Serikat Persaudaraan, Apa Kabar?

Best Regards, Live Through This, 12 February 2024
"Dan masing-masing kamu pun Dib'ri anugerah Supaya kamu bertekun Dan rajin bekerja Hendaklah hatimu rendah Tahu Tuhan berpesan Jemaat menurut firmanNya Berkasih-kasihan" Lagu KJ 249 - Serikat Persaudaraan (ayat 3)

Lagu Kidung Jemaat no. 249 berjudul "Serikat Persaudaraan" mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Lagu yang mengingatkan kita bahwa sebagai saudara seiman, harus bersatu teguh di dalam Kristus dan bertindak berlandaskan kasih, sebagaimana ajaran-Nya yang kita kenal. Namun pada hari-hari ini, ada pertanyaan yang begitu besar tentang bagaimana kita berserikat selama ini. Apakah kita sungguh-sungguh sudah berserikat dalam persaudaraan kita?


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata serikat artinya (1) perkumpulan (perhimpunan, gabungan, dan sebagainya); (2) persekutuan (dagang); perseroan; (3) sekutu; kawan (dalam perang dan sebagainya). Lalu kata berserikat artinya (1) bersama-sama mengusahakan sesuatu (seperti berdagang); (2) bersatu merupakan perkumpulan (gabungan, ikatan, dan sebagainya); (3) bersekutu (dengan); berkawan (dengan). Perhatikan pada ketiga urutan makna kata "berserikat", urutan pertamanya adalah mengusahakan sesuatu. Jadi, tidak mungkin serikat itu hanya menjadi tempat berkumpul saja, apa bedanya serikat dengan tongkrongan malam hari kalau begitu? Berserikat tentulah mengusahakan sesuatu yang menjadi kepentingan dari serikat tersebut.


Sebagai serikat persaudaraan, apa yang sudah kita usahakan?


Menjawab dengan mengusahakan pemberitaan Injil, itu benar. Ada banyak komunitas-komunitas penginjil di sekitar kita, dan misionaris-misionaris yang dengan kerelaan penuh pergi mengabarkan Injil walaupun hidup mereka jadi taruhan. Menjawab dengan membantu masyarakat akar rumput, juga benar. Sudah ada banyak yayasan sosial Kristen yang berdiri, juga banyaknya gereja-gereja yang mengadakan aksi sosial secara berkala. Namun sebagai serikat persaudaraan, kita lupa bahwa kita juga harus hadirkan Injil dalam ranah politik.

*Tambahan Editor: Kata Masyarakat akar rumput / grassroots mungkin tidak terdengar familiar di telinga kita. Berikut adalah sumber dari UNHCR yang bisa menolong kita memahami frasa ini. (Klik link yang ada di kata "UNHCR")


WAH, SUDAH KETAHUAN ARAHNYA KE MANA!! TIDAK, GEREJA TIDAK BOLEH BERPOLITIK!! KEKRISTENAN BUKAN SOAL POLITIK!!


Image by Rawf8 on Unsplash

Sabar dulu, kita tidak bisa hanya menilai politik hanya di dalam ranah politik praktis. Anda mungkin tidak hidup untuk berpolitik (seperti anggota dewan misalnya), namun yang pasti hidup itu sendiri adalah politik. Anda mendiskusikan dan menetapkan rencana liburan bersama keluarga, itu sudah kegiatan politik. Anda memilih untuk mengikuti sebuah organisasi di lingkup sekolah/kampus, itu sudah merupakan pilihan politik. Anda memilih pelayan/pengurus dalam lingkup gereja Anda melalui voting, itu juga aktivitas politik! Bagaimana mungkin Anda dapat "memaksakan" pendapat bahwa Kekristenan bukan soal politik, sementara hidup saya, Anda, dan kita semua merupakan politik?


Dari kitab Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru, ada beberapa contoh aktivitas politik yang dilakukan oleh berbagai tokoh yang terlibat. Misalnya, saudara-saudara Yusuf yang bernegosiasi dengan Yusuf agar mereka tetap hidup di tanah Mesir (Kej. 42-45), Musa yang bernegosiasi dengan Firaun agar keluar dari tanah Mesir (Kel. 5-11), Daniel dan kawan-kawan sebangsanya yang menunjukkan integritasnya di hadapan Nebukadnezar untuk tidak memakan santapan raja (Dan. 1), Ester yang menggunakan privilege yang ia miliki untuk menolong orang Yahudi (kitab Ester), hingga Tuhan Yesus yang sepanjang pelayanan-Nya mereformasi pola pikir orang Yahudi mulai dari Galilea (Injil Matius hingga Yohanes). Betapapun kotornya sistem politik sepanjang sejarah, tidak menyurutkan mereka untuk menjadi teladan politik bagi kita semua hingga hari ini. Tidak mungkin semua itu terjadi karena mereka tidak punya pilihan, karena kembali pada definisi bahwa hidup adalah politik, dan mereka tidak sedikitpun menyangkal atau lari dari kenyataan tersebut!


Pemilu 2024 kali ini, mungkin bukanlah pemilu yang terbaik setelah Reformasi 1998. Tahun politik selama 2023 hingga awal 2024 pun tidak terasa seperti politik riang gembira.

 

Ada yang takut akan teror politik identitas.

Ada superior complex antar pendukung calon presiden, sehingga bebas untuk saling menghina satu sama lain.

Bahkan secara terstruktur, sistematis, dan masif, terdapat kecurangan mulai dari persiapan hingga pelaksanaan Pemilu di tahun ini.


Militansi dan fanatisme terhadap calon presiden dan partai politik tertentu membuat kita lupa akan kasih. Ketakutan akan politik identitas membuat kita lupa untuk saling menguatkan dan menentukan sikap politik terbaik di masa ini. Serikat persaudaraan yang seharusnya semakin kuat bersatu dan saling menopang dalam tahun politik, malah semakin tercerai-berai hanya karena berbeda pilihan politik! Tidak perlu kita bertanya tentang di mana peran kita sebagai orang Kristen di kancah politik yang lebih besar, sementara keberadaan serikat itu sendiri di tengah kehidupan politik sudah kadung DIPERTANYAKAN!

Image by Hannah Busing on Unsplash


Serikat persaudaraan umat Kristen dalam politik bukan berarti harus bergabung dalam/membentuk organisasi partisan Kristen atau partai Kristen, walaupun hal ini adalah kontribusi yang sangat baik. Mulailah lebih melek politik sebagai orang Kristen, agar kita dapat lebih memahami kondisi negara, dunia, dan saudara-saudara kita baik yang seiman maupun tidak. Bersikap politik jangan hanya dijadikan sarana kepentingan, namun juga sarana kontribusi pada kemanusiaan.

Pada saat Anda membaca artikel ini, mungkin Anda sudah mencoblos caleg dan capres pilihan Anda. Anda pun mungkin sudah mengikuti ibadah Rabu Abu untuk mulai berpantang dan berpuasa, berhubung pemilu dan ibadah tersebut diadakan pada hari yang sama. Di tengah-tengah masa pra-Paskah dan penantian pelantikan Presiden dan anggota-anggota legislatif yang baru, mari kita renungkan hal-hal berikut:


Bagaimana sikap kita setiap melihat atau mendengar sebuah diskursus politik?

Di mana respon kita saat politik seringkali disalahgunakan menjadi ajang penyalahgunaan kekuasaan, termasuk oleh saudara seiman yang harusnya mewakili rakyat?


Sudahkah kita menentukan rencana sikap untuk setiap capres yang terpilih nantinya?

Dan bersediakah Anda merangkul kembali dalam kasih, saudara-saudara seiman/tidak seiman yang pernah Anda lukai hatinya hanya karena berbeda pilihan politik?


Jangan berhenti pada Anda yang membaca tulisan ini. Ingatlah bahwa tugas kita bukan hanya mencoblos di bilik suara, namun juga mendoakan dan mengawal siapa-siapa saja calon yang sudah kita pilih, baik legislatif maupun eksekutif. Mari kita sebarkan kesadaran berpolitik pada saudara-saudara seiman kita, agar kita semakin kuat dalam persaudaraan menghadapi segala pergumulan sosial-politik.


Soli Deo Gloria. Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan.

LATEST POST

 

Bagi sebagian besar umat Kristiani, sejujurnya peristiwa Paskah—peristiwa kebangkitan Yesus&md...
by Christian Aditya | 26 Apr 2024

Film siksa kubur resmi tayang pada 11 April 2024, dan sebagai penikmat karya Joko Anwar, kami langsu...
by Ari Setiawan | 16 Apr 2024

Takut tambah dewasaTakut aku kecewaTakut tak seindah yang kukiraIgnite People, penggalan lirik lagu...
by Emmanuela Angela | 10 Apr 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER