Globalisasi, Tanda Nasionalisme yang Menghilang?

Best Regards, Live Through This, 05 August 2020
“Globalisasi adalah jika kau makan makanan Perancis, minum minuman Italia, dan membuang sisanya di kloset American Standard.” – Zaynur Ridwan, Indonesia Incorporated

Ignite People pasti pernah mendengar istilah globalisasi, kan? Globalisasi terjadi akibat adanya pertukaran informasi dan budaya antar negara. Salah satu dampak terbesar globalisasi adalah meningkatnya kebutuhan orang-orang untuk mempelajari bahasa asing, terutama Bahasa Inggris. Saat ini sekolah di Indonesia sudah mewajibkan pembelajaran Bahasa Inggris dalam kurikulum pendidikan, dan beberapa sekolah bahkan mengajarkan bahasa ketiga, seperti Mandarin, Jepang, Perancis, dan Jerman di tingkat SD atau SMP. Beberapa keluarga juga “mewajibkan” anak-anaknya berbicara Bahasa Inggris sebagai bentuk latihan komunikasi. Akibatnya, generasi muda pun “terlahir” sebagai bilingual (atau polyglot jika mereka menggunakan bahasa daerah). Selain pembelajaran yang dilakukan di sekolah, beberapa orang berinisiatif untuk belajar bahasa asing melalui online platform, seperti Duolingo dan Memrise.

“Di sini ada yang main Duolingo ga?”

Beberapa saat lalu, pertanyaan ini muncul di salah satu grup WA. Respons penghuni grup? Rame banget. Para penghuni menanggapi dengan antusias, bahkan memberitahukan bahasa yang mereka pelajari di platform tersebut, seperti bahasa Belanda, Jepang, dan Perancis, serta bahasa roh.

Banyak faktor yang mendorong orang-orang gabut nan bosen ini untuk mempelajari bahasa baru. Mungkin mereka jenuh di rumah saja sehingga iseng belajar bahasa baru. Ada yang serius mempersiapkan diri untuk studi lanjut di negara lain. Alasan selanjutnya bisa jadi absurd, tapi aku yakin ada yang belajar bahasa asing akibat terjerumus ke dalam “lubang drama” Netflix atau mendengarkan lagu-lagu luar negeri yang mendorong keinginan untuk memahami arti asli dan konteks dari dialog atau lirik lagu yang didengarkan.

Kecanggihan teknologi dan internet menjadi pintu bagi berita dan hiburan dari luar negeri untuk masuk ke negara kita, dan sebaliknya. Hallyu (peningkatan popularitas budaya Korea Selatan) dan Japanophilia (peningkatan apresiasi budaya Jepang) menjadi bukti nyata bahwa globalisasi benar-benar berpengaruh kepada dunia hiburan. Di Indonesia sendiri, ada beberapa budaya yang akhirnya menjadi terkenal setelah adanya globalisasi, seperti angklung, batik, dan Lathi.


Globalisasi di dalam Alkitab

Pada ingat cerita menara Babel (Kejadian 11), kan? Menurut Alkitab, kisah pembangunan menara Babel menjadi momen di mana Tuhan mengacaukan bahasa manusia dan menyebarkan mereka ke seluruh dunia. Sejak saat itu, globalisasi terjadi sebagai upaya manusia untuk menjaga hubungan antar negara (yang umumnya didasari oleh motivasi untuk menjaga perdamaian). Hal ini dapat dilihat pada Raja Daud dan Raja Hiram (2 Samuel 5:11), ataupun Raja Salomo dan Ratu negeri Syeba (1 Raja-raja 10:1-13).

Di Perjanjian Lama, Daniel diceritakan mengalami paparan “globalisasi” ketika ia berada di pembuangan. Daniel dan kawan-kawannya menjadi kaum muda yang ditunjuk sebagai pekerja istana raja Babilonia. Untuk memenuhi syarat yang diperlukan, mereka perlu mempelajari budaya dan bahasa Kasdim (Daniel 1:3-5). Dalam prosesnya, keadaan menuntut Daniel dan kawan-kawannya untuk memilih sebuah keputusan, untuk mengikuti kebiasaan yang bertentangan dengan kepercayaan mereka atau tidak.

The Church was an international institution long before globalization.” – Shane Claiborne

Yesus sendiri memberikan Amanat Agung untuk menyebarkan Injil sampai ke ujung bumi, dan hal ini ditegaskan dalam peristiwa Pentakosta. Setelah Pentakosta, kekristenan menyebar di Asia Kecil dan Eropa, sehingga para pengabar Injil yang notabene adalah orang Yahudi pun harus menyikapi perbedaan budaya dan kebiasaan yang dihadapi.


Globalisasi, bagus atau buruk?

Menyukai budaya atau hiburan dari luar negeri tidak salah, dan malah menjadi hal yang lumrah bagi generasi muda. Saat ini, mungkin anak muda lebih mengenal lagu-lagu Billie Eilish daripada lagu-lagu Raisa. Mungkin banyak dari kita yang lebih memilih menonton drama Korea daripada sinetron Indonesia. Menurutku, hal ini wajar saja karena perkembangan teknologi dan preferensi anak muda yang mulai bergeser.

Photo by Roger Harris on Unsplash 

Tetapi, ada dua ekstrim yang harus dihindari ketika kita mulai mengetahui budaya luar negeri.

Ekstrim pertama adalah xenosentrisme, ketika kita terlalu mencintai budaya luar sehingga kita menjelek-jelekkan budaya di dalam negeri kita sendiri. Contoh yang paling mudah dilihat adalah pergeseran gaya hidup yang cenderung lebih hedonis, bahkan rela menghabiskan banyak uang untuk memenuhi koleksi merchandise artis atau anime favorit mereka. Hal ini menimbulkan dampak dan gambaran buruk kepada beberapa komunitas, seperti istilah “weeaboo” yang merupakan konotasi negatif kepada pecinta budaya Jepang.

Ekstrim kedua adalah etnosentrisme, ketika kita menolak total budaya dari luar negeri dengan dalih nasionalisme. Contoh nyata yang terjadi adalah ketika seseorang menyatakan bahwa ia seorang anti-Cina, padahal banyak produk yang ia gunakan memiliki label “Made in China”. Jika ditinjau lagi, ada hal positif yang dapat dipelajari ketika melihat budaya luar negeri, yang mungkin tidak akan kita ketahui jika kita hanya melihat budaya negeri kita sendiri.

Photo by Dendy Darma on Unsplash 

Dalam menyikapi globalisasi, kita dapat belajar dari sikap Daniel di istana kerajaan Babilonia (baca kitab Daniel) dan Paulus pada Konisili Yerusalem (Kisah Para Rasul 15:1-21). Daniel menerima nama barunya dan belajar bahasa Kasdim, namun tetap taat kepada adat agama Yahudi dan berkompromi untuk tidak makan makanan raja. Paulus yang merupakan orang Yahudi, menentang sikap sebagian orang yang pada saat itu memaksa orang percaya baru non-Yahudi untuk disunat sebagai tanda keselamatan.

Dalam konteks masa kini, kita bisa mengambil hal positif yang ada dari budaya luar, seperti mempelajari etos kerja maupun apresiasi budaya yang dimiliki orang asing. Pada saat yang sama, jangan sampai terlalu fanatik dalam mengagumi budaya luar sampai kita mengalami pergeseran moral dan melupakan budaya asli kita.

“Dan Allah, yang mengenal hati manusia, telah menyatakan kehendak-Nya untuk menerima mereka (orang non-Yahudi), sebab Ia mengaruniakan Roh Kudus juga kepada mereka sama seperti kepada kita, dan Ia sama sekali tidak mengadakan perbedaan antara kita dengan mereka, sesudah Ia menyucikan hati mereka oleh iman.” – Kisah Para Rasul 15:8-9 TB

LATEST POST

 

Bila hati terasa berat Tak seorang pun mengerti bebanku Kutanya Yesus Apa yang harus kuperbuat  ...
by Yessica Anggi | 22 Mar 2024

Entah mengapa, tapi ego itu begitu menggoda diri manusia. Ego untuk menguasai, untuk menja...
by Markus Perdata Sembiring | 19 Mar 2024

Keraguan adalah salah satu hal yang sering terjadi di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Keraguan...
by Immanuel Elson | 14 Mar 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER