Gimana sih, rasanya jadi pelaku ghosting dan sang "penyintasnya"?
Scroll Tiktok, ribut ada yang lagi batal nikah padahal udah lama pacaran. Masuk Instagram pun sama. Tiba-tiba, di grup Whatsapp kontributor Ignite juga ramai dengan pantikan kecil. Hihihi... Jadi kepikiran kan aku tuhhh (aku ga bisa diginiin soalnya. Hahaha).
Aku melihat kedekatan dua orang itu sudah cukup lama, apalagi semenjak ayahnya menjabat sebagai orang nomor satu di negara kita. Aku tim yang mendukung mereka kok, dan aku suka dengan apa yang mereka kerjakan maupun keseruan yang mereka alami bersama. Wah, goals banget dah. Namun, mendadak dunia media sosial ramai justru diramaikan dengan berita miring yang bilang:
“Wah, kok ditinggal gitu aja sih ceweknya, padahal udah lama banget pacaran.”
“Sekarang ada cewe baru nih, cowoknya. Udah pacaran sama kenalan mantan ceweknya.”
“Udah mau nikah katanya, eh malah ngilang. Gimana, sih?!”
Belum lagi nih, ibu dari pihak wanita kecewa berat sama hal yang sekarang terjadi. I know what the mom feels: kekecewaan karena anak kesayangannya ditinggalkan begitu saja berbaur dengan kekesalan karena pria kecintaan anaknya—yang sudah dekat dengan keluarga mereka—memberi harapan palsu. Apalagi sang pelakunya ini anak nomor satunya Indonesia, yang seharusnya bisa jadi panutan bagi kaum muda dalam berelasi, tapi kok gini, sih?
Sang ibu dan saudaranya pun angkat suara di media sosial, satu hal yang kurasa memang luapan emosi yang sang wanita rasakan tadi—ditinggalkan lagi sayang-sayangnya, apalagi ada niatan baik untuk menikah. Gimana orang tuanya ga kecewa berat? Walaupun sangat jauh dari kedua keluarga ini (dan jelas tidak ada ikatan darah), aku—sebagai pengamat—sangat merasakan kekecewaan yang besar dari pihak wanita. Yuk, coba dibayangkan bagaimana kalau kalian mendapatkan kejadian itu, Ignite People. Wujud emosi dengan menceritakan di media sosial tampaknya bukan hal yang salah karena toh itu memang laman dia dan mungkin menjadi cara katarsisnya. Hanya saja... bergunakah jika kita melakukan hal seperti itu ketika ingin meluapkan emosi karena ditinggalkan begitu saja oleh orang yang telah menjalin relasi bersama—bahkan berjanji untuk menikah? It's painful, isn't it?
Photo by Henri Pham on Unsplash
Disadari atau tidak, jika ada emosi negatif yang menguasai hati, kita ingin melampiaskan semua unek-unek yang berkecamuk sesegera mungkin agar merasa lega. Namun melalui peristiwa di atas (yang cukup trending beberapa minggu ini), mari kita belajar bersama untuk melakukan segala hal dengan lebih mindful, bahkan ketika kita kecewa dan marah karena hal buruk yang menimpa orang yang kita kasihi. Memang sih, kemarahan, kekecewaan, maupun perasaan tidak suka merupakan emosi yang nggak salah dan nggak sepatutnya ditutupi, tapi kita bisa meluapkannya dengan hal yang lebih baik dan tetap mindful (here and now).
Terlepas siapa yang salah dan benar, mindfulness menolong kita untuk memandang masalah bukan lagi sebagai penderitaan, tapi pengalaman yang menjadi ilmu supaya tak ada lagi luka dan kekecewaan yang terjadi. Nah, bagaimana jika saat ini kita kecewa, namun kita juga menyadari pentingnya untuk tetap menghargai keputusan lawan kita di balik "buruknya" keputusan dia? Enggak masalah kalau mau merasa kecewa, tapi tak perlu menyudutkan lawan kita dan tetaplah menghargai apapun yang dia lakukan. Memberikan contoh dan menjadikan pengalaman kecewa kita sebagai pembelajaran bagi banyak orang juga enggak masalah, tanpa harus menyinggung orang lain bahkan keluarganya. Ya, tetaplah belajar mindful terhadap emosi kita.
Nah, setelah membahas pihak wanita, aku mau bahas sosok priai yang mendapatkan hujatan warganet karena perilakunya. Pertama, dia hilang begitu begitu saja, kan? Kedua, ada kabar kalau dia dekat dengan kenalan dari keluarga pihak wanita. Hmmm... gimana dah ini? Kelihatan kan, apa yang dia lakukan sudah enggak seharusnya? Iya, saat mengetahui kabar ini, aku sudah kecewa berat, kok bisa sih menghilang semudah itu? Kok bisa sih, dekat dengan kenalan keluarga pihak wanita? Itu semua bisa kan, dikomunikasikan dan nggak langsung menghilang. Lebih menyakitkannya lagi, dia malah dekat dengan kenalan keluarga wanita. Belajar dari sini sosok anak nomor 1 Indonesia, bisa aja dia sedang ghosting pihak wanita, apalagi kalau dirasakan sudah enggak seirama berjalannya. Belum lagi banyak aspek di belakang yang mungkin bisa jadi dasar berakhirnya hubungan mereka, karena memang nyatanya enggak semua hubungan romantis berakhir bahagia dan langsung bisa menikah. Mau anak biasa aja atau pejabat sekalipun enggak semuanya punya jalan yang mulus, dan enggak semua relasi akan seperti dongeng yang happy ending.
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash
Aku pernah diselingkuhi, jadi aku paham betul betapa kecewa dan marahnya sang wanita maupun keluarganya. Sudah mau nikah tapi batal? Banyak, dan temanku pun pernah mengalaminya. Mereka kecewa, tapi banyak nggak selalu ini kesalahan dari pihak yang membatalkan nikah; karena yang aku imani, nggak semua masalah satu sisi saja yang salah. Pasti akan ada campur tangan kedua belah pihak yang membuatnya jadi batal.
Menjadi mindful dalam menghadapi masalah berarti tetap rileks dan tetap menjaga emosi agar tidak makin buruk. Mungkin ada beberapa hal yang bisa mulai kita biasakan dalam rangka melatih mindfulness kita; misalnya mengubah energi dari emosi negatif itu dengan teknik relaksasi, berbicara dengan teman terdekat kita, berolahraga, dan sebagainya. Sambil mengingat, Tuhan enggak pernah membiarkan kita tergeletak dalam keadaan terendah. Mau ditinggal pacar, tunangan, calon suami, atau calon pacar, Tuhan tetap saja akan menemani kita. Maka di situasi apapun, menjaga hubungan baik dengan Tuhan jauh lebih penting. Melihat masa depan dan bangkit menjadi kunci kita ke depannya.
Hai, wanita yang ditinggal begitu saja oleh pasangan,
semoga kekecewaanmu tidak menghabiskan energimu. Teruslah melakukan perbuatan baik dan berkenan di mata-Nya. Jangan sampai kekecewaan hidup membuatmu makin hilang arah.
Hai, pria yang meninggalkan pasanganmu, apapun alasannya,
tetaplah bertanggung jawab dengan hal yang kini bersamamu. Cobalah memandang hal yang tidak berkenan ini menjadi pembelajaran, bahwa komunikasi sesungguhnya bisa menjadi jalan tengah.
Memang tak ada yang sempurna dalam hidup ini, tapi mari kita mencoba melakukan yang terbaik!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: