وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا Artinya: “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali" (QS. Maryam (19): 33).
Lepas shalat Jum’at mulailah saya menulis catatan saya sebagai berikut:
“Lepas bermain tablo Paskah hari ini. Aku belajar banyak hal, dari kisah kesengsaraan Yesus hingga segala sesuatu yang meliputi penyalibanNya. Sebagai pemain tokoh dengan karakter antagonis, aku menyaksikan dan memainkan sendiri apa yang dihadapi langsung oleh Yesus. Sebagai pewaris misi kenabian dari generasi sebelumnya, Yesus berhadapan dengan kuasa tirani dan kesesatan atau kemunafikan para pemuka agama pada eranya. Yesus kemudian bangkit melawan kesewenang-wenangan Romawi kala itu. Hingga pada akhirnya, perlawanan tersebut melahirkan reformasi besar dalam masyarakatnya kala itu.
Ribuan tahun setelah setelah penyaliban Yesus, banyak orang yang mengikuti ajaran-ajaranNya—tak sekedar diajarkan, tapi sekaligus diamalkan atau diaplikasikan selama hidupnya.
---
Pilihan Romawi untuk menghukum salib atas Isa al-Masih atau Yesus adalah pilihan—yang pada akhirnya, Pontius Pilatus cuci tangan atas keputusan itu. Hukuman salib kala itu sudah menjadi tradisi ketika seseorang melakukan tindakan yang ‘dianggap’ menentang penguasa atau melawan status quo.
Anggaplah Yesus atau Isa adalah tumbal zamannya. Dia yang telah memberi banyak pelajaran kepada mereka yang hidup sesudahnya. Ajaran dan kebijaksaanNya telah berhasil membawa terang dan garam bagi dunia.
Namun, dewasa ini kita saksikan bermunculan Herodes-Herodes baru yang lebih bengis dan gila hormat!
Pemimpin yang seharusnya punya tanggung jawab besar untuk melayani rakyatnya—malah bertindak sebaliknya. Menindas rakyat serta gagal melindungi segenap tumpah darah tanah airnya.
Akankah terjadi pemberontakan seperti yang terjadi 1000 tahun yang lalu?
Apakah kita masih membutuhkan Yesus-Yesus modern abad ini, yang berani dengan lantang menyuarakan kebenaran sebagai sebuah kebenaran, dan keburukan sebagai sebuah keburukan?
Aku rasa kita membutuhkannya.
Sangat butuh malah!”
Ba’da Jum’atan, Jum’at Agung, 30 Maret 2018.
Lepas bermain tablo di Kapel Bellarminus
Univ. Sanata Dharma Yogyakarta
***
Sebagai seorang yang senang berdiskusi dan bergaul dengan siapa pun, saya terbuka terhadap segala hal. Setiap semester, saya terbiasa memfasilitasi dialog mahasiswa/i Islam dan Kristiani dalam sebuah Peace Camp. Membantu mahasiswa-mahasiswi dari kalangan pengikut Nabi Muhammad SAW dan pengikut Isa al-Masih untuk memahami satu sama lain dan menjadi keluarga—bukan hanya menjadi teman biasa!
Di lain sisi, banyak dialog atau bahkan debat sebenarnya seperti yang kita saksikan—entah di televisi atau bahkan di channel Youtube yang tidak produktif dan berujung pada debat kusir tanpa persoalan jelas yang justru berlangsung sejak dahulu kala hingga kini. Jika diperhatikan deretan debat itu—justru debat Islam dan Kristen selalu menduduki puncak pertama, bahan debatnya beragam—mulai dari kitab suci, konsep keTuhanan, hingga sosok Isa al-Masih atau Yesus (sapaan yang akrab di kalangan Kristiani). Atau bahkan jika mengetik kata “dialog” di mesin pencari seperti Google, jawaban yang ditawarkan oleh Google adalah debat! Ignite People sendiri pasti sudah tahu, Google menampilkan sesuatu yang sering ditonton oleh penggunanya.
Makna “dialog” yang sebenarnya direduksi menjadi “debat” yang tentu saja bermuatan kompetisi alias kalah-menang. Dialog (dua arah) adalah antonimitas dari monolog (satu arah). Dalam dialog, orang-orang dapat menyeberang atau bahkan masuk ke dalam tradisi atau kepercayaan liyan/other untuk mempelajari dan mengerti sang liyan—tanpa kehilangan dirinya yang otentik.
Selain belajar akting dari kawan-kawan Teater Seriboe Djendela (TSD), kegiatan tablo kali ini begitu mengasyikkan karena dalam proses latihan yang berlangsung kurang lebih dua bulan itu, dialog lintas iman justru kerap terjadi di antara para pemain/aktor. Mulai dari mengenal satu per satu tokoh-tokoh yang belum pernah saya dengar sebelumnya, menggali tentang ritual atau hal-hal yang mengitari Paskah hingga atribut-atribut yang terdapat dalam Kapel (sebuah tempat ibadah yang berukuran tidak terlalu besar) tempat kami pentas.
Dari proses yang alamiah, dialog tentang keimanan kami masing-masing menjadi sangat cair karena perjumpaan dan dialog langsung yang kami alami bersama. Selain belajar tentang dunia akting, saling memberi informasi akhirnya membuat kami saling mengisi kekurangan satu sama lain.
وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
Artinya: “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali" (QS. Maryam (19): 33).
Di bawah kolong langit Yogyakarta, 11 hari setelah Jum’at Agung 2018.
*penulis adalah fasilitator di Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia dan santri di Pascasarjana Teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta.
[Artikel ini pernah dimuat di www.cmusd.org, edisi 23 Mei 2018]
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: