Mob Mentality : Ikutlah AKU!

Best Regards, Live Through This, 12 September 2019
Dalam iman, Anda harus ikut-ikutan, tapi pelayanan jangan ikut-ikutan.
Jujur saja, tema bulan ini menggelitik saya. Bisa jadi inilah fenomena milenial masa kini. Tapi izinkan saya mengawali perenungan berikut dengan percakapan saya bersama seorang teman (sekalian kesaksian dikit).


Teman: "Yes, aku tanya dulu sama kamu. Ada yang bilang dari agama sebelah kalo Yesus itu bukan beragama Kristen, tapi Yahudi. Emang bener  ya, agama Yahudi? Kalau Kristen bukan agama, kenapa kita gak agama Yahudi aja? Sama apalah itu 'Nasrani-Nasrani' itu?"

Saya: (dalam hati) "Lah, ini kan baru aku pelajari kemarin. Ternyata ini maksudnya."

Saya: "Benar, Kristen itu bukan agama, yang termasuk agama adalah Yahudi. Selama hidup-Nya, Yesus kan berada di Israel yang agama nasionalnya adalah Yahudi. Keunikan lainnya adalah Yesus yang menyebut istilah 'Bapa' dalam doa-Nya. Nah, kenapa Kristen bisa misahin diri dari Yahudi—sama halnya kayak kenapa Protestan misahin diri dari Katolik? Dalam bahasa Yunani, kata 'Kristen' berarti pengikut Kristus. 'Kristen' itu istilah dari masyarakat sekitar Antiokhia untuk menyebut jemaat mula-mula sebagai pengikut Kristus (Kisah Para Rasul 11:26). Jadi, kita ini orang Kristen karena kita adalah para pengikut Kristus. Kristus gak perlu jadi Kristen, wong Kristus emang Tuhannya, kok. Makanya kita mengikuti Dia. Dulu, orang Kristen hidup sama kayak orang Yahudi pada umumnya, wong waktu itu Yesus masih mengajar di Bait Suci, para rasul juga berdoa ke rumah ibadat orang Yahudi. Tapiii, orang Yahudi menganggap Kristen sebagai salah satu sekte Yahudi, namanya Nasrani (Kisah Para Rasul 24:5). Nah, Paulus udah membantah dan bilang kalo jalan kita ini jalan Tuhan, orang Yahudi aja yang menyebutnya sekte. Tetep aja mereka menolak. Mungkin karena ada ritual ibadat dalam Kekristenan yang berbeda dari yang ada dalam Perjanjian Lama, misalnya kayak Perjamuan Kudus."



Photo by Tim Marshall on Unsplash 


Dalam beriman, kita harus ikutan. Pertanyaannya, "Siapa yang kita ikuti?"


Yesus, dalam Alkitab, jelas memanggil para murid-Nya dengan kalimat, "Ikutlah AKU." (Matius 4:18-22, Lukas 5:1-11)  Apakah Petrus punya pemahaman teologi atau iman yang kuat ketika pertama kali mengikut Dia? Tidak; yang membuat Petrus mengikuti Yesus adalah mujizat dan kasih karunia-Nya. Masih ingat, kan? Waktu itu, Petrus dkk. sudah bersusah-payah semalaman mencari ikan di Danau Galilea (alias Danau Genesaret); bahkan dia sempat ragu, "Apa mungkin Dia yang bukan nelayan punya ketajaman terhadap keberadaan ikan, melebihi kami yang adalah para nelayan?" Tapi, setelah mereka mendengar Yesus dan menaati-Nya, ada banyak ikan yang tertangkap—sampai perahu mereka hampir tenggelam. Melihat mujizat tersebut, Petrus tersungkur di hadapan Kristus karena dia menyadari statusnya: orang berdosa. Mungkin saat itu Petrus berpikir, "Siapa lagi yang dapat melakukan mujizat seperti itu selain Tuhan?" Setelah kejadian itu, Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes menjadi murid-murid Yesus—diikuti delapan orang lainnya di waktu yang berlainan.


Ups, jangan lupa, Guys: Ketika kita melayani, jangan sampai kita bermental "ikut-ikutan", tapi dengarkan dulu perintah Tuhan. Lihat juga cara Tuhan saat memanggil Saulus (yang kemudian berganti nama menjadi Paulus), tukang penganiaya jemaat itu. Ilmu teologi Yahudinya sangat kuat, mengingat dia adalah murid Rabi Gamaliel—salah satu Rabi ternama kala itu. Saulus menganiaya bukan karena dia tidak tahu membunuh itu dosa, tapi merajam dengan batu adalah legalitas hukum dari negara kepada orang yang dianggap menyebarkan ajaran sesat—sedangkan pada saat itu, Kekristenan dianggap sebagai sekte sesat Yahudi. Uniknya, Kristus tidak berkata kepada Saulus, "Ikutlah Aku." Melalui cahaya—yang sampai membutakan mata Paulus selama tiga hari—Dia berkata, "Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?" (Kisah Para Rasul 9:4). Saulus pun bertanya balik, "Siapakah Engkau, Tuhan?" Dialog berlanjut dengan ujaran Yesus, "Akulah Yesus yang kauaniaya itu. Tetapi bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kauperbuat." (Kisah Para Rasul 9:5-6) Paulus pun langsung pergi setelah dapat perintah itu, tanpa, berkata, "Aku ingin ikut Engkau, Tuhan."



Photo by Roman Kraft on Unsplash 


Berdasarkan kisah di atas, kita dapat menarik dua kesimpulan:

1. Sebagian di antara kita telah berstatus "orang Kristen" sejak bayi, tapi kita gak paham iman di dalam-Nya itu seperti apa. Baca Alkitab aja jarang, berdoa juga tergantung sikon. Tapi karena orang tua kita "pengikut Kristus", ya kita pun melakukannya. Ikut-ikutan seperti ini jelas merupakan mob mentality. Tapi coba pikir deh, selama ikut-ikutan begini, apakah kita merasakan mujizat dan kasih karunia Tuhan? Kita perlu belajar untuk terus mengingat bahwa Tuhan itu Gembala dan kita domba-domba-Nya (Mazmur 23, Yohanes 10:1-18). Nah, domba mengerti  air yang tenang di sebelah mana, atau padang rumput bisa kelihatan dari mana. Yang nyari kan gembala, kita dan lainnya ikut-ikutan doang.

Tapi oh tapi, domba juga merasakan pemeliharaan gembala—baik melalui pakan, kandang, bulu yang dicukur, maupun kuku yang juga digunting. Kalau ada  tungau (atau kutu?) pada domba, rasanya tuh, perih banget! Gatal melulu pula, bisa-bisa gila itu domba. Jadilah gembalanya yang ambil tungaunya satu persatu, lalu dombanya diobati dengan minyak. Eh, pemeliharaan sang gembala gak berhenti di situ! Kalau para dombanya dihadang kawanan serigala, sang gembala maju buat melindungi mereka.

Melalui ilustrasi mengenai gembala dan domba-dombanya di atas, coba kita berefleksi lagi... Apakah kita (yang 'ikut-ikutan' ini) telah dan sedang merasakan mujizat dan kasih karunia yang memelihara kehidupan kita? Jawaban inilah yang menolong kita apabila ditanya oleh orang lain—terutama mereka yang menyatakan bahwa doktrin kita kurang sesuai dengan Alkitab, atau kita beragama tidak seperti Kristus. Kalau pengalaman saya sendiri, saya menjadi pengikut Kristus karena saya merasakan kasih dan penyertaan-Nya; mulai dari depresi sampai sembuh. Sampai saat ini, saya bersyukur atas karya penebusan dan keselamatan yang dilakukan-Nya.

Photo by Caleb Woods on Unsplash 

2. Jangan sampai kita melayani HANYA karena ingin ikut-ikutan, atau waktu luang, atau ingin memiliki aktivitas yang dapat menghilangkan memori bersama mantan. Kita perlu mengintrospeksi diri, apakah pelayanan yang dilakukan saat ini memang sudah sesuai dengan kehendak-Nya (termasuk motivasinya)... atau belum?

Jadi mau sharing, nih. Hehe. Saya melayani di paduan suara, tapi suara saya selalu yang paling gak beres. Setelah introspeksi diri, barulah saya menyadari bahwa tujuan pelayanan saya di sana adalah agar bisa move on dari mantan. (Pantesan suara saya paling jelek wkwkwkwk). Selain itu, setiap kali udah ada niat buat latihan, adaaaaaa aja hambatannya. Ya hujan besar lah, ada janji ketemu orang lah, bentrok ama pelayanan yang lain, dan sebagainya. Alasan kenapa saya menganggap hambatan tersebut sebagai sesuatu yang menghalangi adalah karena motivasi saya bukan berdasarkan pada panggilan, melainkan pada tujuan lain.

Ceritanya akan berbeda ketika kita memperoleh panggilan. Sejak SMA, saya melayani di gereja—mulai menjabat sebagai staf, sampai akhirnya menjadi ketua komisi. Saya tidak mendaftarkan diri, tapi saya dipilih mengurus dan memimpin organisasi. Padahal, saya tidak memliki background kepemimpinan dan berorganisasi. Saya juga bukan pengurus OSIS, cuma pengurus ekskul. Makanya saya tidak tahu apa alasan para pejabat itu memilih saya. Namun karena kasih karunia Tuhan, saya dimampukan-Nya untuk melayani dan sekarang menjabat sebagai pengurus komisi pemuda regional—yang lingkup pelayanannya lebih besar daripada gereja lokal saya. Ketika masih menjadi ketua komisi dulu, saya seakan-akan memiliki tuntutan untuk mengisi kesaksian dalam tiap liturgi komisi remaja. Tiap kali kesaksian, saya selalu ditunjuk MC—dan saya selalu berharap semoga ada yang mau kesaksian lagi setelah saya. Tapi, tuntutan kesaksian ini berkembang; yang tadinya lisan di lingkup komisi remaja, sekarang berkembang dalam ranah tulisan dengan lingkup yang lebih luas lagi melalui internet dan dibaca teman-teman (seperti artikel ini).

Selain menjadi pengurus, saya juga menyukai filsafat. Buku pertama filsafat saya adalah Sejarah Alkitab dari Karen Armstrong, lalu berkembang ke yang lain-lain—misalnya Plato, Cicero, dan Sujiwo Tedjo—hingga berkenalan dengan istilah teologi dalam filsafat. Waktu itu, ada yang pernah bertanya, "Ngapain sih, baca tentang teologi? Emang mau jadi pendeta?" Kemudian saya pun jadi berpikir, "Iya, ya. Ngapain gitu bongkar-bongkar soal teologi?" Eh, ternyata semuanya berawal dari situ:  pada akhirnya, saya bisa bersoal-jawab dengan teman saya—seperti cerita di atas tadi. Mungkin saja ada teman yang ingin bertanya seputar Kekristenan, tapi rasanya agak canggung untuk bertanya pada pendeta—antara segan, tidak mengetahui jadwal konsultasi, atau tidak mengetahui nomornya—sehingga bingung mau bertanya ke mana. Sampai suatu hari, ada teman yang bertanya mengenai Kristus, orang Yahudi, jemaat mula-mula, dan sejarah perpecahannya. Entah kenapa juga dia nanyanya ke saya, namun saya bersyukur karena saya merasakan turut andil dalam saling meneguhkan iman antar jemaat.


--**--

Ketika kita menjadi pengikut Kristus, ya itu artinya kita mengikuti Dia—bukan keinginan diri kita lagi. Kita perlu mengingat: meskipun keluarga kita ikut Kristus, jangan sampai kita melupakan intervensi Tuhan dalam setiap hal yang kita alami. Karena itulah, ketika kita melayani-Nya, (harapannya) kita memiliki motivasi yang jelas—yaitu berdasarkan panggilan, bukan karena ikut-ikutan orang, sekaligus kita melayani di bidang dan dengan talenta yang tepat.
LATEST POST

 

Film siksa kubur resmi tayang pada 11 April 2024, dan sebagai penikmat karya Joko Anwar, kami langsu...
by Ari Setiawan | 16 Apr 2024

Takut tambah dewasaTakut aku kecewaTakut tak seindah yang kukiraIgnite People, penggalan lirik lagu...
by Emmanuela Angela | 10 Apr 2024

GetsemaniDomba putih di penghabisan jagal Merah kirmizi di kandungan sengsara atas cawan yang kesumb...
by David Ryantama Sitorus | 10 Apr 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER