Akhirnya Saya Tidak Lagi Ikut-Ikutan Turun Ke Jalan

Best Regards, Live Through This, 24 September 2019

Siapa yang tidak gentar melihat kondisi Indonesia pekan ini...  demonstrasi yang digerakkan mahasiswa di kota-kota maupun simpang-siur berita dari Senayan yang bermunculan, membuat kondisi tidak juga membaik. Ada yang panik dan mencoba meredam suasana, tapi tidak sedikit juga yang akhirnya tergerak dan turun ke jalan.

Awalnya saya ragu apakah hasil sidang dewan pantas untuk disuarakan ke jalan. Saya juga tidak berharap aksi-aksi yang bergerak di jalan akan membawa perubahan. Toh, pada ujungnya ini adalah keputusan dewan, bukan?

Alih-alih memberikan solusi, saya malah mulai menjadi kritikus pribadi. "Aksi begini, asal beretika, ga masalah," ujar saya dalam hati. "Mahasiswa harusnya pakai cara intelektual untuk lakukan perubahan!" Dan masih banyak lagi pikiran bermunculan. 

Hanya saja saya teringat pada apa yang terjadi pada Sancaka, sosok di balik tokoh Gundala. Pada satu titik, ketika Sancaka muda letih mengupayakan keadilan, ia justru mendapat dorongan untuk tidak mencampuri urusan orang lain.  Sampai kapan? Sampai ia mendengar satu baris menarik dari seorang rekannya yang berkata,

Kalo kamu tidak peduli keadilan, apakah kamu masih ada rasa kemanusiaan?

Film Gundala, karya Joko Anwar yang baru saja rilis tersebut, membangunkan saya dari tidur selama ini. Apakah saya sudah cukup vokal dalam menyuarakan kebenaran? Apakah saya sudah cukup peduli untuk menegakkan keadilan? Hanya saja, alarm bangun tersebut tidak sampai membuat saya rela turun ke jalan. Masih banyak alasan di benak saya mengatakan, "Tidak perlu sampai ke jalan, kok. Toh kamu yang akan rugi."

silhouette of man standing on seashore holding smoke can

Photo by Aziz Acharki on Unsplash

#TidakLagiIkut-Ikutan

Ternyata saya tidak sendiri, banyak teman di media sosial sependapat mengenai kerugian yang dihasilkan dari aksi demonstrasi seperti ini. Tidak jarang ada yang memilih diam dan menganggap tidak ada yang terjadi sama sekali. Bahkan, ada yang masih beranggapan bahwa massa yang hadir didominasi oleh orang-orang yang sebenarnya tidak tahu-menahu mengenai apa yang sedang didemonstrasikan. 

Masalahnya, yang memilih diam juga tidak memberi kontribusi sama sekali. Mereka sama-sama tidak mengerti masalah apa yang sebenarnya terjadi. Bedanya, manifestasinya berupa sikap diam, sementara di sisi lain banyak yang turun ke jalan. Sama-sama tidak mengerti, sama-sama tidak memberi solusi. 

Saya kemudian terhenti pada suatu pemikiran: "Mau sampai kapan keributan ini terjadi?"

Salah satu postingan di Instagram dari aktivis kebijakan publik, Andhyta F. Utami, menyoroti perubahan pandangannya terhadap aksi di jalan, yang juga menyadarkan saya. Melalui buku Nassim Taleb dengan judul Skin In the Game, Kak Afu menyoroti bahwa "menaruh kulit kita pada permainan" (majas untuk ikut ambil bagian) akan mempengaruhi masyarakat, termasuk dengan cara ikut menjalankan aksi.

Selain itu, Kak Afu menyebutkan bahwa aksi demonstrasi juga mengizinkan dialog dengan orang-orang nyata (real people) yang akan memastikan kita tidak sedang asyik berteori.

man wearing quilted black leather jacket

Photo by Henry Be on Unsplash

Jadi, bagaimana sikap yang diperlukan menanggapi masalah ini? Mungkin jawabannya agak sedikit tidak mengenakkan, tetapi ini yang saya alami:


Melihat lebih dekat

Istilah post-truth sudah sering kita dengar di tengah kemudahan yang ditawarkan zaman ini. Apa yang banyak muncul di media dengan cepat kita percayai, bahkan kita sebarkan dengan dua kali sentuhan layar gawai kita. Tagar-tagar bermunculan, tak jarang ikut meramaikan Insta story agar kita terkesan peduli.

Pertanyaannya adalah, "Apakah kita benar-benar sudah mengerti dan sudah membedakan mana kebenaran yang sejati?"

Seorang pernah mengatakan pada saya, bahwa kebohongan terbesar di kehidupan manusia adalah kebenaran yang diputar sedikit. Coba kita telisik kembali pemberitaan media arus utama hari ini: apakah mereka sudah menunjukkan keseluruhan dari realita yang terjadi atau hanya sebagian kecil saja?

Kita tidak sepantasnya buru-buru menyalahkan media. Ingat, keberadaan media adalah hasil dari pendanaan sekelompok orang berkepentingan. Bisa jadi pemberitaan media tertentu memiliki narasi khusus yang sedang dibangun untuk tujuan lain yang kita tidak ketahui. Apa yang kita lihat hanyalah tip of the iceberg. 

So, it takes a little more effort to prove that we care. Idealnya, kita perlu tahu akar permasalahan yang terjadi di masyarakat, mulai dari ruang-ruang sepi milik para dewan yang menyimpan rahasia, bergulir terus ke orang-orang kunci, sampai tersebar ke masyarakat. Jika tidak ada cukup waktu, kita bisa berkontribusi paling sederhana dengan menyaring berita mana yang benar dan mana yang tidak. Lagi-lagi kita harus berupaya.

lighted bulb

Photo by Philip Moore on Unsplash

Terangkanlah

Di tengah dunia yang sudah terkorupsi dosa manusia, kita tentu tahu bahwa sejarah tidak pernah mencatat kejadian yang tidak luput dari masalah. Gelap! Di situ, kita tentu langsung paham, bahwa inilah saatnya kita menjadi terang.

Prinsipnya sederhana: kita tidak bisa menutup sumber-sumber arus pergerakan manusia yang terus bergejolak di masyarakat, tapi kita bisa memberikan cita rasa di sana. Ibarat aliran deras sungai yang teracuni aliran pekat, kita tidak bisa melakukan hal lain selain menggarami aliran air tersebut agar racunnya hilang. Tentu saja garam yang efisien adalah garam yang larut dalam kandungan air. 

Saya belajar untuk menggunakan segala kesempatan untuk berbagi. Di media sosial, dalam percakapan meja kantin kampus, dalam perjalanan, saya pastikan bahwa ungkapan yang terlontar dari mulut saya bukanlah ungkapan yang tidak "gelap"Gagal? Sering! Jatuh? Bangkit lagi!

Kehadiran saya, pada akhirnya, perlahan tapi pasti bisa dirasakan orang sekitar sebagai sesuatu yang "berbeda". Bukan sebagai seorang provokator, bukan sebagai oknum reaktif, tapi sebagai orang yang bisa diajak berdiskusi di kala kemelut ini terjadi. Saya coba terus belajar untuk memegang hal-hal prinsip dan berdiri di atasnya. Pada akhirnya, orang sekitar yang akan menunjukkan bahwa peran kita ini bermanfaat atau tidak bagi masyarakat.

brown wooden spoon

Photo by Jason Tuinstra on Unsplash

Berbicara mengenai masalah yang tengah terjadi di masyarakat, ada beberapa pertanyaan yang patut kita pikirkan:

1. Apakah kita benar-benar sudah memahami, atau setidaknya membaca RUU KUHP yang tengah dituntut masyarakat? 

2. Apakah kita sudah memahami latar belakang dibentuknya RUU KUHP yang rencananya akan segera direalisasikan?

Setidaknya, jika salah satu dari dua pertanyaan di atas kita jawab "iya", artinya kita sudah take the extra mile untuk tidak ikut-ikutan dan menjadi terang di tengah arus dunia yang gelap ini.

Selamat bertemu di jalan, kawan. Kamu tidak sendiri!

LATEST POST

 

Bagi sebagian besar umat Kristiani, sejujurnya peristiwa Paskah—peristiwa kebangkitan Yesus&md...
by Christian Aditya | 26 Apr 2024

Film siksa kubur resmi tayang pada 11 April 2024, dan sebagai penikmat karya Joko Anwar, kami langsu...
by Ari Setiawan | 16 Apr 2024

Takut tambah dewasaTakut aku kecewaTakut tak seindah yang kukiraIgnite People, penggalan lirik lagu...
by Emmanuela Angela | 10 Apr 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER