"Semusim berlalu. Namun Kau s'lalu di dekatku. ... Lebih luas dari samud'ra, kebaikanMu, Bapa, takkan habis di hidupku." - NDC Worship
Dalam ibadah perjamuan kudus di sebuah gereja, ada pendeta yang (kurang lebih) berkata demikian:
"Perjamuan kudus juga berbicara tentang rekonsiliasi, khususnya dengan Bapa. Sayangnya, tidak semua orang bisa punya relasi yang sedekat itu dengan ayah sendiri yang ada di dunia ini. Ketika saya masih kecil, saya tidak punya banyak kenangan manis bersama Papa karena beliau mendidik saya dengan keras. Makanya, ketika menyanyikan lagu Bapa, Engkau Sungguh Baik, saya enggak bisa paham. Gimana bisa ada bapa yang baik kalau Papa saya aja enggak demikian?"
Hanya oleh karena anugerah Tuhan, pendeta tersebut mengalami pemulihan dan pelan-pelan berdamai dengan masa lalunya—termasuk figur Papa yang dibencinya selama bertahun-tahun. Sekarang, jika mendengarkan maupun menyanyikan lagu yang memuat kata "Bapa", beliau teringat bahwa tidak ada ayah di dunia ini yang sempurna karena hanya Bapa surgawi yang demikian adanya. Happy ending yang diharapkan oleh banyak orang, tetapi perjalanan imannya tentu berliku. Berkaca dari pengalaman pendeta itu, Minbi jadi bertanya ke diri sendiri, "Mungkinkah lagu-lagu gereja yang ada saat ini benar-benar bertujuan memperkenalkan identitas Allah Tritunggal (khususnya Allah Bapa) yang selalu dekat denganku, atau hanya untuk memuaskan telinga pendengarnya?"
Disadari atau tidak, gereja maupun komunitas Kristiani membahas tentang Bapa yang selalu mengasihi, mengayomi, memelihara, dan mendidik anak-anakNya. Pertanyaannya, benarkah setiap pengetahuan dari doktrin para teolog tentang diriNya itu cukup untuk membentuk pengenalan kita terhadapNya? Jika tidak semua orang punya relasi yang dekat dengan ayah yang ada di dunia ini (baik yang masih hidup maupun sudah tiada), mungkinkah proses mengenal Bapa yang penuh kasih dan keadilan itu akan jauh lebih banyak lika-liku dan celah? Atau sebaliknya: mungkinkah bagi mereka yang punya relasi yang "dekat" dengan ayah di dunia ini akan jauh lebih dibekali "modal keberanian dan keterbukaan hati" untuk memahami kehendak Bapa surgawi dan mau mempercayakan hidupnya kepadaNya?
Selalu ada kemungkinan dalam hidup ini, dan itulah yang juga sering diekspresikan melalui lagu yang kita dengarkan, bukan? Nah, bagaimana kalau Ignite People juga mengekspresikan diri melalui tulisan dengan tema "Bisa bersama Bapa"? Sejauh apa lagu-lagu yang kita kenal benar-benar menjadi sarana Bapa untuk menguatkan kita agar tetap percaya dan taat kepadaNya? Lalu, mungkinkah kita punya ruang untuk ragu-ragu terhadapNya dalam peziarahan hidup ini?
Kami tunggu karyamu, ya!
Salam enam belasan karena besok tujuh belasan,
Minbi
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: