Pernikahan adalah rancangan Allah dan kita perlu menyerahkan diri di dalamnya sebagai bagian dari penyembahan kita – Gary Thomas
Akhir-akhir ini, kita disuguhkan dengan web series karya MD Entertainment yang berjudul “Layangan Putus” yang diperankan oleh para artis ternama seperti Reza Rahadian, Putri Marino, dan Anya Graldine—yang menceritakan tentang retaknya rumah tangga karena perselingkuhan. Mungkin untuk beberapa orang, serial ini membuat “takut” untuk menikah, tetapi untuk saat ini saya tidak akan membahas tentang perselingkuhan, melainkan berfokus pada pernikahan serta dasar yang seperti apa yang seharusnya menjadi alasan kita untuk membangun kehidupan rumah tangga di dalamnya.
"Pernikahan adalah perkara sekali seumur hidup," demikian yang sering saya dengar di gereja. Artinya, kalau “Apa yang dipisahkan oleh Tuhan, tidak dapat diceraikan oleh manusia,” kita perlu menjadikan statement tersebut sebagai warning sign yang nyata—baik bagi kita yang masih belum maupun yang telah mulai memikirkan tentang pernikahan. Mengapa? Karena pernikahan bukanlah soal menjadi muda bersama, tetapi tentang "menua bersama" pasangan kita(credit to Rahmania Astrini). Kehidupan di dalam pernikahan bukan hanya berbicara tentang tinggal bersama di bawah atap yang sama, melainkan juga saling menjadi rekan pertumbuhan dalam karakter dan iman dengan lebih intens, apalagi karena kita memiliki keunikan satu sama lain. Selain itu, tubuh pun berubah ketika kita menjadi tua (kira-kira pada usia 30 tahun, fungsi tubuh kita mulai berkurang secara pelan-pelan). Dengan berbagai faktor yang ada, maka jatuh cinta saja tidaklah cukup menjadi alasan untuk menikah.
Saya adalah seorang perempuan yang memiliki latar belakang broken home. Dua dampak yang jelas terlihat di dalam diri saya adalah munculnya perasaan takut terhadap pernikahan, serta mempunyai pemikiran bahwa tidak akan ada yang mau dengan seseorang yang mempunyai latar belakang tersebut. Saya menjadikan pengalaman keluarga saya sebagai "kekuatan" untuk mempunyai dasar yang benar dalam pencarian pasangan hidup dan membangun pernikahan. Walaupun demikian, saya tidak menyalahkan keluarga saya atas pemikiran ini. Namun, menjelang memasuki usia 25 tahun, saya jadi merenungkan esensi dari pasangan hidup dan "pernikahan sekali seumur hidup". Ada beberapa poin yang saya dapatkan di dalam perenungan tersebut:
Photo by Samantha Gades on Unsplash
1. 2 Korintus 6:14
“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang percaya..”
Dalam ayat ini, ditegaskan bahwa pencarian pasangan hidup mencari seseorang yang memiliki iman yang sama. Oke, kita sudah sering mendengar dan membaca apa yang disampaikan Paulus tersebut, tetapi mengapa dia harus menekankannya? Kita perlu melihat bahwa pada zaman itu, jemaat di Korintus dulunya adalah orang-orang yang berasal dari budaya penyembahan berhala (ingat, yang disembah oleh orang Yunani saat itu bukanlah Allah Israel, tetapi para dewa), dan kemudian menjadi orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru selamat yang hidup. Walaupun demikian, tidaklah mudah bagi mereka untuk melepaskan diri dari kehidupan yang lama, sehingga Paulus perlu menegaskannya, termasuk di dalam pernikahan.
Begitu pula dengan kita yang ada di zaman sekarang. Bayangkan jika di kemudian hari, muncul keinginan agar kita—bersama pasangan—beribadah dan menyembah Tuhan yang sama, tetapi kita tidak dapat melakukannya karena dia bukan orang percaya. Jangankan yang berbeda agama, orang yang satu agama pun tidak menjamin bahwa kehidupan pernikahan kita akan baik-baik saja. Itulah sebabnya pernikahan perlu dikerjakan oleh suami-istri bersama-sama setiap hari, dan untuk melakukannya dibutuhkan iman kepada Tuhan. Bagaimana jika salah satu (atau keduanya) hanya memandang pernikahan sebagai masa untuk menghabiskan hari tua dengan pasangan, sedangkan sejak penciptaan, Allah telah menjadikannya untuk menjadi sarana mandat budaya itu dilaksanakan (Kejadian 1:31, 2:18)?
2. Amsal 31:10
Jadilah proaktif, serius, dan energik dalam mencari seseorang untuk anda nikahi. Ketika kitab suci bertanya kepada para lelaki muda, “Istri yang cakap, siapakah akan mendapatkannya?” Asumsinya adalah bahwa pengejaran akan pasangan pernikahan melibatkan upaya pencarian yang serius yang tidak hanya “diam” menunggu pasangan tiba-tiba datang kepada anda tanpa anda berusaha agar ditemukan oleh seseorang. Sayangnya, kebanyakan orang Kristen—termasuk saya—juga berpikir untuk "hanya" berharap agar Tuhan yang mengurus tentang pasangan hidup, tanpa juga berusaha untuk mendapatkannya. Padahal pasangan hidup tidak jatuh dari langit, seperti halnya uang; perlu perjuangan dan hikmat Tuhan dalam mencari, menggumulkan, dan bertumbuh di dalam relasi.
3. Roma 12:12
“Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa.”
Dalam segala hal, doa adalah sarana kita untuk berkomunikasi dengan Allah. Begitu pula dengan pencarian pasangan hidup, bahkan setelah kita menjalin relasi. Kita perlu mendoakan (calon) pasangan kita dengan serius, dan berdoa bagi diri sendiri agar dilayakkan untuk menjadi orang yang dapat bertumbuh bersamanya.
Kita sudah dua poin pertama tentang pencarian pasangan hidup: kita perlu mencari yang “seimbang” atau yang mempunyai tingkat iman yang sama, dan kita sudah berjalan keluar untuk berusaha menemukan pasangan hidup di lingkungan kita berada. Nah, poin ketiga ini adalah agar kita tidak melupakan keterlibatan Tuhan di dalam pencarian pasangan hidup kita, DAN memohon kepada-Nya untuk melayakkan kita membangun relasi (dari PDKT, pacaran, hingga pernikahan) yang memuliakan nama-Nya melalui mandat budaya yang dikerjakan kelak. Ingat saja kisah Eliezer yang berdoa bagi calon istri Ishak (Kejadian 24)! Dia tidak memaksakan nama tertentu kepada Tuhan, tetapi dia mencarikan istri yang memiliki berbagai karakter yang dibutuhkan oleh Ishak. Namun, kita perlu ingat bahwa di dalam pernikahan Ishak dan Ribka pun tidaklah selalu diisi dengan pengalaman yang menyenangkan (contohnya saja adalah favoritisme yang terjadi di antara Ishak-Esau dan Ribka-Yakub). Meskipun demikian, pernikahan yang tidak sempurna ini dilayakkan oleh anugerah Tuhan untuk menjadi salah satu bagian dalam karya keselamatan, karena melalui merekalah Kristus lahir (Matius 1:1-18).
Sudahkah dia yang kita doakan ini adalah orang yang memiliki karakter dan habit yang layak untuk diperjuangkan?
Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga telah melihat diri sendiri sebagai pribadi yang memiliki kualitas dan bersedia melalui proses pertumbuhan di dalam relasi (mulai dari PDKT, pacaran, hingga pernikahan)?
Photo by Foto Pettine on Unsplash
4. Miliki motivasi menikah yang benar, karena cinta saja tidak cukup
Dalam buku The Sacred Search, Gary Thomas menjelaskan bahwamotivasi kita untuk menikah seharusnya bukan hanya karena perasaan cinta saja, tetapi ada kerinduan untuk bertumbuh bersama, seperti halnya pengertian "soul mate" rohani (bukan "sole mate"). Seseorang yang mempunyai kerinduan berkomitmen untuk menikah tentu perlu menyadari esensi dari pernikahan adalah untuk kemuliaan Tuhan sekaligus merepresentasikan kasih-Nya pada dunia ini (itulah sebabnya relasi paling intim ada di dalam pernikahan, bukan perselingkuhan, TTM (Teman tapi Mesra), apalagi FWB (Friends with Benefits)). Benar bahwa cinta adalah sesuatu yang perlu untuk dikembangkan, dan chemistry pun akan mengikuti seiring dengan adanya intimacy. Namun, pernikahan yang kuat, intim, menghormati Tuhan, dan yang menuju pada kemitraan jangka panjang serta hubungan yang menumbuhkan rasa kesatuan adalah sesuatu yang harus dibangun setiap hari. Ingat, pernikahan adalah relasi yang berlangsung seumur hidup.
5. Apa yang menjadi gaya relasi kita?
Ketika sudah menemukan cara mencari pasangan hidup dengan benar, mendoakan pasangan hidup dengan benar, dan mempunyai dasar pernikahan yang benar, bukan berarti kita tidak akan mempunyai rasa ketakutan untuk memulai suatu pernikahan yang baik. Saat saya merenungkan tentang pernikahan dan membaca beberapa buku tentang pernikahan, saya menemukan bahwa Tuhan tidak menjanjikan pernikahan akan selalu mulus, tanpa adanya konflik, dan perbedaan pendapat bersama pasangan. Namun, tidak ada salahnya kalau kita ingin menikah dengan seseorang yang mempunyai karier luar biasa, dan tidak ada salahnya juga kita menikah dengan orang yang "biasa-biasa saja" tetapi mempunyai karakter pekerja keras. Permasalahannya adalah mengenai karakter dan bagaimana relasi kita (dan pasangan) dengan Tuhan, karena jika kepribadian kita belum matang dan minim kejujuran dengan apa yang kita inginkan sebelum menikah (misalnya kebiasan di rumah, masalah keuangan dan lain-lain), akan besar kemungkinannya untuk menuai banyak konflik yang berkepanjangan... bahkan kata "perceraian" seolah-olah menjadi opsi "terbaik", meskipun Alkitab juga menegaskan bagaimana Tuhan tidak menghendakinya.
Pernikahan adalah rancangan Allah, dan kita perlu menyerahkan diri di dalamnya sebagai bagian dari penyembahan kita. – Gary Thomas
Dear pasangan hidupku kelak,
Mungkin sekarang bukan hanya aku saja yang meminta kamu kepada Tuhan dalam doa, dan mungkin bukan aku yang kamu minta kepada Tuhan untuk menjadi pasangan hidupmu. Namun, mari kita menikmati masa pencarian dan perjuangan kita untuk saling menemukan. Mari kita saling mempersiapkan untuk menjadi pasangan yang tepat dan mempunyai tujuan yang sama dalam kehidupan. Kelak saat kita bertemu, aku ingin menyampaikan bahwa "only you alone my today and all tomorrows. You’re my anchor when I’m hopeless, and finally I choose you a million times ever. Thanks, Dear."
Dear God.
Terima kasih, Tuhan, karena sudah membuatku merasakan pengalaman yang indah dalam mencari pasangan hidup, dan terima kasih karena tidak meninggalkanku ketika aku mengalami masa-masa terburuk. Terima kasih sudah memberi tamparan kepadaku saat terjebak dengan orang yang salah.
With Love, Your Daughter ❤
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: