite people yang suka ngecekinInstastories teman dan malah ketiduran dengan smartphone—yang masih dipegang atau malah jatuh dari kasur—karena bisa saja smartphone dan media sosial telah menjadi “raja” bagi hidup kalian. Saya juga mesti waspada, sih).
Tidak berhenti di situ, sepasang kekasih dapat membuat seseorang mempunyai prinsip mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat—“berkat” adanya perkembangan teknologi komunikasi. Sebagai contoh, kita bisa berkomunikasi dengan teman yang berada di Amerika Serikat secara real time—alias bertatap muka (bahkan dalam waktu yang cukup lama)—tetapi kita malah asyik sendiri dengan smartphone saat makan malam dengan keluarga, atau mengacuhkan keberadaan mereka. Well, salah satu dampak dari prinsip ini adalah keluarga milenial (termasuk kita) yang semua anggota memegang smartphone, sehingga kebersamaan kita dilampiaskan ke dalam dunia maya (misalnya melalui Group Whatsapp keluarga).
Kita tidak dapat memungkiri bahwa media sosial berperan penting dalam kehidupan sosial bermasyarakat, terutama generasi muda. Berbagai konten memang muncul secara bergantian tiap harinya—seperti vlog (tentang kecantikan, otomotif, makanan, dll), music cover, hingga banyakchallenge. Nah, bagi sebagian generasi muda, mengikuti challengeyang ada di media sosial menjadi daya tarik tersendiri dan asyik kalau dilakukan bersama teman-teman. Contohnya, dari yang paling viral sebulan belakangan ini (Tik Tok DJ Ubur-Ubur dan Entah-Apa-yang-MerasukimuChallenge), laluFlip Bottle Challenge, Falling Star Challenge, Kiki Challenge, dan masih banyak lagi. Memang ada challenge yang baik, namun tak sedikit pula challenge yang membahayakan—seperti Skip Challenge. Well, sebagai generasi muda, kita perlu memilih—dengan bijak, tentunya—kegiatan yang bermanfaat untuk diri sendiri maupun bagi kehidupan sosial kita.
Namun, dengan munculnya “penyakit baru” seperti nomophobia tersebut, kita perlu berefleksi secara pribadi:
Don't worry, Ignite people! Firman Tuhan juga mengikuti perkembangan zaman, kok. Saat ini, ada banyak platform digital yang dapat kita gunakan sebagai sarana membangun hubungan pribadi dengan Tuhan Berikut beberapa di antaranya:
dan masih ada banyak lagi (by the way, kalau ada teman-teman yang ingin membagikan informasi seputar platform digital rohani lainnya juga boleh, lho!). Bentuk renungan di dalamnya tidak hanya narasi, namun ada juga yang berbentuk audio dan video, bahkan ada yang bersifat satu arah dan dua arah (interaktif). Hmm... menarik, kan? Tuhan telah menciptakan para kreator platform ini dengan kreativitas luar biasa untuk menolong kita bertumbuh di dalam-Nya. Lalu apa yang menjadi tanggapan kita atas kecanggihan zaman ini?
“Dari bani Isakhar orang-orang yang mempunyai pengertian tentang saat-saat yang baik, sehingga mereka mengetahui apa yang harus diperbuat orang Israel: dua ratus orang kepala dengan segala saudara sesukunya yang di bawah perintah mereka.” - 1 Tawarikh 12:32
Jika ditarik ke dalam konteks saat ini, ayat di atas mengingatkan kita untuk terus berhikmat dalam menggunakan internet dan smartphone. Berhikmat dalam hal apa? Berhikmat dalam pemilihan informasi yang harus/tidak disebarkan secara publik. Kita dapat menguji kebenaran informasi yang diperoleh melalui tiga pertanyaan:
Internet dan smartphone memang diciptakan untuk memudahkan kehidupan manusia, tetapi kita harus mewaspadaibahwa Iblis juga "menunggu waktu yang tepat untuk menerkam kita" (1 Petrus 5:8) melalui media tersebut. Kita tidak dapat memandang remeh godaan dosa melalui kecanggihan teknologi, Guys. Kita harus meminta pertolongan Tuhan dalam menggunakan internet dan smartphone, agar berkat yang kita terima dari teknologi yang maju ini dapat tersebar luas melalui kita, generasi muda. Mari, kita bergandengan tangan untuk memuliakan Tuhan melalui post maupun story yang kita unggah ke media sosial kita. Ad Maiorem Dei Gloriam!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: